Imam Muslim dan
Kitab Shahih-nya
(206-261
H/820-875 M)
Oleh: Jajang Hidayatullah[1]
A.
Riwayat
Hidup
a)
Silsilahnya
Lengkapnya
bernama Imam Abdul Husain bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi
an-Naisabury[2],
lahir di Naisabur tahun 206 H[3]
dan Imam Muslim wafat—menurut adz-Dzahabi—pada bulan Rajab tahun 261 H di
Naisabur[4].
Ketika beliau meninggal usianya mencapai lebih dari 50 tahunnan[5]. Sebagaimana
dinyatakan oleh al-Hakim Abu Abdullah dalam kitabnya “Ulama’ul Amsar”. Imam Muslim adalah saudagar yang kaya raya[6]; penulis
kitab shahih dan kitab ilmu hadits. Dia adalah ulama terkemuka, kredibel, ahli
fiqih namanya tetap dikenal sampai kini[7].
b)
Kehidupan
dan rihlah-nya
Kehidupan
Imam Muslim penuh dengan kegiatan mulia. Beliau merantau ke berbagai Negeri
untuk mencari hadits. Antara lain ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan Negara-negara
lainnya[8].
Dia belajar hadits sejak usia 12 tahun[9].
Dalam
perjalanannya, Muslim bertemu dan berguru pada Ulama hadits. Di Khurasan,
beliau berguru pada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih. Di Ray, beliau
berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu Ansan. Di Irak, beliau belajar pada
Ahmad bin Hambal dan Abdullah bin Maslamah. Di Hijaz, beliau berguru kepada
Sa’id bin Mansyur Abu Mas’ab. Di Mesir, belajar kepada ‘Amar bin Sawad dan
Harmalah bin Yahya dan berguru kepada Ulama hadits lainnya[10].
Imam
Muslim berulangkali pergi ke Baghdad untuk belajar hadits, dan kunjungannya
yang terakhir tahun 259 H. ketika Imam Bukhari dating ke Naisabur, Muslim
sering berguru kepadanya. Sebab beliau mengetahui kelebihan ilmu Imam Bukhari.
Ketika terjadi ketegangan antara Bukhari dengan az-Zuhali, beliau memihak
Bukhari. Sehingga hubungan denga az-Zuhali menjadi putus. Dalam kitab
shahih-nya maupun kitab lainnya, muslim tidak memasukan hadits yang diterima
dari az-Zuhali, meskipu dia adalah guru Muslim. Dan beliau pun tidak memasukan
hadits yang diterima dari Bukhari padahal dia juga sebagai gurunya. Bagi Muslim
lebih baik tidak memasukan hadits yang diterimanya dari dua gurunya itu. Tetapi
tetap mengakui mereka sebagai gurunya[11].
c)
Guru-gurunya
Imam
Muslim mempunyai guru hadits yang sangat banyak sekali, diantaranya adalah:
Usman bin Abi Syaibah, Abu Bakar bin Syaibah, Syaiban bin Farukh, Abu Kamil
al-Juri, Zuhair bin Harab, Amar bin an-Naqid, Muhammad bin Musanna, Muhammad
bin Yasar, Harun bin Sa’id al-Aily, Qutaibah bin Sa’id dan masih banyak lagi
yang lainnya[12].
d)
Murid-muridnya
Banyak
para Ulama yang meriwayatkan hadits dari Muslim, diantaranya adalah; Abu Hatim
ar-Razi, Musa bin Harun, Ahmad bin Salamah, Abu Bakar bin Khuzaimah, Yahya bin
Said, Abu Awanah al-Isyfarayini, Abi Isa at-Tirmidzi, Abu Amar Ahmad bin
al-Mubarak al-Mustamli, Abul Abbas Muhammad bin Ishaq bin Sarraj, Ibrahim bin
Muhammad bin Sufyan al-Faqih az-Zahid. Nama terakhir ini adalah perawi utama
bagi Shahih Muslim. Dan masih banyak lagi muridnya yang lain[13].
e)
Pujian
para Ulama
Al-khatib
al-Baghdadi berkata, “Muslim telah mengikuti jejak Bukhari, mengembangkan
ilmunya dan mengikuti jalannya.” Pernyataan ini bukanlah menunjukan bahwa
Muslim hanya pengikut saja. Sebab ciri khas tersendiri dalam menyusun kitab,
serta memperkenalkan metode baru yang belum ada sebelumnya[14].
Imam
Muslim mendapat pujian dari Ulama hadits dan Ulama lainnya. Al-Khatib
al-Baghdadi meriwayatkan dari Ahmad bi Salamah, “saya melihat Abu Zur’ah dan
Abu Hatim selalu mengutamakan Muslim bin Hajjaj dari pada guru-guru hadits
lainnya.” Al-Khatib memberikan komentar[15].
Ishak
bin Mansur al-Kausaj pernah berkata kepada Muslim, “kami tidak akan pernah
kehilangan kebaikan selama Allah menetapkan engkau bagi kaum muslimin.”
Ishak
bin Rahawaih pernah bertanya, “adakah lain seperti Muslim?” Ibnu Abi Hatim
mengatakan, “Muslim adalah penghapal
hadits, saya menulis hadits dari beliau di Ray.” Abu Quraisy member penilaian,
“di dunia ini orang yang benar-benar ahli hadits hanya empay orang, diantaranya
Muslim.” Maksudnya ahli hadits dimasa Abu Quraisy, sebab ahli hadits itu sangat
banyak jumlanya[16].
f)
Karya-karyanya
Imam
Muslim mempunyai kitab hasil tulisannya yang jumlahnya cukup banyak.
Diantaranya:
1. Al-Jami’
as-Shahih
2. Al-Musnad
al-Kabir ‘ala ‘Asma ar-Rijal
3. Kitab
al-Asma’ wa al-Kuna
4. Kitab
al-I’lal
5. Kitab
al-Aqran
6. Kitab Sulalathi Ahmad bin Hambal
7. Kitab
al-Intifa’ bi ‘Usubi as-Siba
8. Kitab
al-Muhadlramin
9. Kitab
Man laisa lahu illa Rawi Wahidin
10. Kitab
Aulad as-Shahabah
11. Kitab
Auham al-Muhaditsin[17]
Kitabnya
yang paling terkenal sampai saat ini adalah al-Jami’ as-Shahih atau Shahih
Muslim.
B.
Shahih
Muslim
a)
Kedudukan
Shahih Muslim
Kitab
ini adalah salah satu kitab—ke dua paling shahih setelah Shahih Bukhari[18]—yang
paling shahih setelah al-Qur’an. Kedua kitab shahih ini diterima umat Islam
dengan baik[19].
Imam
Muslim sangat teliti dalam mempelajari para Rawi, menyeleksi yang
diriwayatkannya, dan membandingkan antara riwayat yang satu dengan lainnya,
meneliti susunan lafadznya dan memberikan petunjuk bila terdapat perbedaan pada
lafadz-lafadz itu. Dari usaha ini menghasilkan kitab Shahih yang menjadi
rujukan bagi para peneliti dan para Ulama[20].
Muslim
menyaring hadits yang dimasukan dalam kitabnya itu dari ribuan hadits yang
telah didengarnya. Beliau pernah berkata, “Aku menyusun kitab Shahih ini hasil
dari 300.000 hadits[21].”
Kitab
shahih ini adalah hasil dari kehidupan yang penuh berkah, yang ditulis dimana
saja ia berada, baik dalam waktu sempit maupun lapang. Beliau mengumpulkan,
menghafal, menyaring dan menulis sehingga menjadi sebuah kitab Shahih yang
sangat baik dan teratur. Beliau dan beberapa muridnya menyelasaikan penyusunan
kitab Shahih itu dalam waktu lima belas tahun.
Ahmad
bin Salamah mengatakan, “aku menulis bersama Muslim untuk menyusun kitab Shahih
itu selama lima belas tahun, kitab itu berisi 12.000 hadits[22].”
Kita
tidak perlu heran jika Muslim sangat bangga dengan kitab shahih-nya itu. Beliau
pernah berkata sebagai ungkapas rasa syukur atas nikmat Allah yang diterimanya,
“apa bila penduduk bumi ini menulis hadits ini selama 200 tahun, maka mereka
hanya berputar disekitar hadits ini saja[23].”
Ketelitian
Imam Muslim terhadap Hadits yang diriwayatkan dalam kitab Shahihnya dapat
diketahui dalam pernyataannya sebagai berikut:
“aku tidak mencantumkan hadits dalam kitabku
ini, kecuali dengan alasan. Aku juga tidak menggurkan sesuatu kecuali dengan
alasan.”[24]
b)
Keluwesan
Imam Muslim
Muslim
bukanlah orang fanatic terhadap pendapatnya sendiri. Murah senyum, dan sebagai
Ulama selalu mencari kebenaran. Dia tidak merasa terhina dan rendah apabila
menerima kebenaran yang dating dari orang lain. Bahkan sikap ini dipandang
sebagai sikap terpuji.
Setelah
menyusun kitab shahih itu, Muslim memperlihatkannya kepada Ulama hadits untuk
diperiksa. Al-Khatib meriwayatkan dari Makki bin Abdan, salah seorang hafidz
dari Naisabur, ia berkata, “saya mendengar Muslim berkata, ‘aku memperlihatkan
kitabku ini kepada Abu Zur’ah ar-Razi. Semua hadits yang ditunjukan ar-Razi ada
kelemahannya, aku tinggalkan. Dan semua yang dikatakan shahih itulah yang ku
tulis’.” Itulah sikap rendah Imam Muslim yang tidak terbujuk oleh hawa nafsu
dan bangga atas pendapatnya sendiri. Sikap seperti itulah yang dipakai dalam
kode etik pengkajian dalam Islam[25].
c)
Metodologi
Shahih Muslim
Muslim
tidak menetapkan syarat tertentu yang dipakai dalam Shahih-nya. Tetapi para
Ulama telah menggali syaratnya itu melalui pengkajian terhadap kitabnya. Mereka
menyimpulkan bahwa syarat yang dipakai dalam Shahih Muslim adalah:
1. Beliau
tidak meriwayatkan hadits kecuali dari perawi yang adil, kuat hafalannya,
jujur, amanah, tidak pelupa. Beliau juga meriwayatkan dari perawi yang memiliki
sifat-sifat lebih rendah dari sifat tersebut diatas.
2. Beliau
sama sekali tidak meriwayatkan hadits kecuali hadits musnad (sanadnya lengkap), muttasil
(sanadnya bersambung) dan marfu’ (disandarkan
pada Nabi Muhammad Saw).
Tak
selamanya Muslim berpegang teguh pada ketentuan sebagaiman yang dipakai oleh
Imam Bukhari. Yaitu adanya tingkatan tertentu dalam periwayatan dan para
perawi. Karena itu, dia meriwayatkan hadits dari perawi yang haditsnya tidak
dicantumkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya.
Agar
lebih jelas, mari membicarakan lagi syarat-syarat Bukhari—yang sebelumnya sudah
dengan begitu jelas disampaikan teman kita—dalam Shahihnya. Murid-murud Imam
Ibnu az-Zuhri dibagi menjadi lima tingkatan: pertama, kedua, ketiga, keempat
dan kelima. Masing-masing tingkatan mempunyai keistimewaan lebih tinggi dari
tingkatan berikutnya.
Bukhari
hanya meriwayatkan hadits dari murid tingkat pertama dan sedikit sekali
meriwayatkan hadits dari tingkat kedua itu pun bukan hadits utama. Sedangkan
Muslim, meriwayatkan hadits dari murid tingkat kedua, juga meriwayatkan dari
tingkat ketiga meskipun dalam jumlah sedikit dan terbatas pada hadits mutabi’ dan hadits syahid, bukan hadits utama. Imam Muslim dalam Muqadimahnya
memberikan penjelasan yang lebih gambling mengenai syarat yang dipakai dalam
shahihnya, beliau membagi hadits dalam tiga macam:
1. Hadits
yang diriwayatkan oleh perawi yang adil dan kuat hafalanya.
2. Hadits
yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak diketahui keadaannya (mastur), dan kekuatan hafalannya
dipertengahan.
3. Hadits
yang diriwayatkan oleh perawi yang lemah hafalannya dan banyak salahnya.
Apabila
Muslim meriwayatkan hadits dari perawi kelompok pertama, beliau selalu
meriwayatkan hadits dari kelompok kedua. Tapi Muslim tidak meriwayatkan hadits
dari kelompok ketiaga[26].
d)
Ciri
Khas Shahih Muslim
Yang
menjadi ciri khas Shahih Muslim, ialah matan-matan hadits yang semakna beserta
dengan sanadnya diletakan pada satu tempat dan tidak dipisah dalam beberapa bab
yang berbeda, juga tidak mengulang hadits kecuali Karena sangat perlu diulang
untuk kepentingan sanad atau matan hadits.
Cara
ini dilakukan oleh Muslim, Karena hadits ini bukan untuk menerangkan segi fiqih
dan penggalian hukum dan adab dari hadits tersebut. Tidak seperti Bukhari yang
memang yang mempunyai maksud untuk menggali kandungan hadits itu. Oleh karena
itu, beliau menempuh caranya sendiri untuk menyusun kitab Shahih-nya.
Ciri
Shahih Muslim lainnya adalah ketelitian dalam kata-kata. Apabila seorang perawi
dengan perawi lainnya terdapat perbedaan lafadz, padahal maknanya sama, maka
muslim mencantumkan dan menerangkan matan-matan hadits yang lafadnya berbeda
itu. Begitu pula jika seorang perawi mengatakan haddatsana (dia menceritakan kepada kami), dan perawi lain
mengatakan akhbarana (dia
mengkhabarkan kepada kami), maka Muslim akan menjelaskan perbedaan lafadz ini.
Apabila
sebuah hadits diriwayatkan oleh orang banyak dan terdapat beberapa lafadz yang
berbeda, Muslim akan menerangkan bahwa lafadz yang disebutkannya itu berasal
dari si fulan. Oleh karena itu dalam hadits semacam ini, Muslim mengatakan, wa lafdzu li fulanin (lafadz ini dari si
fulan). Itulah ketelitian dan kejujuran dalam periwayatan yang menjadi cirri
khas Imam Muslim.
Beliau
berusaha kera agar didalam kitabnya hanya memuat hadits-hadits musnad dan marfu’, yakni hadits yang disandarkan kepada Nabi Muhammd Saw.
Karena itu, beliau tidak mencantumkan perkataan Sahabat dan Tabi’in.
Begitu
pula Muslim tidak mencantumkan hadits mu’allaq.
Di dalam kitabnya hanya terapat 12 hadits mu’allaq
yang hanya sebagai hadits penguat (mutabi’)
dan bukan hadits utama. Selain yang telah disebutkan masih banyak ciri khas
lain yang bisa diketahui dengan mengkaji kitab Shahih-nya[27].
e)
Bab-Bab
dalam Shahih Muslim
Imam
Muslim tidak membuat judul setiap bab secara praktis, beliau hanya
mengelompokan hadits-hadits yang satu tema pada satu tempat. Dengan demikian,
kitab Shahih terdapat seakan-akan telah tersesusun secara sistematis menjadi
beberapa bab.
Muslim
melakukan demikian mungkin untuk mengasah otak para pembaca kitabnya, agar
menggunakan akalnya untuk dapat mengkaji, menggali, menemukan maksud dan tujuan
hadits.
Adapun
judul kitab dan bab yang terdapat pada Shahih Muslim yang sudah dicetak,
sebenarnya bukan ditulis oleh Muslim melainkan ditulis oleh pensyarah Shahih itu yang hidup sesudahnya.
Orang yang paling baik membuat judul bab sistematikanya adalah Nawawi dalam syarah-nya[28].
f)
Hadits
Shahih Muslim yang Dikritik
Untuk
point ini, penulis sengaja akan kutip dengan utuh agar semakin menemukan
kejelasan. Adapun yang mendapatkan kritikan dari para Ulama sebanyak 132
hadits. Diantaranya juga diriwayatkan oleh Bukhari sebanyak 32 hadits. Sisanya
berjumlah 100 hadits hanya diriwayatkan oleh Muslim.
Dalam
Fathul Bari. Ibnu Hajar al-Asqalani telah membela dan memberi jawaban atas
kritikan terhadap hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Sedangkan
hadits yang hanya diriwayatkan oleh Muslim, telah dibela dan diberi jawaban
oleh Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim.
Sebenarnya
kritikan itu mudah diberi bantahan. Tetapi kritikan tersebut tidak begitu
berarti. Diantara hadits yang dikritik (muntaqadah)
ialah:
1. Hadits
Abu Sufyan
Hadits
ini menceritakan, Abu Sufyan menikahkan putrinya Ummu Habibah dengan Nabi
Muhammad Saw padahal Nabi telah menikahinya jauh sebelum itu, yaitu ketika Ummu
Habibah hijrah ke Habasyah (Ethiopia). Raja Najasyi bertindak sebagai wakil
yang menikahkan Ummu Habibah. Sebab saat itu Abu Sufyan belum Islam. Ia baru
memeluk Islam setelah penaklukan Makkah. Jadi perawi hadits itu sudah melakukan
kesalahan.
2. Hadits
Abu Hurairah
Hadits
Abu Hurairah yang dikritik adalah yang berbunyi:
“Allah
menciptakan tanah pada hari sabtu…”
Hadits
tentang pencitaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya selama
tujuh hari, bukanlah bukan lah hadits marfu’
melainkan mauquf pada Abu Hurairah.
Itu hanyalah cerita israiliyyat yang diterima dari kaab al-Ahbar. Hadits itu
mendapat peringatan dari para Ulama dan pengkritik hadits.
3. Hadits
tentang Shalat Kusuf (gerhana)
Hadits
ini mengatakan bahwa shalat kusuf dikerjakan dengan tiga kali ruku’ atau lebih.
Sebagian ahli hadits mengatakan bahwa hadits ini mengandung illat (cacat). Karena terdapat kesalahan
dari perawinya. Tetapi Muslim juga meriwayatkan hadits shahih mengenai shalat
kusuf, yang setiap rakaat, Nabi melakukan ruku dua kali.
Hadits
yang dikritik itu sedikit sekali jumlahnya. Bahkan tidak ada artinya bila
dibanding dengan ribuan hadits shahih yang terdapat dalam Shahih Muslim.
Dari
uraian diatas, jelaslah bahwa Shahih Muslim berada diperingkat tertinggi, dan
menjadi salah satu kitab hadits yang menjadi pegangan umat Islam. Kritikan yang
dilontarkan terhdap hadits itu, karena Muslim menempuh jalan setingkat lebih
rendah dari syarat-syarat yang telah ditentukan. Dan tidak seorang pun yang
mengatakan bahwa dalam kitab itu terdapat hadits maudlu’ dalam arti perawinya
berdusta, sebagaimana yang telah dituduhkan oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab dan para orientalis, musuh sunnah hadits Nabi Muhammad Saw[29].
g)
Mencakup
Seluruh Hadits Shahih?
Dalam
kitab Shahih-nya, Bukhari dan Muslim tidak memuat seluruh hadits yang shahih.
Bukhari menuturkan:
“aku tidak memasukan ke dalam jami’
as-Shahih kecuali hadits yang shahih. Dan kutinggalkan banyak hadits karena
akan membosankan.”
Dan
juga pernah berkata:
“aku hafal 100.000 hadits shahih dan
200.000 hadits yang tidak shahih.”
Padahal
dalam kitab Shahih-nya belum mencapai 10.000 yang dihafalnya.
Dalam
kitab Shahih-nya, Muslim juga berkata:
“tidak semua hadits yang shahih
menurutku, ku masukan ke dalam kitab Shahih. Aku hanya mencantumkan hadits yang
ditelah disetujui oleh para Ulama hadits.”
Itulah
pernyataan Bukhari dan Muslim, mereka tidak mencantumkan semua hadits shahih
kedalam kitabnya.
Disamping
itu masih banyak hadits shahih yang terdapat dalam empat kitab Sunan Abu Dawud,
Tirmidzi, Nasa’I, dan Ibnu Majah, yang tidak disebutkan oleh Bukhari dan
Muslim.
Dalam
Musnad Imam Ahmad terdapat banyak hadits shahih sebanding dengan Muslim dan
Bukhari. Tetapi hadits-hadits tersebut tidak terdapat pada kedua kitab shahih
itu. Hakim Abu Abdullah telah menyusun sebuah kitab besar (al-Mustadrak) yang menghimpun hadits-hadits shahih yang tidak
termuat dalam Shahih Bukhari Muslim. Walau pun hadits yang dikumpulkan oleh
Hakim tidak seluruhnya Shahih, namun cukup banyak yang shahih. Dalam Mu’jam
Kabir dan Ausat karya Thabrani, dalam musnad Abu Ya’la, Musnad al-Bazzar dan
lain-lain, cukup banyak hadits yang dinyatakan shahih oleh para ahli hadits.
Dengan demikian jelaslah perkataan Ulama hadits yang berbunyi, “sedikit sekali
hadits shahih yang ditinggalkan oleh Bukhari dan Muslim” adalah tidak benar.
Oleh karena itu tak seorang pun bisa mengingkari hadits shahih yang tidak
terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim[30].
h)
Antara
Shahih Bukhari dan Muslim
Para
Ulama sepakat bahwa kitab hadits yang paling shahih adalah kitab Bukhari dan
Muslim. Dan kitab Bukhari lebih shahih dibanding Muslim.
Imam
Nasa’I mengatakan, “tidak ada kitab hadits yang paling baik selain kitab karya
Mhammad bin Ismail al-Bukhari.” Yang dimaksud paling “baik” adalah “shahih”. Pengakuan
Ulama dari Nasa’I ini adalah pengakuan yang jujur. Sebab Imam Nasa’I adalah
Ulama hadits yang sangat teliti, kritis dan tidak sembarangan berucap, serta
Ulama terkemuka dimasanya.
Daruquthni
memberi penilaian, “seandainya tidak ada Bukhari niscaya tidak ada Muslim.”
Namun Abu Ali an-Naisaburi lebih mengutamakan Imam Muslim. Dia pernah berkata:
“tidak
ada dikolong langit ini kitab yang lebih shahih selain kitab Muslim bin
al-Hajjaj.”
Pendapat
ini diikuti oleh sebagian Ulama Maghribi dan Abu Muhammad Ibnu Hazim az-Zahiri.
Sebenarnya,
orang yang mengutamakan Shahih Muslim ini disebabkan:
1. Karena
kebagusan dan susunannya teratur
2. Hadits
yang periwayatannya sejalan dan dalam satu tema dikumpulkan did alam satu
tempat, tanpa memotong hadits untuk di masukan ke bab lain.
3. Dia
hanya meriwayatkan hadits marfu’ dan
tidak meriwayatkan hadits mauquf dan mu’allaq
Jika
mereka mengutamakan Muslim berdasarkan syarat-syarat keshahihan hadits, maka
kami tidak sepakat.
Walaupun
begitu, kitab Shahih Bukhari dan Muslim merupakan kitab yang paling shahih yang
pernah ditulis oleh para ahli hadits. Pengarangnya telah memberikan sumbangan
dan pengabdian yang sangat besar kepada agama dan umat Islam. Kita patut
bersyukur dengan menghormati mereka atas jasanya yang tidak bisa dipungkiri
lagi[31].
i)
Kitab
Syarah Shahih Muslim
Disamping
memberikan perhatian besar kepada Shahih Bukhari, para ulama juga menaruh
perhatian kepada Shahih Muslim, baik dengan cara menyalinnya, membuat
ikhtisarnya, mensyarahnya, maupun menggali hukum-hukum fiqih darinya.
1. Al-Mu’alim bi
fawa’idi kitabi Muslim, disusun oleh Imam Abu Abdillah
Muhammad bin Ali al-Maziri. Beliau wafat tahun 536 H. kitab ini tersimpan di
Darul Kutub Misriyah. Pada bagian awalnya terdapat kerusakan dan kekurangan.
2. Ikmalul
Mu’allimi fi Syarhi Shahih Muslim, karya Imam Qadi Iyad bin Musa
al-Yahsabi al-Maliki, wafat tahun 544 H. kitab ini masih belum dicetak. Dari
sekian banyak naskah yang ditulis, hanya enam jilid yang terdapat di Darul
Kutub Misriyah.
3. Al-Minhaj fi
Syarhi Shahih Muslim bin Hajjaj, disusun oleh Imam al-hafidz Abu
Zakaria Muhyidin bin Syaraf an-Nawawi
as-Sunnah-Syafi’I, yang mempunyai banyak karya yang sangat berharga dan
bernilai tinggi. Dia dilahirkan pada bulan Muharam 631 H. dan wafat dikampung
Nawa pada bulan Rajab 676 H.
Dalam
kitab syarah-nya, Imam Nawawi banyak merujuk kepada para pendahulunya, seperti
al-Maziri dan Qadi Iyad. Syarah imam Nawawi ini kadang pertengahan (tidak panjang dan tidak ringkas), kadang
kala singkat. Syarah ini banyak menjelaskan masalah akidah, hokum, akhlaq,
bahasa, nama perawi, usaha mengkompromikan hadits yang tampak bertentangan,
serta menunjukan dalil-dalil yang dipakai oleh berbagai madzhab.
Kitab
Syarah ini disertai muqadimah yang membahas ilmu hadits dan sebagai kunci
Shahih Muslim. Dalam Syarah ini, terutama dibagian awal, terdapat penjelasan
yang panjang, yang disusun secara baik dan memuaskan. Namun dalam beberapa
tempat lain, Nawawi memberikan syarah secara singkat. Kadang penjelasannya
sulit difahami, atau dengan menggunakan kalimat global yang tidak memberi
kepuasan kepada para pengkajinya.
Namun
kitab itu adalah kitab Syarah Muslim yang terbaik yang sudah dicetak, terutama
muqadimahnya yang sangat berharga, dan pengaturan bab-babnya secara sempurna.
Kitab ini telah diterbitkan berulang kali di Kairo.
4. Ikmalu Ikmali
Mu’alim,
karya Imam Abu Abdillah Muhammad bin Khalifah al-Wasyanani menjelaskan
al-Maliki. Wafat tahun 837 H. kitab ini terdiri dari beberapa jilid besar.
Dalam muqadimah syarah ini, al-Wasyanani menjelaskan, Syarah ini memuat empat syarah Shahih Muslim (al-Maziri, Qadi Iyad,
al-Qurtubi, dan an-Nawawi) disertai dengan beberapa tambahan dan penyempurnaan
dari Wasyanani. Untuk menunjukan kepada perkataan empat pensyarah tersebut, dia membuat rumus tertentu dengan huruf.
Huruf “mim” menunjukan Maziri, huruf “ain” menunjukan untuk Qadi Iyad, huruf “tha” menunjukan Qurtubi, dan huruf “dal” untuk Imam Nawawi. Apa bila ia
menulis “qala asyaikh” (telah berkata
guru), maka yang dimaksudkan adalah guru Wasyanani yang bernama Ibnu Arafah.
Yang
paling menonjol dalam syarah ini adalah tentang fiqih, terutama madzhab maliki.
Dalam kitab ini terdapat penjelasan yang tidak ditemukan dikitab lain.
5. Kitab
Syarah karya Imam Abu Abdullah Muhammad bin Muhammad bin Yusuf as-Sanusi
al-Hasani. Wafat tahun 895 H.kitab ini merupakan ringkasan dari kitab syarah Ikmal karya Wasyanani. Rumus yang
dipakai untuk perkataan Ulama yang dikutipnya sama dengan rumus yang dipakai
oleh Wasyanani. Tapi untuk menunjukan Imam Nawawi digunakan huruf “ha” dan untuk Wasyanani dengan huruf “ba”.
Sebenarnya
Hasani hanya memberikan sedikit tambahan dan mengulangi syarah yang telah
ditulis oleh Wasyanani. Kitab ini dan kitab Wasyanani telah diterbit menjadi
satu kitab, atas usaha Sultan Maghribi al-Aqsha, Abdul Hafidz pada tahun 1328 H[32].
j)
Kitab
Mukhtasar Shahih Muslim
Diantara
kitab Mukhtasar (ringkasan) Shahih
Muslim adalah:
1. Mukhtasar
tulisan Syaikh Abu Abdullah Syarafuddin Muhammad bin Abdullah al-Mursi. Wafat
tahun 656 H.
2. Mukhtasar
karya Syaikh Imam Ahmad bin Umar bin Ibrahim al-Qurtubi, wafat tahun 656 H.
kitab ini kemudian diberi kitab syarah sendiri. Pada syarah tersebut ia
menjelaskan, “setelah menyusun ikhtisar itu, lalu membuat bab-babnya, membuat
syarahnya, menerangkan kata-kata yang sulit, menguraikan kalimat dan
beristidhlal dengan hadits.” Syarah ini diberi nama al-Mufhim Lima Usykila min Talkhisi Muslim. Isi Syarah ini banyak
mengutip dari Syarah Shahih Muslim Nawawi dan fathul Bari Ibnu Hajar.
3. Mukhtasar
yang disusun oleh Imam Zakiyyudin Abdul Azim bin Abdul Qawa al-Munziri, wafat
tahun 656 H. mukhtasar ini telah diberi syarah oleh syaikh Usman bin Abdul
Malik al-Misri yang wafat tahun 738 H[33].
Daftar Pustaka
M. Muhammad Abu
Syuhbah, Fi Rihabi as-Sunnah al-Kutubi
al-Shihahi al-Sittah, terj. Ahmad Utsman, Kutubus Sittah; mengenal Enam Pokok Kitab Pokok Hadits Shahih dan
Biografi para penulisnya, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2006).
Ahmad bin Ali bin
Hajar bin Al-Asqalani, Taqrib Al-Tahdzib, (Libanon: Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyyah, 2004).
Muhammad al-Ajaj
Al-Khatib, Ushulul hadits; Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar
Al-Fikr, 1989)
Ahmad Farid, Min
A’lam As-Salaf, terj. Masturi Irham dkk, 60 Biografi Ulam Salaf,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010).
Muhammad bin Mathar
Al-Zahraniy, Tadwin Al-Sunnah Al-Nabawiyyah; Nasy’atuhu wa Thathawaruhu min
Al-Qarn al-Awal ilaa Nihayat al-Qarni Al-Tasi’ al-Hijriy, (Riyadh: Dar
Al-Minhaj, 1428 H).
Abul Hajjaj
Jamaluddin bin Yusuf bin Abdurrahman al-Mizzi, Tahdzibul Kamal Fi Asma’ ar-Rijal, (Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah,
2004).
Tsauqi Abu Khalil, Athlas Al-Hadits Al-Nabawi min Al-Kutub
Al-Shihah Al-Sittah; Amakin Aqwamir, (Suriyah:Dar Al-Fikr, 2003).
Akram Khaya’
Al-Umariy, Buhuts Fi Tarikh As-Sunnah Al-Musyarifah (Madinah: Maktabah
Al-Ulum Wa Al-Hikam, 1994).
Muhammad Muhammayad
Abu Zahwa, Al-Hadits Wa Al-Muhaditsun; Inayah Wa Al-Ummah Al-Islamiyyah Bi
As-Sunnah An-Nabawiyyah, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Arabiy, 1984).
Mahyuddin
an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim
bin Hajaj, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2006).
Abul Husain Muslim bin Hajaj
al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Riyadh: Bait al-Afkar ad-Daulah, 1998).
[2] M. Muhammad Abu
Syuhbah, Fi Rihabi as-Sunnah al-Kutubi
al-Shihahi al-Sittah, terj. Ahmad Utsman, Kutubus Sittah; mengenal Enam Pokok Kitab Pokok Hadits Shahih dan
Biografi para penulisnya, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2006), hlm 81.
Selanjutnya ditulis M. Muhammad Abu Syuhbah, Fi Rihabi as-Sunnah al-Kutubi al-Shihahi al-Sittah. lihat juga Ahmad bin
Ali bin Hajar bin Al-Asqalani, Taqrib Al-Tahdzib, (Libanon: Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyyah, 2004),
hlm 938 selanjutnya ditulis Ahmad bin Ali bin Hajar bin Al-Asqalani, Taqrib
Al-Tahdzib.
Dan Abul
Hajjaj Jamaluddin bin Yusuf bin Abdurrahman al-Mizzi, Tahdzibul Kamal Fi Asma’ ar-Rijal, (Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah,
2004). Jilid 9 Hlm 604. Selanjutnya ditulis Abul Hajjaj Jamaluddin bin Yusuf
bin Abdurrahman al-Mizzi, Tahdzibul Kamal
Fi Asma’ ar-Rijal. Dalam bahasa Ahmad farid, justru tertera nama lengkap
Imam Muslim itu dengan tidak menyertakan nama Abdul Husain diawalnya. Akan
tetapi hal ini tidak menjadi salah, karena nama Abdul Husain merupakan nama
panggilan bagi Imam Muslim. Lihat Ahmad Farid, Min A’lam As-Salaf, terj. Masturi
Irham dkk, 60 Biografi Ulam Salaf,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010). Hlm 511. Selanjutnya ditulis Ahmad Farid,
Min A’lam As-Salaf,
juga lihat Muhammad al-Ajaj Al-Khatib, Ushulul hadits; Ulumuhu wa
Musthalahuhu, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1989), hlm 314. Selanjutnya ditulis Muhammad
al-Ajaj Al-Khatib, Ushulul hadits; Ulumuhu wa Musthalahuhu
[3] Lihat ibid, hlm 81. Akan tetapi Dalam karyanya
Ahmad farid dan juga Muhammad ‘Ajaj al-Khatib dalam Ushul al-Hadits-nya menyatakan dengan mengutip adz-Zahabi, berkata:
“Imam Muslim lahir pada tahun 204 H dan aku mengira dia lahir sebelum tahun
tersebut.” Lihat Ahmad Farid, Min A’lam As-Salaf, hlm 511.
[4] Muhammad
‘Ajaj al-Khatib dalam Ushul al-Hadits-nya
menyatakan bahwa Imam Muslim wafat di Nasr Abad; salah satu kota di Naisabur,
atau lebih jelas M. Muhammad Abu Syuhbah menyatakan bahwa Muslim wafat pada
hari Ahad sore,dan dimakamkan di kampung Nasr Abad daerah Naisabur pada hari
Senin, 25 Rajab 261 H, dalam usia 55 tahun lihat Muhammad al-Ajaj Al-Khatib, Ushulul
hadits; Ulumuhu wa Musthalahuhu, hlm
315. Dan M. Muhammad Abu Syuhbah, Fi Rihabi as-Sunnah al-Kutubi al-Shihahi al-Sittah, hlm 82. Bahkan
Ibnu Hajar menyatakan Imam Muslim wafat dalam usia 57 tahun. Lihat Ahmad bin
Ali bin Hajar bin Al-Asqalani, Taqrib Al-Tahdzib, hlm 938. Hal senada dinyatakan Abu Zahwa dalam al-Hadits wa
al-Muhaditsun-nya. Lihat Muhammad Muhammayad Abu Zahwa, Al-Hadits Wa
Al-Muhaditsun; Inayah Wa Al-Ummah Al-Islamiyyah Bi As-Sunnah An-Nabawiyyah,
(Beirut: Dar Al-Kitab Al-Arabiy, 1984), hlm 357. Selanjutnya ditulis Muhammad
Muhammayad Abu Zahwa, Al-Hadits Wa Al-Muhaditsun; Inayah Wa Al-Ummah
Al-Islamiyyah Bi As-Sunnah An-Nabawiyya. Lihat
juga Muhammad bin Mathar Al-Zahraniy, Tadwin Al-Sunnah Al-Nabawiyyah;
Nasy’atuhu wa Thathawaruhu min Al-Qarn al-Awal ilaa Nihayat al-Qarni Al-Tasi’
al-Hijriy, (Riyadh: Dar Al-Minhaj, 1428 H), cet II, hlm 110.
Selanjutnya ditulis Muhammad bin Mathar Al-Zahraniy, Tadwin Al-Sunnah
Al-Nabawiyyah; Nasy’atuhu wa Thathawaruhu min Al-Qarn al-Awal ilaa Nihayat
al-Qarni Al-Tasi’ al-Hijriy.
[6] Hal itu diungkapkan
Adz-Zahabi dalam Siyar-nya dan dikutip oleh an-Nawawi dalam Syarah-nya. Lihat
Mahyuddin an-Nawawi, al-Minhaj Syarh
Shahih Muslim bin Hajaj, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2006), hlm 71.
Selanjutnya ditulis Mahyuddin an-Nawawi, al-Minhaj
Syarh Shahih Muslin bin Hajaj
[7] M. Muhammad Abu
Syuhbah, Fi Rihabi as-Sunnah al-Kutubi
al-Shihahi al-Sittah, hlm 81. Lihat juga Ahmad bin Ali bin Hajar bin
Al-Asqalani, Taqrib Al-Tahdzib, hlm
938.
[8] Tsauqi Abu
Khalil, Athlas Al-Hadits Al-Nabawi min
Al-Kutub Al-Shihah Al-Sittah; Amakin Aqwamir, (Suriyah:Dar Al-Fikr, 2003),
hlm 12. Selanjutnya
ditulis Tsauqi Abu Khalil, Athlas Al-Hadits Al-Nabawi min Al-Kutub
Al-Shihah Al-Sittah; Amakin Aqwamir Lihat juga M. Muhammad Abu
Syuhbah, Fi Rihabi as-Sunnah al-Kutubi
al-Shihahi al-Sittah, hlm 81.
[9] Ibid, hlm 81
[10] Muhammad
al-Ajaj Al-Khatib, Ushulul hadits; Ulumuhu wa Musthalahuhu, hlm 314-315. Lihat juga
M. Muhammad Abu Syuhbah, Fi Rihabi
as-Sunnah al-Kutubi al-Shihahi al-Sittah, hlm 82.
[11] Ibid, hlm 82. Lihat juga Muhammad al-Ajaj Al-Khatib, Ushulul hadits; Ulumuhu wa
Musthalahuhu,
hlm 314-315
[12] Ahmad bin
Ali bin Hajar bin Al-Asqalani, Taqrib Al-Tahdzib, hlm menurut analisa Ahmad Farid bahwa al-Mizzi
dalam kitabnya Tahdzib al-Kamal, menyatakan
jumlah guru Imam Muslim adalah 224 orang lebih lanjut lihat Abul Hajjaj
Jamaluddin bin Yusuf bin Abdurrahman al-Mizzi, Tahdzibul Kamal Fi Asma’ ar-Rijal, hlm 604-606.
[13] lebih lanjut lihat
Abul Hajjaj Jamaluddin bin Yusuf bin Abdurrahman al-Mizzi, Tahdzibul Kamal Fi Asma’ ar-Rijal, hlm 606-608.
[14] Muhammad
Muhammayad Abu Zahwa, Al-Hadits Wa Al-Muhaditsun; Inayah Wa Al-Ummah
Al-Islamiyyah Bi As-Sunnah An-Nabawiyyah, hlm
357.
[15]Ibid, hlm
357. M.
Muhammad Abu Syuhbah, Fi Rihabi as-Sunnah
al-Kutubi al-Shihahi al-Sittah, hlm…
[16] M. Muhammad Abu
Syuhbah, Fi Rihabi as-Sunnah al-Kutubi
al-Shihahi al-Sittah, hlm……lihat juga Mahyuddin an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslin bin Hajaj, hlm
77-78.
[17] M. Muhammad Abu
Syuhbah, Fi Rihabi as-Sunnah al-Kutubi
al-Shihahi al-Sittah, hlm 84-85. lihat juga Muhammad Muhammayad Abu Zahwa, Al-Hadits
Wa Al-Muhaditsun; Inayah Wa Al-Ummah Al-Islamiyyah Bi As-Sunnah An-Nabawiyyah, hlm 357. Mahyuddin
an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslin
bin Hajaj, hlm 95-98.
[18] Muhammad
Muhammayad Abu Zahwa, Al-Hadits Wa Al-Muhaditsun; Inayah Wa Al-Ummah
Al-Islamiyyah Bi As-Sunnah An-Nabawiyyah, hlm
381.
[19] M. Muhammad Abu
Syuhbah, Fi Rihabi as-Sunnah al-Kutubi
al-Shihahi al-Sittah, hlm 85.
[20] Mahyuddin an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslin bin Hajaj, hlm
79.
[21] Muhammad bin Mathar Al-Zahraniy, Tadwin Al-Sunnah Al-Nabawiyyah;
Nasy’atuhu wa Thathawaruhu min Al-Qarn al-Awal ilaa Nihayat al-Qarni Al-Tasi’
al-Hijriy, hlm 111.
Mengenai jumlah hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim sangat beragam.
Seperti al-Iraqi saja mengatakan bahwa Ibnu Shalah tidak menyebutkan jumlah
hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim—padahal menyatakan dengan 300.000
hadits. Beliau mengutip analisa an-Nawawi dalam Ziyadah-nya, ‘bahwa
jumlahnya lebih dari 4000 tidak dihitung dengan yang diulang’. lihat Muhammad bin Mathar Al-Zahraniy, Tadwin Al-Sunnah Al-Nabawiyyah; Nasy’atuhu
wa Thathawaruhu min Al-Qarn al-Awal ilaa Nihayat al-Qarni Al-Tasi’ al-Hijriy, hlm 114. Berbeda juga dengan analisa Tsauqi Abu Khalil dalam karyanya
mengatakan, ‘3033 hadits setelah dibuang yang diulang’. Lihat Tsauqi Abu Khalil, Athlas Al-Hadits Al-Nabawi
min Al-Kutub Al-Shihah Al-Sittah; Amakin Aqwamir,
12.
Ahmad bin Salamah, penulis naskah Shahih Muslim, mengatakan bahwa Shahih Muslim
itu berisi 12.000 hadits. Namun Ibnu Shalah menyebutkan dari Abi Quraisy, bahwa
jumlah hadits pada Shahih Muslim itu sebanyak 4.000 buah. Pendapat itu dapat
dikompromikan, karena perhitungan pertama memasukan hadits yang diulang-ulang,
sedangkan perhitungan kedua hanya menghitung hadits yang tidak terulang.
Sebagian penulis ada yang salah hitung, seperti Prof. Ahmad Amin dalam bukunya Duhal Islam. Ia mengatakan bahwa hadits
Shahih Muslim termasuk yang terulang, berjumlah 7.275 hadits. Sebenarnya
hitungan ini dari Ibnu Shalah untuk Shahih Bukhari, bukan untuk Shahih Muslim.
Lihat M. Muhammad Abu Syuhbah, Fi Rihabi
as-Sunnah al-Kutubi al-Shihahi al-Sittah, hlm 890-91.
[22] M. Muhammad Abu
Syuhbah, Fi Rihabi as-Sunnah al-Kutubi
al-Shihahi al-Sittah, hlm 85
[23] Muhammad bin
Mathar Al-Zahraniy, Tadwin Al-Sunnah Al-Nabawiyyah; Nasy’atuhu wa
Thathawaruhu min Al-Qarn al-Awal ilaa Nihayat al-Qarni Al-Tasi’ al-Hijriy, hlm 111.
[24] Ibid, hlm 79.
[25] M. Muhammad Abu
Syuhbah, Fi Rihabi as-Sunnah al-Kutubi
al-Shihahi al-Sittah, hlm 86-87.
[26] Muhammad
Muhammayad Abu Zahwa, Al-Hadits Wa Al-Muhaditsun; Inayah Wa Al-Ummah
Al-Islamiyyah Bi As-Sunnah An-Nabawiyyah, hlm
384-388. M.
Muhammad Abu Syuhbah, Fi Rihabi as-Sunnah
al-Kutubi al-Shihahi al-Sittah, hlm 87-88.
[27] M. Muhammad Abu
Syuhbah, Fi Rihabi as-Sunnah al-Kutubi
al-Shihahi al-Sittah, hlm 88-89.
[28] Ibid, hlm 90.
[29] Ibid, hlm 92-93.
[30] Ibid, hlm 93-94.
[31]Muhammad
Muhammayad Abu Zahwa, Al-Hadits Wa Al-Muhaditsun; Inayah Wa Al-Ummah
Al-Islamiyyah Bi As-Sunnah An-Nabawiyyah, hlm
389-392. Lihat juga M.
Muhammad Abu Syuhbah, Fi Rihabi as-Sunnah
al-Kutubi al-Shihahi al-Sittah, hlm 94-95.
[32] M. Muhammad Abu
Syuhbah, Fi Rihabi as-Sunnah al-Kutubi
al-Shihahi al-Sittah, hlm 95-98. Lihat juga Mahyuddin an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Hajaj, hlm
82-90.
[33] Mahyuddin an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Hajaj, hlm
90-91.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar