Memperingati Tahun Baru Hijriyah?
Oleh: Jajang Hidayatullah
Secara zhahir, hijrah adalah berpindah dari satu tempat
ke tempat lain demi menyelamatkan agama dari berbagai fitnah. Dalam arti lain,
hijrah adalah keluar dari negeri kafir menuju negeri Islam. Hal ini sebagaimana
terjadi pada zaman Rasulullah Saw, ketika beliau berada di kota Mekah. Di tengah
perjalanan dakwahnya, beliau merasakan gangguan yang begitu kuat dari kafir
Quraish, sehingga kondisi itu membuat Rasulullah dan para sahabat harus
berlepas diri dari mereka dan melakukan hijrah ke kota Madinah. Di kota inilah
Rasulullah merancang strategi dakwahnya dan mulai membangun peradaban Islam. Di
antaranya dibuktikan dengan mendirikan mesjid di Quba dan diberlakukannya
beberapa syari’at. Menurut sejarah, telah tampak bagaimana hebatnya spirit
dakwah beliau semenjak hijrah, sehingga finalnya beliau berhasil menaklukkan
kota Mekkah yang mana pada waktu itu masih dikuasai oleh kafir Qurasih.
Secara batin, hijrah adalah meninggalkan
perbuatan-perbuatan yang rusak menuju amal shaleh. Rasulullah Saw bersabda:
....وَالْمُهَاجِرُ
مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
“...Orang yang
berhijrah adalah orang yang meninggalkan larangan Allah.”
Menurut Ibnu Hajar, kalimat tersebut ditujukan kepada
kaum Muhajirin agar mereka tidak lekas puas hanya dengan melakukan hijrah dalam
arti zhahir dengan meninggalkan tanah air mereka semata, apalagi hijrah membuat
para sahabat terlena sehingga menjadikan degradasi dalam beramal. Akan tetapi,
lebih dari itu kaum Muhajirin yang sejati seyogyanya harus bisa melakukan
hijrah dalam arti batin yaitu dengan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya.
Menurut beliau, kemungkinan sabda Rasulullah ini
dilontarkan setelah hijrah Rasul berakhir, yaitu pada saat penaklukkan kota
Mekah. Hal ini betujuan agar orang-orang yang belum sempat berhijrah tetap
bergembira. Karena pada hakikatnya, hijrah dapat diperoleh oleh siapa saja yang
tetap bersemangat dalam beramal shaleh.
Sabda Rasul Saw., di atas mengisyaratkan bahwa hijrah
secara zhahir berlaku bersifat kondisional dan temporer. Dengan demikian, sesungguhnya
yang paling utama dalam berhijrah adalah hijrah yang bersifat batin, yaitu
orang yang sanggup untuk taat kepada Allah Swt., dan ridha bermakmum pada
Rasulullah Saw., tentunya dengan mengerjakan seluruh perintah dan menjauhi
segala larangan-Nya.
Ada fenomena memprihatinkan yang terjadi pada umat, yaitu
seringkali ketika datang tahun baru hijriyah disambut dengan berbagai macam
perayaan. Kejayaan dan keberhasilan Rasulullah dalam berdakwah semenjak hijrah
tak ayal dijadikan alasan dan spirit diadakannya acara perayaan tersebut. Klaim
ini sangat tidak berdasar.
Menurut beberapa ahli sejarah, sesungguhnya awal penanggalan
bulan hijriyah dalam Islam adalah dimulai pada Bulan Muharam sekalipun fenomena
hijrah Rasulullah dan para sahabat ke Madinah terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal.
Itu artinya penanggalan awal bulan hijriyah sesungguhnya tidak ada kaitannya
dengan peristiwa hijrahnya Rasul ke kota Madinah. Hal ini menunjukan bahwa
perayaan-perayaan yang ditujukan untuk menyambut tahun baru hijriyah apalagi
dengan klaim semangat hijrahnya Rasul jelas merupakan kesalahan yang sangat vatal.
Indikasinya, kalaulah perbuatan itu baik, sudah dipastikan para sahabat akan
lebih mendahului kita dalam pelaksanaannya. Khususnya pada zaman kekhalifahan
Umar di mana penanggalan hijriyah dalam Islam waktu itu diresmikan. Apalagi
Umar ra., merupakan sahabat yang terkenal paling tegas dan rasional. Akan
tetapi, ketika rasionalisasinya bersebrangan dengan sabda dan sikap Rasul maka
Umar akan memilih taat dan ridha pada Rasulullah Saw. Kita tengok sebagian
kasus, ketika Umar dipaksa harus mencium hajar
aswad, karena Rasul mencontohkan hal itu maka Umar pun ridha melakukannya.
Meskipun pikir Umar hal itu tidak rasional.
Fenomena perayaan tahun baru hijriyah yang berkembang
dewasa ini membuktikan bahwa pemahaman konsep hijrah belum begitu merata sampai
pada umat. Dengan demikian, usaha masifikasi pemahaman ke arah sana mendesak
dilakukan mengingat ‘kesesatan’ ini akan terus berulang setiap tahunnya. Bisa
jadi apa yang dikhawatirkan Rasul terjadi pada zaman sekarang, di mana ketika
datang tahun baru, orang-orang hanya
sibuk mempersiapkan perayaan-perayaan yang bersifat fisik saja. Sedangkan
mereka tetap lalai dan sama sekali tidak melakukan perbaikan serta evaluasi
terhadap amalan-amalannya. Sehingga mereka pun terjebak pada satu ritual yang
mengahantarkannya pada kesesatan.
Saya tidak hendak menyatakan bahwa perayaan-perayaan yang
tidak dicontohkan dalam Islam termasuk memperingati tahun baru hijriyah
merupakan perbuatan Yahudi, karena bisa saja hal itu terjadi karena ketidaktahuan.
Tapi yang jelas, perayaan-perayaan yang dimaksudkan untuk menjaga dan
memanfaatkan momentum adalah merupakan kebiasaan orang-orang Yahudi.
Dalam satu riwayat dinyatakan bahwa Ibnu ‘Abbas pernah
membacakan firman Allah Swt yang berbunyi:
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْإِسْلَامَ دِينًا
“…Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu...”
(QS. Al-Mai’dah: 3)”
Lalu ada seorang
Yahudi berkata, "Seandainya ayat ini diturunkan kepada kami, niscaya kami
akan menjadikan hari penurunannya sebagai hari raya." Maka Ibnu Abbas
menjawab, "Sesungguhnya ayat ini diturunkan pada dua hari raya sekaligus,
yaitu hari raya dan hari Jumat. Dalam riwayat lain Umar menyatakan, “Sesungguhnya
aku mengetahui hari dan tempat diturunkannya ayat tersebut. Ayat ini diturunkan
pada hari Jumat di hari Arafah, di mana keduanya
merupakan hari raya bagi kami (umat Islam).
Dalam keterangan
di atas, Umar
mengajarkan pada kita bahwa sekalipun perbuatan itu baik menurut akal, tetapi
kalau kemudian bertentangan dengan keterangan Allah dan
Rasul-Nya, maka pada hakikatnya ‘sesuatu’ itu merupakan perbuatan yang tercela.
Rasulullah Saw., mengingatkan:
مَنْ عَمِلَ
عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهْوَ رَدٌّ
“…orang
yang beramal bukan atas perintah kami, maka amal tersebut ditolak”
Kehati-hatian dalam
beramal sangat dibutuhkan. Karena bisa jadi amal tersebut baik
menurut kita, tapi agama tidak meridhainya. Begitu pun
sebaliknya, bisa jadi amal itu buruk
menurut kita, tapi agama memerintahkannya. Kalau tidak
demikian, dikhawatirkan kita banyak beramal
dengan begitu melelahkan, tapi tidak bernilai di sisi Allah Swt. Itu artinya,
maksimalnya suatu amal tidak diukur oleh kuantitas,
melainkan oleh kualitasnya.
Tentunya hal tersebut
dilihat dari sejauh mana amalan kita sesuai dengan tuntunan Allah dan
Rasul-Nya. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang sia-sia dalam beramal. Amien…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar