Kedudukan Akal dalam Islam
Oleh: Jajang Hidayatullah
Kedudukan akal dalam Islam menempati posisi yang amat
terhormat, melebihi agama-agama lain. Sebagai risalah Ilahiyyah terakhir, Islam
mempersyaratkan kewajiban menjalankan agama bagi orang yang berakal. Artinya,
orang yang hilang akalnya tidak diwajibkan mengerjakan perintah atau menjauhi
larangan-Nya (taklif). Dalam hadits, Nabi Saw menginformasikan:
عَنْ
عَلِىٍّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ
حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ ».
“Pena
diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: [1] orang yang tidur sampai dia
bangun, [2] anak kecil sampai mimpi basah (baligh) dan [3] orang gila sampai ia
kembali sadar (berakal).” (HR. Abu Daud, باب فِى الْمَجْنُونِ يَسْرِقُ أَوْ يُصِيبُ حَدًّا. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Muhammad Abu Zahrah mengatakan, bahwa dasar taklif
adalah akal dan pemahaman. Akal dan pemahaman itulah yang menjadi landasan taklif.
Beliau mengutip al-Amidy yang mengatakan, “para ahli sepakat bahwa syarat
mukallaf haruslah berakal dan faham. Karena taklif tuntutan maka
mustahil membebani sesuatu yang tidak berakal dan tidak faham, seperti benda
mati dan binatang. Menurutnya orang gila atau anak-anak hanya mempunyai
pemahaman global terhadap tuntutan tanpa pemahaman yang rinci bahwa tuntutan
itu merupakan perintah atau larangan yang mempunyai dampak pahala atau siksa,
atau tuntutan itu merupakan perintah Allah perintah Allah Swt yang harus
ditaati, maka statusnya memahami secara rinci sama halnya dengan binatang atau
benda mati yang tidak mampu memahami tuntutan dasar.” (lihat Ushul fiqih karya
Muhammad Abu Zahrah)
Dengan demikian
bahwa akal adalah syarat agar seseorang bisa memahami sesuatu, sehingga membuat
amalan menjadi baik dan sempurna. Oleh karena itu, akal yang baik saja yang
bisa mendapatkan taklif (beban syari’at) sehingga orang gila yang tidak
berakal tidak mendapat perintah shalat dan puasa. Seseorang yang tidak memiliki
akal adalah keadaan yang serba penuh kekurangan.
Definisi Akal
Ibnu mandzur dalam lisanul-Arab menyatakan
bahwa akal adalah sifat; 'uqila lahu shay'un berarti dijaga atau diikat
(hubisa) akalnya dan dibatasi. U'tuqila lisanuhu idha hubisa wa
muni'a l-kalam (u'tuqila lidahnya, jika ia dibatasi dan
dilarang berbicara). 'aqaltu
l-ba'ir, berarti saya
telah mengikat keempat
kaki unta dan hal ini pun senada
dengan al-Jarjani dalam kitabnya al-Ta’rifat dengan tambahan bahwa akal
itu adalah sesuatu yang mengikat hakikat berbagai hal; dan itu tempat dikepala
tetapi ada juga yang mengatakan adanya dalam hati. Ibnu al-Anbari mengartikan akal
dalam syairnya sebagai
sesuatu yang memberikan
kesabaran dan wejangan (maw'idzah) bagi
orang yang mempunyai kebutuhan
(hajjah). Sehingga dikatakan:
al-aqil alladhi yahbisu
nafsahu wa yarudduha 'an hawaha (orang berakal adalah yang mampu mengekang
hawa nafsunya dan menolaknya). Maka, kata ma'qul (masuk akal) berarti ma
ta'qiluhu bi qalbika, yaitu sesuatu yang kamu nalar dengan hati/kalbumu.
Selanjutnya dijelaskan bahwa
akal berarti kepastian
(verification, making
sure, certitude) dalam segala perkara. akal, karena dua
alasan:
a. Mencegah
pemiliknya (manusia) untuk terjerumus kedalam jurang kehancuran.
b. Pembedaan
yang membedakan manusia dari semua hewan[1].
Makna kata akal
yang berarti suatu yang
terikat atau ikatan, hal ini diperkuat dengan hadits
'Adiy ibn Hatim, dimana beliau
berkata: "Ketika turun
ayat (QS. 2:187)
sehingga menjadi jelas
bagimu antara 'benang putih' dan 'benang hitam', aku segera menyiapkan
benang ('iqal) hitam dan benang
putih, lalu aku letakkan
di bawah bantal.
Kemudian aku melihatnya di malam
hari, maka tidak
jelas bagiku. Lalu aku
pergi ke Rasulullah SAW,
aku pun menceritakan hal
itu kepada beliau. Maka beliau pun bersabda: Sesungguhnya
(ayat) itu (berarti) hitamnya malam dan terangnya siang"
Aqala menurut sebagian orang adalah bentuk kekuatan untuk mentransfer ilmu;
sehingga dengan kekuatan akal tersebut manusia bisa mengambil faidah dari
ilmunya itu. Amirul mukminin telah berkata, “akal itu terdiri dari dua macam,
yaitu akal dari tabi’at manusia itu sendiri dan akal yang dihasilkan dari
mendengar, pendidikan dsb. Maka tidak bermanfaat dari apa yang kita dengar
kalau kita tidak punya akal secara tab’i. Seperti tidak bermanfaatnya mata
kalau tidak ada cahaya matahari”. Unsur pertama dalam akal, tergambar dalam
sabda Nabi yang menyatakan ‘tidaklah Allah menciptakan makhluk yang paling
mulia kecuali padanya dikaruniai akal’ makanya kalau tidak terdapat unsur
ini, dalam Islam manusia tidak memiliki kewajiban (taklif). sedangkan
unsur kedua dalam akal, tergambar dalam sabda Rasul yang menyatakan ‘tidak
ada seorng pun yang paling utama berusaha mengenai sesuatu dari akalnya kecuali
yang mengantarkannya pada hidayah dan menolaknya pada hal-hal yang membuatnya
murtad’. Atau sebagaimana isyarat al-Qur’an ‘....dan tidak akan ada yang
berakal kecuali orang yang berilmu (al-Ankabut: 43)’. Makanya, orang kafir
divonis oleh Allah tidak berakal karena tidak memiliki unsur yang kedua ini,
Allah Swt berfirman ‘....(mereka orang-orang kafir) tuli, bisu dan buta maka
mereka tidak berakal (al-Baqarah: 171)’[2].
Dalam analisa Al-Ghazali menurutnya akal memiliki
banyak pengertian. Ia dapat berarti potensi yang membedakan manusia dari
binatang dan yang menjadikan manusia mampu menerima berbagai pengetahuan
teoritis. Akal juga berarti pengetahuan yang dicerna oleh seorang anak yang
telah mendekati usia dewasa. Misalnya, dua itu lebih banyak dari satu. Makna
ketiga dari akal menurut al-Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh seseorang
berdasarkan pengalaman yang dilaluinya yang pada akhirnya dapat memperhalus
budi pekertinya. Menurut kebiasaan orang yang tidak berbudi pekerti yang baik
dinamakan orang tidak berakal. Makna ke empat dari akal adalah kekuatan insting
yang menjadikan seseorang mengetahui dampak semua persoalan yang dihadapinya,
lalu mampu menekan hawa nafsunya serta mengatasinya agar tidak terbawa larut
olehnya[3].
Jadi, Akal sejatinya akan kita fahami definisinya
sejalan dengan memahami makna kebahasannya yaitu aqala yang berarti tali
pengikat. Ia adalah potensi manusiawi yang berfungsi sebagai tali pengikat yang
menghalanginya terjerumus dalam dosa dan kesalahan. Akal semacam itulah yang
menjadi tujuan dan yang harus diusahakan untuk meraihnya, karena yang demikian
itulah yang akan menyelamatkan seseorang. Tanpa akal, siapapun akan terjerumus
walau memiliki pengetahuan teoritis yang sangat dalam[4].
Akal Merupakan
Salah Satu Sumber Ilmu
Dari segi epistemologi pun Islam mempunyai rumusan
tersendiri. Dalam karyanya, Syamsuddin Arif menyatakan bahwa sumber pengetahuan
Islam terdiri dari tiga sumber, yaitu persepsi indra (idrak al-hawass),
proses akal sehat (ta’aqul) serta intuisi hati (qalb), dan
melalui informasi yang benar (khabar shadiq), yaitu al-Qur’an dan
al-Sunnah. Hal ini sebagaimana disinyalir dalam al-Qur’an; an-Nahl:78, Qaf: 37,
al-A’raf: 179, al-Hajj: 46, Ali Imran: 138, al-Ma’idah: 15. Mengenai proses
akal mencakup nalar (nazhar) dan alur fikir (fikr). Dengan nalar
dan alur fikir ini kita bisa berartikulasi, menysusun proposisi, menyatakan
pendapat, berargumentasi, melakukan analogi, membuat putusan dan menarik
kesimpulan[5]. inilah yang kemudian
membedakan keilmuan Islam dengan Barat. Karena di Barat sumber ilmu menghendaki
hanya yang bersifat logis dan empiris saja.
Menurut Daud Rasyid, dalam Islam sumber-sumber ilmu
berasal dari wahyu dan akal. Wahyu adalah informasi tentang sesuatu dari yang
maha mengetahui yaitu Allah Swt. wahyu Allah diturunkan kepada Nabi Muhammad
Saw dalam bentuk al-Qur’an (al-Wahyu al-mathluw) dan sunnah Nabi Saw (al-Wahyu
ghairu-mathluw). Ciri khas wahyu itu adalah mengandung kebenaran muthlak
yang tak perlu didiskusikan kebenarannya. Menurut Daud Rasyid fungsi manusia
dalam kaitan ini adalah memahami wahyu dan mengoperasioanalkannya. Manusia
hendaknya tidak terjebak dalam mempersoalkan kebenaran wahyu dan validitasnya,
sebab hal itu hanya sekedar pemborosan energi dan kurang bermanfaat.
Adapun sumber ilmu yang kedua, yaitu akal. Akal
manusia ditakdirkan dan disetting oleh Allah agar mampu menemukan pengetahuan.
Berbagai perangkat kasar dan perangkat lunak telah Allah siapkan untuk tujuan
itu. Sebab dalam Islam, akal adalah kunci penugasan manusia (manath
at-taklif). Tanpa akal, manusia tidak dapat dibebani dengan dengan hukum-hukum
syari’at.
Metode akal dalam menangkap pengetahuan melalui tiga
jalur:
a.
Melalui indra yang dapat berupa penglihatan dan
pendengaran. Informasi itu diteruskan ke akal dan diterjemahkannya secara
benar.
b.
Melalui logika, seperti 3>2. Seseorang mustahil
berada didua tempat dalam waktu yang sama.
c.
Melalui berita yang disampai oleh orang lain.
Kebenaran pengetahuan ini tergantung pada kebenaran nara sumbernya. Dalam
kaitan ini, Islam sangat berjasa merumuskan disiplin ilmu yang dapat menguji
kebenaran suatu informasi. Ilmu ini dikenal dalam ilmu hadits dengan nama ‘ilmu
al-jarh wa al-ta’dil’[6].
Akal dalam
al-Qur’an
Sebagai Risalah terakhir; al-Qur’an tidak pernah
menentang eksistensi akal, melainkan justru mendukungnya dalam berbagai bentuk.
Seruan al-Qur’an untuk berfikir diungkapkan dalam bentuk yang bervariasi,
seperti: memandang secara seksama (nadzhar), berfikir (tafakur),
merenungkan (tadabur), mengambil pelajaran (i’tibar), menyadari (tadzakur),
dan mendalami pemahaman (tafaquh). Variasi ini semakin mengukuhkan bahwa
Islam sangan memperhatikan harmoni dan kompatibilitas akal dan wahyu, karena menolak
akal sama dengan menentang logika al-Qur’an[7].
Dalam al-Qur'an,
secara khusus kata-kata yang berakar
pada 'aql bertaburan
di berbagai surat. Kata-kata: afala ta'qilun
(Maka tidakkah kamu
menggunakan akalmu?; Tidakkah kamu
berfikir?) terulang dalam al-Al-Qur'an
tidak kurang dari
13 kali. Kata la'allakum ta'qilun
(agar kamu
mengerti/memahami) terulang sekitar
8 kali; li qaumin ya'qilun
(untuk kaum yang menggunakan akalnya/memikirkan) sekitar 8 kali; belum
lagi kata-kata na'qilu, ya'qiluna biha, ya'qiluha, takunu
ta'qilun, dsb[8].
Searah dengan itu ayat-ayat qauliyyah (berkaitan
dengan tasyri’) dan kauniyyah (alam) merupakan bukti-bukti bahwa
eksistensi Tuhan dan dalam berbagai kondisi menjadi karunia besar bagi orang
berakal dan berfikir[9].
Berikut adalah ayat-ayat yang mengajak pembacanya untuk berfikir dan
menggunakan akalnya:
أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى
الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ . وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ . وَإِلَى
الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ . وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia
diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? . Dan gunung-gunung bagaimana
ia ditegakkan?. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”[10]
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ
مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh
dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat
pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran”[11]
إِنَّ فِي
خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ
لِأُولِي الْأَلْبَابِ . الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا
وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّار
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal. (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka.”[12]
وَإِنَّ
لَكُمْ فِي الْأَنْعَامِ لَعِبْرَةً نُسْقِيكُمْ مِمَّا فِي بُطُونِهِ مِنْ بَيْنِ
فَرْثٍ وَدَمٍ لَبَنًا خَالِصًا سَائِغًا لِلشَّارِبِينَ
“Dan sesungguhnya pada
binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu
minum daripada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara
tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya”[13].
وَلَقَدْ
ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا
يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا
يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ
الْغَافِلُونَ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam
kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan
mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi. Mereka itulah orang-orang
yang lalai”[14].
Prinsip Kausalitas (sebab-akibat) merupakan basis
pemikiran rasional. Tanpa mengakuinya seorang mustahil membangun argumentasi
rasional. Al-Qur’an senantiasa menghormati prinsip ini. Dalam prespektif
al-Qur’an, terdapat relasi yang niscaya antara perbuatan buruk dengan kerusakan
yang terjadi di daratan dan lautan:
ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”[15].
sebaliknya keimanan dan ketakwaan menyebabkan pintu
keberkahan dilangit terbuka bagi umat manusia:
وَلَوْ أَنَّ
أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ
السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا
يَكْسِبُون
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,
tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya”[16].
lebih dari itu al-Qur’an juga memotivasi kaum muslimin untuk merenungkan
dan mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa yang pernah dialami umat
terdahulu. Dan ini jelas termasuk satu dari sekian bentuk berlakunya prinsip
kausalitas dalam al-Qur’an. Karena kalau yang terjadi hanya sebuah kebetulan
maka rangkaian peristiwa dimasa lalu niscaya tidak akan mengandung hikmah dan
pelajaran yang dapat dipetik[17].
Selain menghimbau manusia
untuk berfikir dan merenung, al-Qur’an juga mencemooh dan mengecam orang-orang
yang mengabaikan karunia Allah ini. Al-Qur’an mencap orang yang tidak
mengoperasikan rasionya sebagai makhluk hina. Di dalamnya bertaklid buta kepada
para terdahulu juga sangat dikecam.
Rangkaian ungkapan begitu
bijak yang termaktub dalam al-Qur’an merupakan sumber pelajaran yang kaya
manfaat. Kitab suci ini mengarahkan manusia yang semata-mata beribadah dan
meyakini agama begitu saja dengan menyuguhkan serangkaian argumentasi rasional.
Al-Qur’an juga menghimbau manusia untuk mempraktikan metode ini dalam
berinteraksi[18].
Akhirnya, dosa utama yang menjerumuskan manusia ke neraka adalah keengganan
mengikuti tuntunan akal. Al-Qur’an menerangkan penyebab penghuni Neraka yang
menyesal:
وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ
أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ
Dan mereka berkata:
"Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya
tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala"[19].
Bahkan Allah telah memerintahkan
kita untuk memperhatikan dan merenungkan Al Qur’an dengan menggunakan akal
semisal dalam beberapa ayat berikut ini:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ
الْقُرْآَن
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an?” (QS. An
Nisa’: 82 dan Muhammad: 24).
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ
بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Mengapa
kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri
(kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah
kamu berpikir?” (QS. Al
Baqarah ayat: 44).
وَمَا الْحَيَاةُ
الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُ الْآَخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ
أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Dan
tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan
sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka
tidakkah kamu memahaminya?” (QS. Al An’am ayat: 32).
أَفَلَمْ يَسِيرُوا
فِي الأرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَدَارُ
الْآَخِرَةِ خَيْرٌ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Maka
tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan
orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung
akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu
memikirkannya?”( QS. Yusuf
ayat: 109).
وَمَا أُوتِيتُمْ
مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَزِينَتُهَا وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ
وَأَبْقَى أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Dan apa
saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan
perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal.
Maka apakah kamu tidak memahaminya?”( QS. Al Qashash: 60).
Berikut adalah beberapa ayat dalam al-Qur’an yang
berkaitan dengan kaum yang berakal:
Al-Baqarah: 164
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ
اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ
النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ
الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ
الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ
لِقَوْمٍ يَعْقِلُون
“Sesungguhnya pada kejadian langit dan bumi; dan pertukaran
malam dan siang; dan (pada) kapal-kapal yang belayar di laut dengan membawa
benda-benda yang bermanfaat kepada manusia; demikian juga (pada) air hujan yang
Allah turunkan dari langit lalu Allah hidupkan dengannya tumbuh-tumbuhan di
bumi sesudah matinya, serta Ia biakkan padanya dari berbagai-bagai jenis
binatang; demikian juga (pada) peredaran angin dan awan yang tunduk (kepada
kuasa Allah) terapung-apung di antara langit dengan bumi; sesungguhnya ada
tanda-tanda (yang membuktikan keesaan Allah, kekuasaanNya, kebijaksanaanNya,
dan keluasan rahmatNya) bagi kaum yang menggunakan akal fikiran (liqaumiy
ya’qiluun)”.
Al Jatsiyah: 5
وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَمَا
أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ رِزْقٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا
وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ آيَاتٌ لِقَوْمٍ يَعْقِلُون
“Dan (pada) pertukaran malam dan siang silih berganti,
dan juga (pada) rezeki yang diturunkan oleh Allah dari langit, lalu Ia hidupkan
dengannya tumbuh-tumbuhan di bumi sesudah matinya, serta (pada) peredaran
angin, (semuanya itu mengandungi) tanda-tanda (yang membuktikan keesaan Allah,
kekuasaanNya, kebijaksanaanNya, serta keluasan rahmatNya) bagi kaum yang mahu
menggunakan akal fikiran (liqaumiy ya’qiluun”).
Al Baqarah: 171
وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ
بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَاءً وَنِدَاءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا
يَعْقِلُونَ
“Dan bandingan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir, samalah
seperti orang yang berteriak memanggil binatang yang tidak dapat memahami
selain dari mendengar suara panggilan sahaja; mereka itu ialah orang-orang yang
pekak, bisu dan buta; oleh sebab itu mereka tidak dapat menggunakan akalnya
(laa ya’qiluun)”.
Al Maidah: 58
وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا
وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُون
“Dan apabila kamu menyeru untuk mengerjakan shalat,
mereka menjadikannya (shalat itu) sebagai ejek-ejekan dan permainan. Yang
demikian itu ialah karena mereka suatu kaum yang tidak berakal (laa
ya’qiluun)”.
Al Anfaal: 22
إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ
الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya sejelek-jelek makhluk yang melata di
sisi Allah ialah orang-orang yang pekak lagi bisu, yang tidak mau menggunakan
akal (alladziina laa ya’qiluun)”.
Yunus: 42
وَمِنْهُمْ مَنْ يَسْتَمِعُونَ إِلَيْكَ أَفَأَنْتَ تُسْمِعُ
الصُّمَّ وَلَوْ كَانُوا لَا يَعْقِلُونَ
“Dan di antara mereka (yang ingkar) itu, ada yang
datang mendengar ajaranmu; maka engkau (wahai Muhammad) tidak berkuasa
menjadikan orang-orang yang pekak itu mendengar kalau mereka menjadi
orang-orang yang tidak mau berakal (laa ya’qiluun)”.
Yunus: 100
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تُؤْمِنَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ
وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ
“Dan tiadalah sebarang kuasa bagi seseorang untuk
beriman melainkan dengan izin Allah; dan Allah menimpakan azab (arrijsa) atas
orang-orang yang tidak mau berakal (laa ya’qiluun)”.
Al Furqan: 44
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ
يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ
سَبِيلًا
“Atau adakah engkau menyangka bahawa kebanyakan mereka
mendengar atau memahami (ya’qiluun)? Mereka hanyalah seperti binatang ternak,
bahkan mereka lebih sesat lagi”.
Al Ankabut: 63
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ
مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا
لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
“Dan sesungguhnya jika engkau (wahai Muhammad) bertanya kepada mereka (yang
musyrik) itu: "Siapakah yang menurunkan hujan dari langit, lalu Ia
hidupkan dengannya tumbuh-tumbuhan di bumi sesudah matinya?" Sudah tentu
mereka akan menjawab: "Allah". Ucapkanlah (wahai Muhammad):
"Alhamdulillah", bahkan kebanyakan mereka tidak memahami (laa
ya’qiluun)”.
Al Hasyr: 14
لَا يُقَاتِلُونَكُمْ جَمِيعًا
إِلَّا فِي قُرًى مُحَصَّنَةٍ أَوْ مِنْ وَرَاءِ جُدُرٍ بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ
شَدِيدٌ تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ
لَا يَعْقِلُونَ
“(Orang-orang Yahudi dan orang-orang munafik) dengan keadaan bersatu padu
sekalipun, tidak berani memerangi kamu melainkan di kampung-kampung yang
berbenteng kukuh, atau dari sebalik tembok. (Sebabnya): permusuhan di antara
mereka sesama sendiri amatlah keras; engkau menyangka mereka bersatu padu,
sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu, kerana mereka adalah kaum
yang tidak berakal (qaumul laa ya’qiluun)”.
Akal Tidak Bisa Berdiri Sendiri
Akal
meyakinkan manusia akan sebuah pemikaran yang jernih dan mendalam, bahwa
penciptaan dan keberadaannya tidak sia-sia; dia didatangkan ke dunia dalam
rangka menempuh jenjang kesempurnaan muthlak dan meraih keselamatan abadi. Akal
juga mampu memahamkan bahwa untuk tujuan itu, manusia harus mengerjakan apapun
yang diridhai Tuhan dan menghindari yang dibenci-Nya. Namun, akal akan berhenti
lemah sampai batas menyingkap rincian dan seluk-beluk parsial jalan keselamatan
itu; batas yang tak sanggup dilampauinya. Hanya dengan arahan wahyu, manusia
bisa mengetahui rincian seluk-beluk perjalanannya dan cara menempuhnya. Tanpa
petunjuk wahyu akal bukan lagi mitra manusia yang sepatutnya menerangkan aneka
hubungan tutur dan prilakunya di dunia ini dengan pengaruh dan dampaknya di
akhirat sana[20].
Walaupun
akal bisa digunakan untuk merenungi dan memahami Al Qur’an, akal tidaklah bisa
berdiri sendiri. Bahkan akal sangat membutuhkan dalil syar’i (Al Qur’an dan
Hadits) sebagai penerang jalan. Akal itu ibarat mata. Mata memang memiliki
potensi untuk melihat suatu benda. Namun tanpa adanya cahaya, mata tidak dapat
melihat apa-apa. Apabila ada cahaya, barulah mata bisa melihat benda dengan
jelas. Begitu juga dengan akal. Akal barulah bisa berfungsi jika ada cahaya Al
Qur’an dan As Sunnah atau dalil syar’i. Jika tidak ada cahaya wahyu, akal
sangatlah mustahil melihat dan mengetahui sesuatu.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan:
“Bahkan akal
adalah syarat untuk mengilmui sesuatu dan untuk beramal dengan baik dan
sempurna. Akal pun akan menyempurnakan ilmu dan amal. Akan tetapi, akal
tidaklah bisa berdiri sendiri. Akal bisa berfungsi jika dia memiliki instink
dan kekuatan sebagaimana penglihatan mata bisa berfungsi jika ada cahaya.
Apabila akal mendapati cahaya iman dan Al Qur’an barulah akal akan seperti mata
yang mendapatkan cahaya mentari. Jika bersendirian tanpa cahaya, akal tidak
akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu.[21]”
Pada
prinsipnya, Islam telah menetapkan adanya dua alam yang harus dibenarkan
manusia sebagai prasyarat diterima keislamannya. Kedua alam itu ialah alam
ghaib (metafisik) dan alam nyata. Spesifikasi alam ghaib ialah berada diluar
batas ruang dan waktu. Dua kawasan yang merupakan jalur operasi akal manusia.
Adapun alam ghaib, seperti Allah, Malaikat, langit, jin, akhirat adalah kawasan
yang berada diluar jangkauan manusia. Manusia tak bakal mengetahuinya secara
rinci dengan mengandalkan kemampuan dirinya sendiri. Fungsi akal disini hanya sekedar
menerima informasi, memahami dan membenarkan. Sementara alam nyata, objek dan
komponennya berada dalam batasan ruang dan waktu. Akal mansia bertugas
menyelidikinya untuk sampai pada hakikat.
Atas
dasar ini kebenaran disekitar alam ghaib tidak dapat didiskusikan secara
rasional dan menggunakan logika, tetapi kita terima melalui teks apa adanya.
Peran akal berada pada batas pengklasifikasian, penempatan dan penetapan agar
keluar dengan kesimpulan yang general dan sempurna serta tidak bertentangan dengan
akal dan logika[22].
Quraish
Shihab menyatakan kitab suci al-Qur’an mempersilahkan umat Islam untuk
mengembangkan ilmu, menggunakan akalnya menyangkut segala sesuatu yang berada
dalam wilayah nalar, yaitu alam fisika ini. Namun harus disadari manusia bahwa
jangankan alam raya yang sedemikian luas, dirinya sendiri sebagai manusia,
belum sepenuhnya ia kenal[23].
Yang
menarik, para pemikir-pemikir barat sekalipun dengan ‘pengetahuan ilmiah’ nya
menyatakan bahwa akal pada manusia itu sesungguhnya sangat terbatas dan tidak
bisa berdiri sendiri. Sebut saja Emmanuel Kant (1724-1804), seorang filusuf
besar asal Jerman yang masih besar pengaruhnya hingga kini dalam berbagai
bidang, beliau hidup pada zaman rasionalisme abad ke-18, semboyannya adalah
“sapere aude..!” ‘beranikan menggunakan akal budimu..!’.
Namun
dalam bukunya yang terkenal Kritik derTheoritische Vernunft, ia menegaskan
penyelidikan dengan akal budi benar-benar dapat memberikan suatu pengetahuan
mengenai dunia yang tampak, akan tetapi akal budi itu sendiri tidak sanggup
untuk memberikan kepastian-kepastian, hingga pada pertanyaan-pertanyaan
terdalam mengenai Allah, manusia, dunia dan akhirat. Akal budi manusia itu
tidak mungkin memperoleh kepastian-kepastian, melainkan hidup dalam pengandaian
(postulat-postulat)[24].
Kant
yang disebut sebagai “raksasa ahli pikir” itu menyadari bahwa hakikat itu tidak
dapat dicapai oleh akal yang kekuatannya terbatas. Baru akan bertemu bila akal
dipisahkan dari diri dan dijadikan orang ketiga untuk mempertemukan si Aku dan si
Dia, padahal hal itu mustahil. Benar juga yang dikatakannya bahwa perkara besar
itu ada, tetapi letaknya adalah diatas akal (Transcendental). Oleh karena itu,
ia berkata, “Ich musste das Wessen aufheben, um zum Glauben Plaz zu bekommen”,
‘saya terpaksa berhenti sejenak dari pengetahuan, supaya saya sediakan tempat
buat iman’[25].
Albert
Einstein (1879-1955), seorang ahli fisika ulung; kelas kakap berasal dari
Jerman menyatakan, “Science withhout religion is lame, religion withhout
science is blind” ‘ilmu tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu buta’[26].
Quraish
Shihab menegaskan bahwa al-Qur’an sejak dini memadukan usaha dan pertolongan
Allah akal dan kalbu, pikir dan dzikir, iman dan ilmu. Akal tanpa kalbu
menjadikan manusia seperti robot, pikir tanpa dzikir menjadikan manusia seperti
syetan. Iman tanpa ilmu sama dengan pelita ditangan bayi, sedangkan ilmu tanpa
iman bagaikan pelita ditangan pencuri. Oleh karena itu, al-Qur’an sebagai kitab
terpadu menghadapi dan memperlakukan peserta didiknya dengan memperhatikan
keseluruhan unsur manusiawi, jiwa akal dan jasmaninya[27].
Intinya,
akal bisa berjalan dan berfungsi jika ditunjukan oleh dalil syar’i, yaitu dalil
dari Al Qur’an dan As-Sunnah. Tanpa cahaya ini, akal tidak akan berfungsi
sebagaimana mestinya. Maka dalam Islam sumber ilmu yang dimilikinya harus
saling mendukung tidak saling mencedrai.
Akal
Dan Wahyu; Antara Muktazilah Dan Sufiyyah
Menurut
Ibnu Taimiyyah Ada dua sikap ekstrim dalam mendudukkan akal. Sikap pertama:
Yang menjadikan akal sebagai satu-satunya landasan ilmu sedangkan dalil Al
Qur’an atau dalil syar’i hanya sekedar taabi’ (pengikut). Akal pun
dianggap sebagai sumber pertama dan dianggap akal tidak butuh pada iman dan Al
Qur’an. Inilah sikap yang dimiliki oleh Ahlul Kalam—dalam hal ini penulis akan
sedikit mengurai pemikiran faham Mu’tazilah. Sikap kedua: Yang sangat
mencela dan menjelek-jelekan akal, juga menyelisihi dalil logika yang
jelas-jelas tegasnya, serta mencela dalil logika secara mutlak. Inilah sikap
dari kaum Sufiyah[28].berikut
adalah uraian singkat mengenai kedua pemikiran tersebut:
- Mu’tazilah
Mereka adalah pengikit Washil bin Atha
(wafat th 131 H) dan Amr bin ‘Ubaid (wafat th. 144 H). Dikatakan mu’tazilah
karena mereka mengeluakan diri (i’tizal) dari kelompok kajian al-Hasan
al-Bashri (wafat th. 110 H) sesudah menyalahi atau menyelesihi beliau dalam
masalah pelaku dosa besar. Washil berpendapat pelaku dosa besar berada pada Manzilah
baina manzilatain (tidak mukmin tidak juga kafir) atau dikatakan muktazilah
karena mereka mengisolir diri dari pandangan sebagian besar umat islam ketika
itu dalam hal pelaku dosa besar[29]. Mereka juga dinamakan
qadariyah meskipun terdapat perbedaan antara qodariyah yang asli dan
mu’tazilah. Qodariyah yang dikafirkan oleh para Ulama, mereka mengingkari ilmu
Allah, aka tetapi mereka menetapkan Allah tidak menciptakan perbuatan hamba.
Yakni usaha semuanya dari manusia tidak ada takdir Allah. Oleh karena itu
mereka juga Qodariyah karena asal bid’ah mereka ini datang dari firqah
Qadariyyah[30].
Diantara keyakinan mereka adalah:
1. Mereka memiliki lima dasar (ushulul
khamsah), yaitu:
Pertama, Adil. Maksudnya
menafikan qadar (takdir) Allah Ta’ala.
Kedua, Tauhid. Maksudnya
ialah menafikan sifat-sifat Allah ta’ala
Ketiga, Janji. (al-Wa’du).
Maksudnya ialah bahwa Allah ta’ala wajib memberi ganjaran atau pahala kepada
orang yang ta’at.
Keempat, Ancaman (al-Wa’id).
Maksudnya ialah bahwa Allah ta’ala wajib menyiksa (mengadzab) orang yang
mengerjakan maksiat.
Kelima, Manzilah baina
Manzilatain (satu tempat diantara dua kedudukan). Maksudnya apabila seorang
mukmin melakukan dosa besar maka ia tidak disebut kafir tidak disebut mukmin,
tetapi ada diantara kedudukan kafir dan iman.
2. Mereka mengatakan al-Qur’an adalah makhluk
3. Mereka mengingkari syafa’at Nabi Saw
pada hari kiamat untuk pelaku dosa besar dari umat Islam
4. Mereka meyakini bahwa orang mukmin yang
mati dalam keadaan melakukan dosa besar dan maksiat maka ia kekal di dalam
neraka
5. Amar ma’ruf nahyi munkar, maksudnya
ialah memberontak kepada penguasa yang dzalim dan lain-lain.
6. Mengingkari sifat-sifat Allah ta’ala
7. Mereka mengingkari adanya keterkaitan
taqdir Allah ta’ala dengan perbuatan hamba. Menurut mereka perbuatan hamba
tidak ada kaitannya dengan takdir Allah[31]. Mereka mengira bahwa
mereka kuasa menolak madlharat dan memberi manfaat pada diri mereka sendiri
tanpa ada campur tangan Allah.
8. Mereka sepakat bahwa Allah tidak dapat
dilihat oleh orang mu’min dengan mata mereka di akhirat
9. Mereka mengingkari hadits-hadits shahih
yang menjelaskan bahwa orang-orang mukmin yang masuk neraka akan dikeluarkan
oleh Allah dan dimasuka dalam surga-Nya.
10. Mereka mengatakan mengerjakan dosa
besar akan menghapuskan amal
11. Mereka meyakini bahwa orang mukmin yang
mati membawa dosa besar, akan kekal di neraka
12. Mereka mendahulukan akal dari pada
wahyu
13. Mereka mengatakan Allah ada
dimana-mana; disetiap tempat[32].
14. Mereka mendustakan adzab kubur dan
haudh (telaga). Mereka juga menganggap tidak sah shalat berjama’ah dan jum’at
dibelakang seorang pun dari ahli kiblat (kaum muslimin) kecuali orang yang
memiliki keyakinan yang sama dengan mereka. Mereka menyangka bahwa amalan hamba
tidak tertulis di Lauh Mahfudz[33].
b. Sufiyyah
Shufiyah muncul pertama kali di Bashrah dan orang yang
pertama kali mendirikan Duwairah as-Shufiyah adalah sebagian dari murid Abdul
Wahid binJaiz, dan Abdul Wahid ini salah satu murid al-Hasan Bashri. Di Bashrah
ia terlalu berlebihan dalam Zuhud, ibadah, takut dan selainnya. Diriwayatkan
oleh Abu Asy-Syaikh al-Ashfahani dengan sanadnya dari Muhammad bin Sirin, ia
mendengar ada suatu kaum yang lebih mengutamakan pakaian wol (shuf) maka
ia berkata, “ada satu kaum yang lebih memilih pakaian wol dan mereka mengatakan
bahwa mereka meniru al-Masih putra Maryam. Padahal petunjuk Nabi lebih kita
sukai. Dulu Nabi Saw memakai pakaian terbuat dari katun dan selainnya....” atau
pernyataan yang mirip dengan ini[34].
Diantara aqidah Shufiyah adalah bahwa mereka memiliki makna
dzahi dan batin dalam setiap ayat al-Qur’an, memiliki karamah palsu; seperti dapat
menghidupkan orang yang sudah mati, orang shufi memiliki kalimat takwin (meyakini
bahwa jika guru mereka mengatakan pada sesuatu: kun (jadi..!), maka
jadilah ia), bisa mendengar ucapan benda-benda mati, orang sufi bisa mengelilingi
alam Malakut, al-Hulul dan al-Ittihad, wihdatul wujud, al-Haqiqah
al-Muhamadiyyah dan sebagainya[35].
Penutupan
Para sahabat memberikan teladan;
bahwasannya dalam beragama tidak selamanya kita harus tunduk pada akal. Dalam
satu riwayat dinyatakan bahwa Ibnu ‘Abbas pernah membacakan firman Allah Swt
yang berbunyi:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ
دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ
دِينًا
“…Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu...”
(QS.
Al-Mai’dah: 3)”
Lalu ada
seorang Yahudi berkata, "Seandainya ayat ini diturunkan kepada kami,
niscaya kami akan menjadikan hari penurunannya sebagai hari raya." Maka
Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya ayat ini diturunkan pada dua hari raya
sekaligus, yaitu hari raya dan hari Jumat. Dalam riwayat lain Umar menyatakan,
“Sesungguhnya aku mengetahui hari dan tempat diturunkannya ayat tersebut. Ayat
ini diturunkan pada hari Jumat di hari Arafah, di mana keduanya merupakan
hari raya bagi kami (umat Islam)[36].
Dalam
keterangan di atas, Umar mengajarkan pada kita bahwa sekalipun perbuatan itu
baik menurut akal, tetapi kalau kemudian bertentangan dengan keterangan Allah
dan Rasul-Nya, maka pada hakikatnya ‘sesuatu’ itu merupakan perbuatan yang
tercela. Rasulullah Saw., mengingatkan:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ
أَمْرُنَا فَهْوَ رَدٌّ
“…orang yang beramal bukan atas perintah kami, maka amal
tersebut ditolak”
Dalam hadits lain Umar mengajarkan pada kita
mengenai penempatan posisi akal kita seperti dalam hadits berikut:
عَنْ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
، أَنَّهُ جَاءَ إِلَى الْحَجَرِ الأَسْوَدِ فَقَبَّلَهُ فَقَالَ إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ
حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ ، وَلاَ تَنْفَعُ وَلَوْلاَ
أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ.
Dari
Umar bahwa ia mencium Hajar Aswad dan berkata: Sesungguhnya aku tahu bahwa
engkau hanyalah batu yang tidak membahayakan dan tidak memberi manfaat. Seandainya
aku tidak melihat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menciummu, aku
tidak akan menciummu.
Kasus
lain pernah suatu saat sahabat Ali Ra. Berkata sebagaimana tergambar dalam
hadits berikut ini:
عَنْ عَلِىٍّ - رضى الله عنه - قَالَ لَوْ كَانَ الدِّينُ
بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ
وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ.
Ali
Radliyallaahu 'anhu berkata: Jikalau agama itu cukup dengan pikiran maka bagian
bawah sepatu lebih utama untuk diusap daripada bagian atas Aku benar-benar
melihat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengusap punggung kedua
sepatunya Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang baik
Akhirul-kalam..dari
pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya Islam melalui
Isyarat Allah dan Rasu-Nya sangat memperhatikan sekali posisi atau kedudukan
akal. Karena dengan akal lah syari’at bisa dijalankan. Tetapi meskipun demikian
akal tidak bisa dibiarkan berkeliaran begitu saja tanpa ada bimbingan al-Qur’an
dan al-Sunnah.
Wallahu’alam..
________________________________________________
Daftar Putsaka
Al-Qur’an al-Karim
Abu al-Fadhl Jamal al-Din Muhammad ibnu Mukrim Ibnu Manzur
al-Ifriqi, Lisan al-Arab, (_____:____, ____).
Abul Qashim Husain bin Muhammad bin Mufadhal; al-Raghib
al-Asfahani, Mu’jam Mufradat alfadz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2008), cet-3.
Abdul Hakim bin Amir Abdat, Risalah Bid’ah, (Jakarta:
Pustaka Mu’awiyah bin Abi Sufyan, 2008), cet-5.
Ali bin Muhammad al-Jarjaniy, al-Ta’rifat, (Jakarta:
Dar al-Hikmah, ___).
Alamiy Zadah Faidhullah al-Hasanni, al-Mu’jam Mufahras li
kalimat al-Qur’an/ Fath al-Rahman li
al-Thalib ayat al-Qur’an (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 2005).
Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1998).
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam; Pokok-Pokok
Pikiran tetang Paradigma dan sisten Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,
2004).
Hasan Yusufian dan Ahmad Husain Sharifi, ‘Aql va Vahy,
terj. Ammar Fauzi Heryadi, Akal dan Wahyu; tentang Rasionalitas dalam Ilmu,
Agama dan Filsafat, (Jakarta: Sadra Press, 2011).
Imam Abul Fida’
al-Hafidz Ibnu Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (Beirut:
Dar_El-Fikr, 2005), juz 1.
M. Quraish Shihab, al-Khawatir, terj. Ahmad al-Attas,
Logika Agama; kedudukan wahyu dan Batas-Batas akal dalam Islam, (Jakarta:
Lentera Hati, 2006), cet-3.
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i
atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2003), cet-13.
Maktabah Syamilah CD versi 16
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2008).
Syaikh al-Islam Ahmad bin Taimiyyah al-Haraniy, Majmu’ Al Fatawa, (jilid
ke-3).
Ummu Tamim Izzah binti Rasyad, Aqa’id al-Firaq
adh-Dhaallah wa Aqidah al-Firqah an-Najiyah, terj. Sufyan bin Zaidin Sinaga
Abu Yazid, Menyingkap Aliran dan Faham Sesat, (Jakarta: Pustaka Imam
Ahmad, 2010).
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Mulia dengan Manhaj Salaf,
(Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2008), cet-2.
[1]
Abu al-Fadhl Jamal al-Din Muhammad ibnu Mukrim Ibnu Manzur al-Ifriqi, Lisan
al-Arab, (_____:____, ____) hlm. 3046. Lihat juga Abul Qashim Husain bin
Muhammad bin Mufadhal; al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat alfadz
al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), cet-3, hlm. 383.
Selanjutnya ditulis al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat alfadz al-Qur’an.
Lihat juga Ali bin Muhammad al-Jarjaniy, al-Ta’rifat, (Jakarta: Dar
al-Hikmah, ___), hlm. 152.
[2]
al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat alfadz al-Qur’an, hlm. 382-383.
[3]
Lihat catatan kali dalam buku M. Quraish Shihab, al-Khawatir, terj.
Ahmad al-Attas, Logika Agama; kedudukan wahyu dan Batas-Batas akal dalam
Islam, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), cet-3, hlm. 87-88.
[4]
Ibid, hlm. 88
[5]
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2008), hlm. 204-206.
[6]
Ali Juraisya, Manhaj at-Tafkir al-Islami dalam Daud Rasyid, Islam
dalam Berbagai Dimensi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 90-91.
Selanjutnya ditulis Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi
[7]
Hasan Yusufian dan Ahmad Husain Sharifi, ‘Aql va Vahy, terj. Ammar Fauzi
Heryadi, Akal dan Wahyu; tentang Rasionalitas dalam Ilmu, Agama dan Filsafat,
(Jakarta: Sadra Press, 2011), hlm. 243. Selanjutnya ditulis Hasan Yusufian dan
Ahmad Husain Sharifi, ‘Aql va Vahy
[8]
Alamiy Zadah Faidhullah al-Hasanni, al-Mu’jam Mufahras li kalimat al-Qur’an/
Fath al-Rahman li al-Thalib ayat
al-Qur’an (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 2005), cet-3, hlm. 222.
[9]
Hasan Yusufian dan Ahmad Husain Sharifi, ‘Aql va Vahy, hlm. 243-244.
[10]
QS. Al-Ghasyiyah [88] ayat: 17-20
[11]
QS. Shad [38] ayat: 29
[12]
QS. Ali-Imran [3] ayat: 190-191
[13]
QS. Al-Nahl [16] ayat: 66
[14]
QS. Al-A’raf [7] ayat: 179
[15]
QS. Al-Rum [30] ayat: 41
[16]
QS. Al-A’raf [7] ayat: 96
[17]
Hasan Yusufian dan Ahmad Husain Sharifi, ‘Aql va Vahy, hlm. 245-246
[18]
Ibid, hlm. 240-241
[19]
QS. Al-Mulk [67] ayat: 10
[20]
Hasan Yusufian dan Ahmad Husain Sharifi, ‘Aql va Vahy, hlm. 254.
[21]
Syaikh al-Islam Ahmad bin Taimiyyah
al-Haraniy, Majmu’ Al Fatawa, (jilid ke-3), hlm. 338-339.
[22]
Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi, hlm. 93-94.
[23]
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2003), cet-13, hlm. 383. Selanjutnya
ditulis M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat
[24]
L. Verkuyl, Etika Kristen dan Kebuadayaan, terj. Dalam Endang Saifuddin
Anshari, Wawasan Islam; Pokok-Pokok Pikiran tetang Paradigma dan sisten
Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 16. Selanjutnya ditulis
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam; Pokok-Pokok Pikiran tetang
Paradigma dan sisten Islam
[25]
Hamka, Pandangan Hidup Muslim dalam Dalam Endang Saifuddin Anshari, Wawasan
Islam; Pokok-Pokok Pikiran tetang Paradigma dan sisten Islam, hlm. 17.
[26]
Ibid, hlm. 29.
[27]
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat, hlm. 7.
[28]
Syaikh al-Islam Ahmad bin Taimiyyah
al-Haraniy, Majmu’ Al Fatawa, (jilid ke-3), hlm. 338.
[29]
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Mulia dengan Manhaj Salaf, (Bogor: Pustaka
At-Taqwa, 2008), cet-2, hlm. 508. Selanjutnya ditulis Yazid bin Abdul Qadir
Jawas, Mulia dengan Manhaj Salaf
[30]
Abdul Hakim bin Amir Abdat, Risalah Bid’ah, (Jakarta: Pustaka Mu’awiyah
bin Abi Sufyan, 2008), cet-5, hlm. 287. Selanjutnya ditulis Abdul Hakim bin
Amir Abdat, Risalah Bid’ah
[31]
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Mulia dengan Manhaj Salaf, hlm. 508-509.
[32]
Abdul Hakim bin Amir Abdat, Risalah Bid’ah, hlm. 288-289.
[33]
Ummu Tamim Izzah binti Rasyad, Aqa’id al-Firaq adh-Dhaallah wa Aqidah
al-Firqah an-Najiyah, terj. Sufyan bin Zaidin Sinaga Abu Yazid, Menyingkap
Aliran dan Faham Sesat, (Jakarta: Pustaka Imam Ahmad, 2010), hlm. 155.
Selanjutnya ditulis Ummu Tamim Izzah binti Rasyad, Aqa’id al-Firaq
adh-Dhaallah wa Aqidah al-Firqah an-Najiyah
[34]
Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa dalam ibid,
hlm. 182.
[35]
Ibid, hlm. 183-187.
[36]
Imam Abul Fida’ al-Hafidz Ibnu Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Adzim,
(Beirut: Dar_El-Fikr, 2005), juz 1, hlm. 555.
Assalamu'alaikum, izin copas ustadz, untuk menambah bahan makalah ana, syukron
BalasHapus