Jumat, 20 April 2012

Memperingati Tahun Baru Hijriyah?


Memperingati Tahun Baru Hijriyah?
Oleh: Jajang Hidayatullah

Secara zhahir, hijrah adalah berpindah dari satu tempat ke tempat lain demi menyelamatkan agama dari berbagai fitnah. Dalam arti lain, hijrah adalah keluar dari negeri kafir menuju negeri Islam. Hal ini sebagaimana terjadi pada zaman Rasulullah Saw, ketika beliau berada di kota Mekah. Di tengah perjalanan dakwahnya, beliau merasakan gangguan yang begitu kuat dari kafir Quraish, sehingga kondisi itu membuat Rasulullah dan para sahabat harus berlepas diri dari mereka dan melakukan hijrah ke kota Madinah. Di kota inilah Rasulullah merancang strategi dakwahnya dan mulai membangun peradaban Islam. Di antaranya dibuktikan dengan mendirikan mesjid di Quba dan diberlakukannya beberapa syari’at. Menurut sejarah, telah tampak bagaimana hebatnya spirit dakwah beliau semenjak hijrah, sehingga finalnya beliau berhasil menaklukkan kota Mekkah yang mana pada waktu itu masih dikuasai oleh kafir Qurasih.
Secara batin, hijrah adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan yang rusak menuju amal shaleh. Rasulullah Saw bersabda:

....وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ

 “...Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan larangan Allah.”

Menurut Ibnu Hajar, kalimat tersebut ditujukan kepada kaum Muhajirin agar mereka tidak lekas puas hanya dengan melakukan hijrah dalam arti zhahir dengan meninggalkan tanah air mereka semata, apalagi hijrah membuat para sahabat terlena sehingga menjadikan degradasi dalam beramal. Akan tetapi, lebih dari itu kaum Muhajirin yang sejati seyogyanya harus bisa melakukan hijrah dalam arti batin yaitu dengan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Menurut beliau, kemungkinan sabda Rasulullah ini dilontarkan setelah hijrah Rasul berakhir, yaitu pada saat penaklukkan kota Mekah. Hal ini betujuan agar orang-orang yang belum sempat berhijrah tetap bergembira. Karena pada hakikatnya, hijrah dapat diperoleh oleh siapa saja yang tetap bersemangat dalam beramal shaleh.
Sabda Rasul Saw., di atas mengisyaratkan bahwa hijrah secara zhahir berlaku bersifat kondisional dan temporer. Dengan demikian, sesungguhnya yang paling utama dalam berhijrah adalah hijrah yang bersifat batin, yaitu orang yang sanggup untuk taat kepada Allah Swt., dan ridha bermakmum pada Rasulullah Saw., tentunya dengan mengerjakan seluruh perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Ada fenomena memprihatinkan yang terjadi pada umat, yaitu seringkali ketika datang tahun baru hijriyah disambut dengan berbagai macam perayaan. Kejayaan dan keberhasilan Rasulullah dalam berdakwah semenjak hijrah tak ayal dijadikan alasan dan spirit diadakannya acara perayaan tersebut. Klaim ini sangat tidak berdasar.
Menurut beberapa ahli sejarah, sesungguhnya awal penanggalan bulan hijriyah dalam Islam adalah dimulai pada Bulan Muharam sekalipun fenomena hijrah Rasulullah dan para sahabat ke Madinah terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal. Itu artinya penanggalan awal bulan hijriyah sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan peristiwa hijrahnya Rasul ke kota Madinah. Hal ini menunjukan bahwa perayaan-perayaan yang ditujukan untuk menyambut tahun baru hijriyah apalagi dengan klaim semangat hijrahnya Rasul jelas merupakan kesalahan yang sangat vatal. Indikasinya, kalaulah perbuatan itu baik, sudah dipastikan para sahabat akan lebih mendahului kita dalam pelaksanaannya. Khususnya pada zaman kekhalifahan Umar di mana penanggalan hijriyah dalam Islam waktu itu diresmikan. Apalagi Umar ra., merupakan sahabat yang terkenal paling tegas dan rasional. Akan tetapi, ketika rasionalisasinya bersebrangan dengan sabda dan sikap Rasul maka Umar akan memilih taat dan ridha pada Rasulullah Saw. Kita tengok sebagian kasus, ketika Umar dipaksa harus mencium hajar aswad, karena Rasul mencontohkan hal itu maka Umar pun ridha melakukannya. Meskipun pikir Umar hal itu tidak rasional.
Fenomena perayaan tahun baru hijriyah yang berkembang dewasa ini membuktikan bahwa pemahaman konsep hijrah belum begitu merata sampai pada umat. Dengan demikian, usaha masifikasi pemahaman ke arah sana mendesak dilakukan mengingat ‘kesesatan’ ini akan terus berulang setiap tahunnya. Bisa jadi apa yang dikhawatirkan Rasul terjadi pada zaman sekarang, di mana ketika datang tahun baru,  orang-orang hanya sibuk mempersiapkan perayaan-perayaan yang bersifat fisik saja. Sedangkan mereka tetap lalai dan sama sekali tidak melakukan perbaikan serta evaluasi terhadap amalan-amalannya. Sehingga mereka pun terjebak pada satu ritual yang mengahantarkannya pada kesesatan.
Saya tidak hendak menyatakan bahwa perayaan-perayaan yang tidak dicontohkan dalam Islam termasuk memperingati tahun baru hijriyah merupakan perbuatan Yahudi, karena bisa saja hal itu terjadi karena ketidaktahuan. Tapi yang jelas, perayaan-perayaan yang dimaksudkan untuk menjaga dan memanfaatkan momentum adalah merupakan kebiasaan orang-orang Yahudi.
Dalam satu riwayat dinyatakan bahwa Ibnu ‘Abbas pernah membacakan firman Allah Swt yang berbunyi:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“…Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...”
(QS. Al-Mai’dah: 3)

Lalu ada seorang Yahudi berkata, "Seandainya ayat ini diturunkan kepada kami, niscaya kami akan menjadikan hari penurunannya sebagai hari raya." Maka Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya ayat ini diturunkan pada dua hari raya sekaligus, yaitu hari raya dan hari Jumat. Dalam riwayat lain Umar menyatakan, “Sesungguhnya aku mengetahui hari dan tempat diturunkannya ayat tersebut. Ayat ini diturunkan pada hari Jumat di hari Arafah, di mana keduanya merupakan hari raya bagi kami (umat Islam).
Dalam keterangan di atas, Umar mengajarkan pada kita bahwa sekalipun perbuatan itu baik menurut akal, tetapi kalau kemudian bertentangan dengan keterangan Allah dan Rasul-Nya, maka pada hakikatnya ‘sesuatu’ itu merupakan perbuatan yang tercela. Rasulullah Saw., mengingatkan:


مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهْوَ رَدٌّ

“…orang yang beramal bukan atas perintah kami, maka amal tersebut ditolak”

Kehati-hatian dalam beramal sangat dibutuhkan. Karena bisa jadi amal tersebut baik menurut kita, tapi agama tidak meridhainya. Begitu pun sebaliknya, bisa jadi amal itu buruk menurut kita, tapi agama memerintahkannya. Kalau tidak demikian, dikhawatirkan kita banyak beramal dengan begitu melelahkan, tapi tidak bernilai di sisi Allah Swt. Itu artinya, maksimalnya suatu amal tidak diukur oleh kuantitas, melainkan  oleh kualitasnya. Tentunya hal tersebut dilihat dari sejauh mana amalan kita sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang sia-sia dalam beramal.   Amien

Tidak ada komentar:

Posting Komentar