Senin, 21 Mei 2012

Kedudukan Akal dalam Islam


Kedudukan Akal dalam Islam
Oleh: Jajang Hidayatullah

Pendahuluan
Kedudukan akal dalam Islam menempati posisi yang amat terhormat, melebihi agama-agama lain. Sebagai risalah Ilahiyyah terakhir, Islam mempersyaratkan kewajiban menjalankan agama bagi orang yang berakal. Artinya, orang yang hilang akalnya tidak diwajibkan mengerjakan perintah atau menjauhi larangan-Nya (taklif). Dalam hadits, Nabi Saw menginformasikan:

عَنْ عَلِىٍّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ ».
“Pena diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: [1] orang yang tidur sampai dia bangun, [2] anak kecil sampai mimpi basah (baligh) dan [3] orang gila sampai ia kembali sadar (berakal).” (HR. Abu Daud, باب فِى الْمَجْنُونِ يَسْرِقُ أَوْ يُصِيبُ حَدًّا. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Muhammad Abu Zahrah mengatakan, bahwa dasar taklif adalah akal dan pemahaman. Akal dan pemahaman itulah yang menjadi landasan taklif. Beliau mengutip al-Amidy yang mengatakan, “para ahli sepakat bahwa syarat mukallaf haruslah berakal dan faham. Karena taklif tuntutan maka mustahil membebani sesuatu yang tidak berakal dan tidak faham, seperti benda mati dan binatang. Menurutnya orang gila atau anak-anak hanya mempunyai pemahaman global terhadap tuntutan tanpa pemahaman yang rinci bahwa tuntutan itu merupakan perintah atau larangan yang mempunyai dampak pahala atau siksa, atau tuntutan itu merupakan perintah Allah perintah Allah Swt yang harus ditaati, maka statusnya memahami secara rinci sama halnya dengan binatang atau benda mati yang tidak mampu memahami tuntutan dasar.” (lihat Ushul fiqih karya Muhammad Abu Zahrah)
Dengan demikian bahwa akal adalah syarat agar seseorang bisa memahami sesuatu, sehingga membuat amalan menjadi baik dan sempurna. Oleh karena itu, akal yang baik saja yang bisa mendapatkan taklif (beban syari’at) sehingga orang gila yang tidak berakal tidak mendapat perintah shalat dan puasa. Seseorang yang tidak memiliki akal adalah keadaan yang serba penuh kekurangan.

Definisi Akal
Ibnu mandzur dalam lisanul-Arab menyatakan bahwa akal adalah sifat; 'uqila lahu shay'un berarti dijaga atau diikat (hubisa) akalnya dan dibatasi. U'tuqila lisanuhu idha hubisa wa muni'a l-kalam (u'tuqila lidahnya, jika ia dibatasi dan dilarang  berbicara).  'aqaltu  l-ba'ir,  berarti  saya  telah  mengikat  keempat  kaki  unta dan hal ini pun senada dengan al-Jarjani dalam kitabnya al-Ta’rifat dengan tambahan bahwa akal itu adalah sesuatu yang mengikat hakikat berbagai hal; dan itu tempat dikepala tetapi ada juga yang mengatakan adanya dalam hatiIbnu  al-Anbari mengartikan  akal  dalam  syairnya  sebagai  sesuatu  yang  memberikan  kesabaran  dan  wejangan (maw'idzah)  bagi  orang  yang mempunyai  kebutuhan  (hajjah).  Sehingga  dikatakan:  al-aqil  alladhi yahbisu nafsahu wa  yarudduha  'an hawaha  (orang berakal adalah yang mampu mengekang hawa nafsunya dan menolaknya). Maka, kata ma'qul (masuk akal) berarti ma ta'qiluhu bi qalbika, yaitu sesuatu yang kamu nalar dengan hati/kalbumu. Selanjutnya  dijelaskan  bahwa  akal  berarti  kepastian  (verification, making  sure,  certitude)  dalam segala perkara. akal, karena dua alasan:
a.  Mencegah pemiliknya (manusia) untuk terjerumus kedalam jurang kehancuran.
b.  Pembedaan yang membedakan manusia dari semua hewan[1].
Makna  kata  akal  yang  berarti  suatu  yang  terikat  atau  ikatan, hal ini diperkuat dengan  hadits  'Adiy  ibn Hatim, dimana  beliau  berkata:  "Ketika  turun  ayat  (QS.  2:187)  sehingga  menjadi  jelas  bagimu  antara 'benang putih' dan  'benang hitam', aku segera menyiapkan benang  ('iqal) hitam dan benang putih, lalu  aku  letakkan  di  bawah  bantal.  Kemudian  aku melihatnya  di malam  hari,  maka  tidak  jelas bagiku.  Lalu  aku  pergi  ke Rasulullah  SAW,  aku  pun menceritakan  hal  itu  kepada  beliau. Maka beliau pun bersabda: Sesungguhnya (ayat) itu (berarti) hitamnya malam dan terangnya siang"
Aqala menurut sebagian orang adalah bentuk kekuatan untuk mentransfer ilmu; sehingga dengan kekuatan akal tersebut manusia bisa mengambil faidah dari ilmunya itu. Amirul mukminin telah berkata, “akal itu terdiri dari dua macam, yaitu akal dari tabi’at manusia itu sendiri dan akal yang dihasilkan dari mendengar, pendidikan dsb. Maka tidak bermanfaat dari apa yang kita dengar kalau kita tidak punya akal secara tab’i. Seperti tidak bermanfaatnya mata kalau tidak ada cahaya matahari”. Unsur pertama dalam akal, tergambar dalam sabda Nabi yang menyatakan ‘tidaklah Allah menciptakan makhluk yang paling mulia kecuali padanya dikaruniai akal’ makanya kalau tidak terdapat unsur ini, dalam Islam manusia tidak memiliki kewajiban (taklif). sedangkan unsur kedua dalam akal, tergambar dalam sabda Rasul yang menyatakan ‘tidak ada seorng pun yang paling utama berusaha mengenai sesuatu dari akalnya kecuali yang mengantarkannya pada hidayah dan menolaknya pada hal-hal yang membuatnya murtad’. Atau sebagaimana isyarat al-Qur’an ‘....dan tidak akan ada yang berakal kecuali orang yang berilmu (al-Ankabut: 43)’. Makanya, orang kafir divonis oleh Allah tidak berakal karena tidak memiliki unsur yang kedua ini, Allah Swt berfirman ‘....(mereka orang-orang kafir) tuli, bisu dan buta maka mereka tidak berakal (al-Baqarah: 171)’[2].
Dalam analisa Al-Ghazali menurutnya akal memiliki banyak pengertian. Ia dapat berarti potensi yang membedakan manusia dari binatang dan yang menjadikan manusia mampu menerima berbagai pengetahuan teoritis. Akal juga berarti pengetahuan yang dicerna oleh seorang anak yang telah mendekati usia dewasa. Misalnya, dua itu lebih banyak dari satu. Makna ketiga dari akal menurut al-Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh seseorang berdasarkan pengalaman yang dilaluinya yang pada akhirnya dapat memperhalus budi pekertinya. Menurut kebiasaan orang yang tidak berbudi pekerti yang baik dinamakan orang tidak berakal. Makna ke empat dari akal adalah kekuatan insting yang menjadikan seseorang mengetahui dampak semua persoalan yang dihadapinya, lalu mampu menekan hawa nafsunya serta mengatasinya agar tidak terbawa larut olehnya[3].
Jadi, Akal sejatinya akan kita fahami definisinya sejalan dengan memahami makna kebahasannya yaitu aqala yang berarti tali pengikat. Ia adalah potensi manusiawi yang berfungsi sebagai tali pengikat yang menghalanginya terjerumus dalam dosa dan kesalahan. Akal semacam itulah yang menjadi tujuan dan yang harus diusahakan untuk meraihnya, karena yang demikian itulah yang akan menyelamatkan seseorang. Tanpa akal, siapapun akan terjerumus walau memiliki pengetahuan teoritis yang sangat dalam[4].

Akal Merupakan Salah Satu Sumber Ilmu
Dari segi epistemologi pun Islam mempunyai rumusan tersendiri. Dalam karyanya, Syamsuddin Arif menyatakan bahwa sumber pengetahuan Islam terdiri dari tiga sumber, yaitu persepsi indra (idrak al-hawass), proses akal sehat (ta’aqul) serta intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar shadiq), yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Hal ini sebagaimana disinyalir dalam al-Qur’an; an-Nahl:78, Qaf: 37, al-A’raf: 179, al-Hajj: 46, Ali Imran: 138, al-Ma’idah: 15. Mengenai proses akal mencakup nalar (nazhar) dan alur fikir (fikr). Dengan nalar dan alur fikir ini kita bisa berartikulasi, menysusun proposisi, menyatakan pendapat, berargumentasi, melakukan analogi, membuat putusan dan menarik kesimpulan[5]. inilah yang kemudian membedakan keilmuan Islam dengan Barat. Karena di Barat sumber ilmu menghendaki hanya yang bersifat logis dan empiris saja.
Menurut Daud Rasyid, dalam Islam sumber-sumber ilmu berasal dari wahyu dan akal. Wahyu adalah informasi tentang sesuatu dari yang maha mengetahui yaitu Allah Swt. wahyu Allah diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dalam bentuk al-Qur’an (al-Wahyu al-mathluw) dan sunnah Nabi Saw (al-Wahyu ghairu-mathluw). Ciri khas wahyu itu adalah mengandung kebenaran muthlak yang tak perlu didiskusikan kebenarannya. Menurut Daud Rasyid fungsi manusia dalam kaitan ini adalah memahami wahyu dan mengoperasioanalkannya. Manusia hendaknya tidak terjebak dalam mempersoalkan kebenaran wahyu dan validitasnya, sebab hal itu hanya sekedar pemborosan energi dan kurang bermanfaat.
Adapun sumber ilmu yang kedua, yaitu akal. Akal manusia ditakdirkan dan disetting oleh Allah agar mampu menemukan pengetahuan. Berbagai perangkat kasar dan perangkat lunak telah Allah siapkan untuk tujuan itu. Sebab dalam Islam, akal adalah kunci penugasan manusia (manath at-taklif). Tanpa akal, manusia tidak dapat dibebani dengan dengan hukum-hukum syari’at.
Metode akal dalam menangkap pengetahuan melalui tiga jalur:
a.       Melalui indra yang dapat berupa penglihatan dan pendengaran. Informasi itu diteruskan ke akal dan diterjemahkannya secara benar.
b.      Melalui logika, seperti 3>2. Seseorang mustahil berada didua tempat dalam waktu yang sama.
c.       Melalui berita yang disampai oleh orang lain. Kebenaran pengetahuan ini tergantung pada kebenaran nara sumbernya. Dalam kaitan ini, Islam sangat berjasa merumuskan disiplin ilmu yang dapat menguji kebenaran suatu informasi. Ilmu ini dikenal dalam ilmu hadits dengan nama ‘ilmu al-jarh wa al-ta’dil[6].
Akal dalam al-Qur’an
Sebagai Risalah terakhir; al-Qur’an tidak pernah menentang eksistensi akal, melainkan justru mendukungnya dalam berbagai bentuk. Seruan al-Qur’an untuk berfikir diungkapkan dalam bentuk yang bervariasi, seperti: memandang secara seksama (nadzhar), berfikir (tafakur), merenungkan (tadabur), mengambil pelajaran (i’tibar), menyadari (tadzakur), dan mendalami pemahaman (tafaquh). Variasi ini semakin mengukuhkan bahwa Islam sangan memperhatikan harmoni dan kompatibilitas akal dan wahyu, karena menolak akal sama dengan menentang logika al-Qur’an[7].
Dalam  al-Qur'an,  secara khusus kata-kata  yang  berakar  pada  'aql  bertaburan  di berbagai  surat. Kata-kata: afala  ta'qilun  (Maka  tidakkah  kamu  menggunakan  akalmu?; Tidakkah  kamu  berfikir?)  terulang dalam  al-Al-Qur'an  tidak  kurang  dari  13  kali.  Kata  la'allakum  ta'qilun  (agar  kamu mengerti/memahami)  terulang  sekitar  8 kali;  li qaumin  ya'qilun  (untuk kaum yang menggunakan akalnya/memikirkan) sekitar 8 kali; belum lagi kata-kata na'qilu, ya'qiluna biha, ya'qiluha, takunu ta'qilun, dsb[8].
Searah dengan itu ayat-ayat qauliyyah (berkaitan dengan tasyri’) dan kauniyyah (alam) merupakan bukti-bukti bahwa eksistensi Tuhan dan dalam berbagai kondisi menjadi karunia besar bagi orang berakal dan berfikir[9]. Berikut adalah ayat-ayat yang mengajak pembacanya untuk berfikir dan menggunakan akalnya:

أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ . وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ . وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ . وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? . Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”[10]

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran”[11]

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ . الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّار

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.  (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”[12]

وَإِنَّ لَكُمْ فِي الْأَنْعَامِ لَعِبْرَةً نُسْقِيكُمْ مِمَّا فِي بُطُونِهِ مِنْ بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَبَنًا خَالِصًا سَائِغًا لِلشَّارِبِينَ

“Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum daripada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya”[13].

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.  Mereka itulah orang-orang yang lalai”[14].

            Prinsip Kausalitas (sebab-akibat) merupakan basis pemikiran rasional. Tanpa mengakuinya seorang mustahil membangun argumentasi rasional. Al-Qur’an senantiasa menghormati prinsip ini. Dalam prespektif al-Qur’an, terdapat relasi yang niscaya antara perbuatan buruk dengan kerusakan yang terjadi di daratan dan lautan:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”[15].

            sebaliknya keimanan dan ketakwaan menyebabkan pintu keberkahan dilangit terbuka bagi umat manusia:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُون
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”[16].
            lebih dari itu al-Qur’an juga memotivasi kaum muslimin untuk merenungkan dan mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa yang pernah dialami umat terdahulu. Dan ini jelas termasuk satu dari sekian bentuk berlakunya prinsip kausalitas dalam al-Qur’an. Karena kalau yang terjadi hanya sebuah kebetulan maka rangkaian peristiwa dimasa lalu niscaya tidak akan mengandung hikmah dan pelajaran yang dapat dipetik[17].
            Selain menghimbau manusia untuk berfikir dan merenung, al-Qur’an juga mencemooh dan mengecam orang-orang yang mengabaikan karunia Allah ini. Al-Qur’an mencap orang yang tidak mengoperasikan rasionya sebagai makhluk hina. Di dalamnya bertaklid buta kepada para terdahulu juga sangat dikecam.
            Rangkaian ungkapan begitu bijak yang termaktub dalam al-Qur’an merupakan sumber pelajaran yang kaya manfaat. Kitab suci ini mengarahkan manusia yang semata-mata beribadah dan meyakini agama begitu saja dengan menyuguhkan serangkaian argumentasi rasional. Al-Qur’an juga menghimbau manusia untuk mempraktikan metode ini dalam berinteraksi[18]. Akhirnya, dosa utama yang menjerumuskan manusia ke neraka adalah keengganan mengikuti tuntunan akal. Al-Qur’an menerangkan penyebab penghuni Neraka yang menyesal:

وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ
Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala"[19].

Bahkan Allah telah memerintahkan kita untuk memperhatikan dan merenungkan Al Qur’an dengan menggunakan akal semisal dalam beberapa ayat berikut ini:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَن
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an?” (QS. An Nisa’: 82 dan Muhammad: 24).


أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. Al Baqarah ayat: 44).

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُ الْآَخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS. Al An’am ayat: 32).

أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَدَارُ الْآَخِرَةِ خَيْرٌ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya?”( QS. Yusuf ayat: 109).

وَمَا أُوتِيتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَزِينَتُهَا وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya?”( QS. Al Qashash: 60). 
Berikut adalah beberapa ayat dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan kaum yang berakal:

Al-Baqarah: 164

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُون
“Sesungguhnya pada kejadian langit dan bumi; dan pertukaran malam dan siang; dan (pada) kapal-kapal yang belayar di laut dengan membawa benda-benda yang bermanfaat kepada manusia; demikian juga (pada) air hujan yang Allah turunkan dari langit lalu Allah hidupkan dengannya tumbuh-tumbuhan di bumi sesudah matinya, serta Ia biakkan padanya dari berbagai-bagai jenis binatang; demikian juga (pada) peredaran angin dan awan yang tunduk (kepada kuasa Allah) terapung-apung di antara langit dengan bumi; sesungguhnya ada tanda-tanda (yang membuktikan keesaan Allah, kekuasaanNya, kebijaksanaanNya, dan keluasan rahmatNya) bagi kaum yang menggunakan akal fikiran (liqaumiy ya’qiluun)”.

Al Jatsiyah: 5

 وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ رِزْقٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ آيَاتٌ لِقَوْمٍ يَعْقِلُون
“Dan (pada) pertukaran malam dan siang silih berganti, dan juga (pada) rezeki yang diturunkan oleh Allah dari langit, lalu Ia hidupkan dengannya tumbuh-tumbuhan di bumi sesudah matinya, serta (pada) peredaran angin, (semuanya itu mengandungi) tanda-tanda (yang membuktikan keesaan Allah, kekuasaanNya, kebijaksanaanNya, serta keluasan rahmatNya) bagi kaum yang mahu menggunakan akal fikiran (liqaumiy ya’qiluun”).

Al Baqarah: 171

وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَاءً وَنِدَاءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
“Dan bandingan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir, samalah seperti orang yang berteriak memanggil binatang yang tidak dapat memahami selain dari mendengar suara panggilan sahaja; mereka itu ialah orang-orang yang pekak, bisu dan buta; oleh sebab itu mereka tidak dapat menggunakan akalnya (laa ya’qiluun)”.

Al Maidah: 58

وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُون
“Dan apabila kamu menyeru untuk mengerjakan shalat, mereka menjadikannya (shalat itu) sebagai ejek-ejekan dan permainan. Yang demikian itu ialah karena mereka suatu kaum yang tidak berakal (laa ya’qiluun)”.

Al Anfaal: 22

إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya sejelek-jelek makhluk yang melata di sisi Allah ialah orang-orang yang pekak lagi bisu, yang tidak mau menggunakan akal (alladziina laa ya’qiluun)”

Yunus: 42

وَمِنْهُمْ مَنْ يَسْتَمِعُونَ إِلَيْكَ أَفَأَنْتَ تُسْمِعُ الصُّمَّ وَلَوْ كَانُوا لَا يَعْقِلُونَ
“Dan di antara mereka (yang ingkar) itu, ada yang datang mendengar ajaranmu; maka engkau (wahai Muhammad) tidak berkuasa menjadikan orang-orang yang pekak itu mendengar kalau mereka menjadi orang-orang yang tidak mau berakal (laa ya’qiluun)”.

Yunus: 100

وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تُؤْمِنَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ
“Dan tiadalah sebarang kuasa bagi seseorang untuk beriman melainkan dengan izin Allah; dan Allah menimpakan azab (arrijsa) atas orang-orang yang tidak mau berakal (laa ya’qiluun)”. 

Al Furqan: 44


أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا
“Atau adakah engkau menyangka bahawa kebanyakan mereka mendengar atau memahami (ya’qiluun)? Mereka hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi”. 

Al Ankabut: 63

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
“Dan sesungguhnya jika engkau (wahai Muhammad) bertanya kepada mereka (yang musyrik) itu: "Siapakah yang menurunkan hujan dari langit, lalu Ia hidupkan dengannya tumbuh-tumbuhan di bumi sesudah matinya?" Sudah tentu mereka akan menjawab: "Allah". Ucapkanlah (wahai Muhammad): "Alhamdulillah", bahkan kebanyakan mereka tidak memahami (laa ya’qiluun)”.

Al Hasyr: 14

لَا يُقَاتِلُونَكُمْ جَمِيعًا إِلَّا فِي قُرًى مُحَصَّنَةٍ أَوْ مِنْ وَرَاءِ جُدُرٍ بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيدٌ تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ
“(Orang-orang Yahudi dan orang-orang munafik) dengan keadaan bersatu padu sekalipun, tidak berani memerangi kamu melainkan di kampung-kampung yang berbenteng kukuh, atau dari sebalik tembok. (Sebabnya): permusuhan di antara mereka sesama sendiri amatlah keras; engkau menyangka mereka bersatu padu, sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu, kerana mereka adalah kaum yang tidak berakal (qaumul laa ya’qiluun)”

Akal Tidak Bisa Berdiri Sendiri
Akal meyakinkan manusia akan sebuah pemikaran yang jernih dan mendalam, bahwa penciptaan dan keberadaannya tidak sia-sia; dia didatangkan ke dunia dalam rangka menempuh jenjang kesempurnaan muthlak dan meraih keselamatan abadi. Akal juga mampu memahamkan bahwa untuk tujuan itu, manusia harus mengerjakan apapun yang diridhai Tuhan dan menghindari yang dibenci-Nya. Namun, akal akan berhenti lemah sampai batas menyingkap rincian dan seluk-beluk parsial jalan keselamatan itu; batas yang tak sanggup dilampauinya. Hanya dengan arahan wahyu, manusia bisa mengetahui rincian seluk-beluk perjalanannya dan cara menempuhnya. Tanpa petunjuk wahyu akal bukan lagi mitra manusia yang sepatutnya menerangkan aneka hubungan tutur dan prilakunya di dunia ini dengan pengaruh dan dampaknya di akhirat sana[20].
Walaupun akal bisa digunakan untuk merenungi dan memahami Al Qur’an, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Bahkan akal sangat membutuhkan dalil syar’i (Al Qur’an dan Hadits) sebagai penerang jalan. Akal itu ibarat mata. Mata memang memiliki potensi untuk melihat suatu benda. Namun tanpa adanya cahaya, mata tidak dapat melihat apa-apa. Apabila ada cahaya, barulah mata bisa melihat benda dengan jelas. Begitu juga dengan akal. Akal barulah bisa berfungsi jika ada cahaya Al Qur’an dan As Sunnah atau dalil syar’i. Jika tidak ada cahaya wahyu, akal sangatlah mustahil melihat dan mengetahui sesuatu.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
“Bahkan akal adalah syarat untuk mengilmui sesuatu dan untuk beramal dengan baik dan sempurna. Akal pun akan menyempurnakan ilmu dan amal. Akan tetapi, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Akal bisa berfungsi jika dia memiliki instink dan kekuatan sebagaimana penglihatan mata bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapati cahaya iman dan Al Qur’an barulah akal akan seperti mata yang mendapatkan cahaya mentari. Jika bersendirian tanpa cahaya, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu.[21]
            Pada prinsipnya, Islam telah menetapkan adanya dua alam yang harus dibenarkan manusia sebagai prasyarat diterima keislamannya. Kedua alam itu ialah alam ghaib (metafisik) dan alam nyata. Spesifikasi alam ghaib ialah berada diluar batas ruang dan waktu. Dua kawasan yang merupakan jalur operasi akal manusia. Adapun alam ghaib, seperti Allah, Malaikat, langit, jin, akhirat adalah kawasan yang berada diluar jangkauan manusia. Manusia tak bakal mengetahuinya secara rinci dengan mengandalkan kemampuan dirinya sendiri. Fungsi akal disini hanya sekedar menerima informasi, memahami dan membenarkan. Sementara alam nyata, objek dan komponennya berada dalam batasan ruang dan waktu. Akal mansia bertugas menyelidikinya untuk sampai pada hakikat.
            Atas dasar ini kebenaran disekitar alam ghaib tidak dapat didiskusikan secara rasional dan menggunakan logika, tetapi kita terima melalui teks apa adanya. Peran akal berada pada batas pengklasifikasian, penempatan dan penetapan agar keluar dengan kesimpulan yang general dan sempurna serta tidak bertentangan dengan akal dan logika[22].
            Quraish Shihab menyatakan kitab suci al-Qur’an mempersilahkan umat Islam untuk mengembangkan ilmu, menggunakan akalnya menyangkut segala sesuatu yang berada dalam wilayah nalar, yaitu alam fisika ini. Namun harus disadari manusia bahwa jangankan alam raya yang sedemikian luas, dirinya sendiri sebagai manusia, belum sepenuhnya ia kenal[23].
            Yang menarik, para pemikir-pemikir barat sekalipun dengan ‘pengetahuan ilmiah’ nya menyatakan bahwa akal pada manusia itu sesungguhnya sangat terbatas dan tidak bisa berdiri sendiri. Sebut saja Emmanuel Kant (1724-1804), seorang filusuf besar asal Jerman yang masih besar pengaruhnya hingga kini dalam berbagai bidang, beliau hidup pada zaman rasionalisme abad ke-18, semboyannya adalah “sapere aude..!” ‘beranikan menggunakan akal budimu..!’.
            Namun dalam bukunya yang terkenal Kritik derTheoritische Vernunft, ia menegaskan penyelidikan dengan akal budi benar-benar dapat memberikan suatu pengetahuan mengenai dunia yang tampak, akan tetapi akal budi itu sendiri tidak sanggup untuk memberikan kepastian-kepastian, hingga pada pertanyaan-pertanyaan terdalam mengenai Allah, manusia, dunia dan akhirat. Akal budi manusia itu tidak mungkin memperoleh kepastian-kepastian, melainkan hidup dalam pengandaian (postulat-postulat)[24].
            Kant yang disebut sebagai “raksasa ahli pikir” itu menyadari bahwa hakikat itu tidak dapat dicapai oleh akal yang kekuatannya terbatas. Baru akan bertemu bila akal dipisahkan dari diri dan dijadikan orang ketiga untuk mempertemukan si Aku dan si Dia, padahal hal itu mustahil. Benar juga yang dikatakannya bahwa perkara besar itu ada, tetapi letaknya adalah diatas akal (Transcendental). Oleh karena itu, ia berkata, “Ich musste das Wessen aufheben, um zum Glauben Plaz zu bekommen”, ‘saya terpaksa berhenti sejenak dari pengetahuan, supaya saya sediakan tempat buat iman’[25].
            Albert Einstein (1879-1955), seorang ahli fisika ulung; kelas kakap berasal dari Jerman menyatakan, “Science withhout religion is lame, religion withhout science is blind” ‘ilmu tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu buta’[26].
            Quraish Shihab menegaskan bahwa al-Qur’an sejak dini memadukan usaha dan pertolongan Allah akal dan kalbu, pikir dan dzikir, iman dan ilmu. Akal tanpa kalbu menjadikan manusia seperti robot, pikir tanpa dzikir menjadikan manusia seperti syetan. Iman tanpa ilmu sama dengan pelita ditangan bayi, sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita ditangan pencuri. Oleh karena itu, al-Qur’an sebagai kitab terpadu menghadapi dan memperlakukan peserta didiknya dengan memperhatikan keseluruhan unsur manusiawi, jiwa akal dan jasmaninya[27].
Intinya, akal bisa berjalan dan berfungsi jika ditunjukan oleh dalil syar’i, yaitu dalil dari Al Qur’an dan As-Sunnah. Tanpa cahaya ini, akal tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya. Maka dalam Islam sumber ilmu yang dimilikinya harus saling mendukung tidak saling mencedrai.
Akal Dan Wahyu; Antara Muktazilah Dan Sufiyyah
Menurut Ibnu Taimiyyah Ada dua sikap ekstrim dalam mendudukkan akal. Sikap pertama: Yang menjadikan akal sebagai satu-satunya landasan ilmu sedangkan dalil Al Qur’an atau dalil syar’i hanya sekedar taabi’ (pengikut). Akal pun dianggap sebagai sumber pertama dan dianggap akal tidak butuh pada iman dan Al Qur’an. Inilah sikap yang dimiliki oleh Ahlul Kalam—dalam hal ini penulis akan sedikit mengurai pemikiran faham Mu’tazilah. Sikap kedua: Yang sangat mencela dan menjelek-jelekan akal, juga menyelisihi dalil logika yang jelas-jelas tegasnya, serta mencela dalil logika secara mutlak. Inilah sikap dari kaum Sufiyah[28].berikut adalah uraian singkat mengenai kedua pemikiran tersebut:
  1. Mu’tazilah
Mereka adalah pengikit Washil bin Atha (wafat th 131 H) dan Amr bin ‘Ubaid (wafat th. 144 H). Dikatakan mu’tazilah karena mereka mengeluakan diri (i’tizal) dari kelompok kajian al-Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H) sesudah menyalahi atau menyelesihi beliau dalam masalah pelaku dosa besar. Washil berpendapat pelaku dosa besar berada pada Manzilah baina manzilatain (tidak mukmin tidak juga kafir) atau dikatakan muktazilah karena mereka mengisolir diri dari pandangan sebagian besar umat islam ketika itu dalam hal pelaku dosa besar[29]. Mereka juga dinamakan qadariyah meskipun terdapat perbedaan antara qodariyah yang asli dan mu’tazilah. Qodariyah yang dikafirkan oleh para Ulama, mereka mengingkari ilmu Allah, aka tetapi mereka menetapkan Allah tidak menciptakan perbuatan hamba. Yakni usaha semuanya dari manusia tidak ada takdir Allah. Oleh karena itu mereka juga Qodariyah karena asal bid’ah mereka ini datang dari firqah Qadariyyah[30]. Diantara keyakinan mereka adalah:
1.      Mereka memiliki lima dasar (ushulul khamsah), yaitu:
Pertama, Adil. Maksudnya menafikan qadar (takdir) Allah Ta’ala.
Kedua, Tauhid. Maksudnya ialah menafikan sifat-sifat Allah ta’ala
Ketiga, Janji. (al-Wa’du). Maksudnya ialah bahwa Allah ta’ala wajib memberi ganjaran atau pahala kepada orang yang ta’at.
Keempat, Ancaman (al-Wa’id). Maksudnya ialah bahwa Allah ta’ala wajib menyiksa (mengadzab) orang yang mengerjakan maksiat.
Kelima, Manzilah baina Manzilatain (satu tempat diantara dua kedudukan). Maksudnya apabila seorang mukmin melakukan dosa besar maka ia tidak disebut kafir tidak disebut mukmin, tetapi ada diantara kedudukan kafir dan iman.
2.      Mereka mengatakan al-Qur’an adalah makhluk
3.      Mereka mengingkari syafa’at Nabi Saw pada hari kiamat untuk pelaku dosa besar dari umat Islam
4.      Mereka meyakini bahwa orang mukmin yang mati dalam keadaan melakukan dosa besar dan maksiat maka ia kekal di dalam neraka
5.      Amar ma’ruf nahyi munkar, maksudnya ialah memberontak kepada penguasa yang dzalim dan lain-lain.
6.      Mengingkari sifat-sifat Allah ta’ala
7.      Mereka mengingkari adanya keterkaitan taqdir Allah ta’ala dengan perbuatan hamba. Menurut mereka perbuatan hamba tidak ada kaitannya dengan takdir Allah[31]. Mereka mengira bahwa mereka kuasa menolak madlharat dan memberi manfaat pada diri mereka sendiri tanpa ada campur tangan Allah.
8.      Mereka sepakat bahwa Allah tidak dapat dilihat oleh orang mu’min dengan mata mereka di akhirat
9.      Mereka mengingkari hadits-hadits shahih yang menjelaskan bahwa orang-orang mukmin yang masuk neraka akan dikeluarkan oleh Allah dan dimasuka dalam surga-Nya.
10.  Mereka mengatakan mengerjakan dosa besar akan menghapuskan amal
11.  Mereka meyakini bahwa orang mukmin yang mati membawa dosa besar, akan kekal di neraka
12.  Mereka mendahulukan akal dari pada wahyu
13.  Mereka mengatakan Allah ada dimana-mana; disetiap tempat[32].
14.  Mereka mendustakan adzab kubur dan haudh (telaga). Mereka juga menganggap tidak sah shalat berjama’ah dan jum’at dibelakang seorang pun dari ahli kiblat (kaum muslimin) kecuali orang yang memiliki keyakinan yang sama dengan mereka. Mereka menyangka bahwa amalan hamba tidak tertulis di Lauh Mahfudz[33].

b.     Sufiyyah
Shufiyah muncul pertama kali di Bashrah dan orang yang pertama kali mendirikan Duwairah as-Shufiyah adalah sebagian dari murid Abdul Wahid binJaiz, dan Abdul Wahid ini salah satu murid al-Hasan Bashri. Di Bashrah ia terlalu berlebihan dalam Zuhud, ibadah, takut dan selainnya. Diriwayatkan oleh Abu Asy-Syaikh al-Ashfahani dengan sanadnya dari Muhammad bin Sirin, ia mendengar ada suatu kaum yang lebih mengutamakan pakaian wol (shuf) maka ia berkata, “ada satu kaum yang lebih memilih pakaian wol dan mereka mengatakan bahwa mereka meniru al-Masih putra Maryam. Padahal petunjuk Nabi lebih kita sukai. Dulu Nabi Saw memakai pakaian terbuat dari katun dan selainnya....” atau pernyataan yang mirip dengan ini[34].
Diantara aqidah Shufiyah adalah bahwa mereka memiliki makna dzahi dan batin dalam setiap ayat al-Qur’an, memiliki karamah palsu; seperti dapat menghidupkan orang yang sudah mati, orang shufi memiliki kalimat takwin (meyakini bahwa jika guru mereka mengatakan pada sesuatu: kun (jadi..!), maka jadilah ia), bisa mendengar ucapan benda-benda mati, orang sufi bisa mengelilingi alam Malakut, al-Hulul dan al-Ittihad, wihdatul wujud, al-Haqiqah al-Muhamadiyyah dan sebagainya[35].
Penutupan
Para sahabat memberikan teladan; bahwasannya dalam beragama tidak selamanya kita harus tunduk pada akal. Dalam satu riwayat dinyatakan bahwa Ibnu ‘Abbas pernah membacakan firman Allah Swt yang berbunyi:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“…Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...”
(QS. Al-Mai’dah: 3)
Lalu ada seorang Yahudi berkata, "Seandainya ayat ini diturunkan kepada kami, niscaya kami akan menjadikan hari penurunannya sebagai hari raya." Maka Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya ayat ini diturunkan pada dua hari raya sekaligus, yaitu hari raya dan hari Jumat. Dalam riwayat lain Umar menyatakan, “Sesungguhnya aku mengetahui hari dan tempat diturunkannya ayat tersebut. Ayat ini diturunkan pada hari Jumat di hari Arafah, di mana keduanya merupakan hari raya bagi kami (umat Islam)[36].
Dalam keterangan di atas, Umar mengajarkan pada kita bahwa sekalipun perbuatan itu baik menurut akal, tetapi kalau kemudian bertentangan dengan keterangan Allah dan Rasul-Nya, maka pada hakikatnya ‘sesuatu’ itu merupakan perbuatan yang tercela. Rasulullah Saw., mengingatkan:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهْوَ رَدٌّ

“…orang yang beramal bukan atas perintah kami, maka amal tersebut ditolak”
Dalam hadits lain Umar mengajarkan pada kita mengenai penempatan posisi akal kita seperti dalam hadits berikut:
عَنْ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، أَنَّهُ جَاءَ إِلَى الْحَجَرِ الأَسْوَدِ فَقَبَّلَهُ فَقَالَ إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ ، وَلاَ تَنْفَعُ وَلَوْلاَ أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ.
Dari Umar bahwa ia mencium Hajar Aswad dan berkata: Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau hanyalah batu yang tidak membahayakan dan tidak memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menciummu, aku tidak akan menciummu.
Kasus lain pernah suatu saat sahabat Ali Ra. Berkata sebagaimana tergambar dalam hadits berikut ini:
عَنْ عَلِىٍّ - رضى الله عنه - قَالَ لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ.
Ali Radliyallaahu 'anhu berkata: Jikalau agama itu cukup dengan pikiran maka bagian bawah sepatu lebih utama untuk diusap daripada bagian atas Aku benar-benar melihat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengusap punggung kedua sepatunya Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang baik
Akhirul-kalam..dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya Islam melalui Isyarat Allah dan Rasu-Nya sangat memperhatikan sekali posisi atau kedudukan akal. Karena dengan akal lah syari’at bisa dijalankan. Tetapi meskipun demikian akal tidak bisa dibiarkan berkeliaran begitu saja tanpa ada bimbingan al-Qur’an dan al-Sunnah.

Wallahu’alam..
________________________________________________

Daftar Putsaka
Al-Qur’an al-Karim
Abu al-Fadhl Jamal al-Din Muhammad ibnu Mukrim Ibnu Manzur al-Ifriqi, Lisan al-Arab, (_____:____, ____).
Abul Qashim Husain bin Muhammad bin Mufadhal; al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat alfadz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), cet-3.
Abdul Hakim bin Amir Abdat, Risalah Bid’ah, (Jakarta: Pustaka Mu’awiyah bin Abi Sufyan, 2008), cet-5.
Ali bin Muhammad al-Jarjaniy, al-Ta’rifat, (Jakarta: Dar al-Hikmah, ___).
Alamiy Zadah Faidhullah al-Hasanni, al-Mu’jam Mufahras li kalimat al-Qur’an/ Fath al-Rahman  li al-Thalib ayat al-Qur’an (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 2005).
Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998).
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam; Pokok-Pokok Pikiran tetang Paradigma dan sisten Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004).
Hasan Yusufian dan Ahmad Husain Sharifi, ‘Aql va Vahy, terj. Ammar Fauzi Heryadi, Akal dan Wahyu; tentang Rasionalitas dalam Ilmu, Agama dan Filsafat, (Jakarta: Sadra Press, 2011).
Imam Abul Fida’ al-Hafidz Ibnu Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (Beirut: Dar_El-Fikr, 2005), juz 1.
M. Quraish Shihab, al-Khawatir, terj. Ahmad al-Attas, Logika Agama; kedudukan wahyu dan Batas-Batas akal dalam Islam, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), cet-3.
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2003), cet-13.
Maktabah Syamilah CD versi 16
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008).
Syaikh al-Islam Ahmad bin Taimiyyah al-Haraniy, Majmu’ Al Fatawa, (jilid ke-3).
Ummu Tamim Izzah binti Rasyad, Aqa’id al-Firaq adh-Dhaallah wa Aqidah al-Firqah an-Najiyah, terj. Sufyan bin Zaidin Sinaga Abu Yazid, Menyingkap Aliran dan Faham Sesat, (Jakarta: Pustaka Imam Ahmad, 2010).
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Mulia dengan Manhaj Salaf, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2008), cet-2.






[1] Abu al-Fadhl Jamal al-Din Muhammad ibnu Mukrim Ibnu Manzur al-Ifriqi, Lisan al-Arab, (_____:____, ____) hlm. 3046. Lihat juga Abul Qashim Husain bin Muhammad bin Mufadhal; al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat alfadz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), cet-3, hlm. 383. Selanjutnya ditulis al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat alfadz al-Qur’an. Lihat juga Ali bin Muhammad al-Jarjaniy, al-Ta’rifat, (Jakarta: Dar al-Hikmah, ___), hlm. 152.
[2] al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat alfadz al-Qur’an, hlm. 382-383.
[3] Lihat catatan kali dalam buku M. Quraish Shihab, al-Khawatir, terj. Ahmad al-Attas, Logika Agama; kedudukan wahyu dan Batas-Batas akal dalam Islam, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), cet-3, hlm. 87-88.
[4] Ibid, hlm. 88
[5] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008), hlm. 204-206.
[6] Ali Juraisya, Manhaj at-Tafkir al-Islami dalam Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 90-91. Selanjutnya ditulis Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi
[7] Hasan Yusufian dan Ahmad Husain Sharifi, ‘Aql va Vahy, terj. Ammar Fauzi Heryadi, Akal dan Wahyu; tentang Rasionalitas dalam Ilmu, Agama dan Filsafat, (Jakarta: Sadra Press, 2011), hlm. 243. Selanjutnya ditulis Hasan Yusufian dan Ahmad Husain Sharifi, ‘Aql va Vahy
[8] Alamiy Zadah Faidhullah al-Hasanni, al-Mu’jam Mufahras li kalimat al-Qur’an/ Fath al-Rahman  li al-Thalib ayat al-Qur’an (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 2005), cet-3, hlm. 222.
[9] Hasan Yusufian dan Ahmad Husain Sharifi, ‘Aql va Vahy, hlm. 243-244.
[10] QS. Al-Ghasyiyah [88] ayat: 17-20
[11] QS. Shad [38] ayat: 29
[12] QS. Ali-Imran [3] ayat: 190-191
[13] QS. Al-Nahl [16] ayat: 66
[14] QS. Al-A’raf [7] ayat: 179
[15] QS. Al-Rum [30] ayat: 41
[16] QS. Al-A’raf [7] ayat: 96
[17] Hasan Yusufian dan Ahmad Husain Sharifi, ‘Aql va Vahy, hlm. 245-246
[18] Ibid, hlm. 240-241
[19] QS. Al-Mulk [67] ayat: 10
[20] Hasan Yusufian dan Ahmad Husain Sharifi, ‘Aql va Vahy, hlm. 254.
[21] Syaikh al-Islam Ahmad bin Taimiyyah al-Haraniy, Majmu’ Al Fatawa, (jilid ke-3), hlm. 338-339.
[22] Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi, hlm. 93-94.
[23] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2003), cet-13, hlm. 383. Selanjutnya ditulis M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat
[24] L. Verkuyl, Etika Kristen dan Kebuadayaan, terj. Dalam Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam; Pokok-Pokok Pikiran tetang Paradigma dan sisten Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 16. Selanjutnya ditulis Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam; Pokok-Pokok Pikiran tetang Paradigma dan sisten Islam
[25] Hamka, Pandangan Hidup Muslim dalam Dalam Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam; Pokok-Pokok Pikiran tetang Paradigma dan sisten Islam, hlm. 17.
[26] Ibid, hlm. 29.
[27] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, hlm. 7.
[28] Syaikh al-Islam Ahmad bin Taimiyyah al-Haraniy, Majmu’ Al Fatawa, (jilid ke-3), hlm. 338.
[29] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Mulia dengan Manhaj Salaf, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2008), cet-2, hlm. 508. Selanjutnya ditulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Mulia dengan Manhaj Salaf

[30] Abdul Hakim bin Amir Abdat, Risalah Bid’ah, (Jakarta: Pustaka Mu’awiyah bin Abi Sufyan, 2008), cet-5, hlm. 287. Selanjutnya ditulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Risalah Bid’ah
[31] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Mulia dengan Manhaj Salaf, hlm. 508-509.
[32] Abdul Hakim bin Amir Abdat, Risalah Bid’ah, hlm. 288-289.
[33] Ummu Tamim Izzah binti Rasyad, Aqa’id al-Firaq adh-Dhaallah wa Aqidah al-Firqah an-Najiyah, terj. Sufyan bin Zaidin Sinaga Abu Yazid, Menyingkap Aliran dan Faham Sesat, (Jakarta: Pustaka Imam Ahmad, 2010), hlm. 155. Selanjutnya ditulis Ummu Tamim Izzah binti Rasyad, Aqa’id al-Firaq adh-Dhaallah wa Aqidah al-Firqah an-Najiyah
[34] Ibnu Taimiyyah,  Majmu’ al-Fatawa dalam ibid, hlm. 182.
[35] Ibid, hlm. 183-187.
[36] Imam Abul Fida’ al-Hafidz Ibnu Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (Beirut: Dar_El-Fikr, 2005), juz 1, hlm. 555.