Al-Qur’an
dan al-Sunnah
Sebagai
Pedoman Hidup Manusia
Oleh: Jajang
Hidayatullah
Al-Qur’an
dan Al-Sunnah bagi seorang muslim adalah sumber petunjuk segala aturan
kehidupan ini, keduanya tidak akan bisa dipisahkan karena memang memiliki
keterikatan hukum yang amat kuat oleh karena itu apabila hidup ini tidak
berpegang teguh terahadap tirkah Rasul (al-Qur’an dan as-Sunnah) tersebut, maka
hidup kita akan celaka karena akan berkubang pada kesesatan yang nyata. Dalam
hadits, Rasulullah Saw bersabda:
إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا
بَعْدَهُمَا : كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِي ، وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ
الْحَوْضَ
“sungguh Aku tinggalkan dua perkara kepada kalian dimana kalian
tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya, yaitu
kitabullah dan sunnahku. Serta keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya
mendatangiku di telaga (syurga)”. [Lihat al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala
al-Shahihain, Kitab al-Ilmi, Hadits no. 322, (Beirut: Dar_El-Fikr, 2002), hlm.
193].
Hal ini juga disinyalir dalam beberapa surat
dalam al-Qur’an, diantaranya:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ
وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ
مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan satu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab ayat: 36)
Disamping
sebagai petunjuk, al-Qur’an juga menjadi bukti kenabian Muhammad Saw. sebagai
kitab Allah, al-Qur’an memiliki keistimewaan (mukjizat), hal ini menegaskan
bahwa al-Qur’an ini bukan ciptaan manusia—sebagaimana sering dituduhkan kaum
orientalis—melainkan benar-benar kalam Allah Swt.
Ada yang
menarik dari tafsir Ibnu Katsir saat penyusun kitab ini menafsirkan QS.
Ali-Imran ayat: 49. Imam Ibnu Katsir menyatakan bahwa Allah Swt telah mengutus
setiap Nabi sesuai dengan keadaan zamannya. Yang dominan pada zaman Nabi Musa
As adalah sihir dan pengagungan berlebihan kepada tukang sihir. Maka Allah Swt
pun mengutusnya disertai mukjizat luarbisa yang bisa membelakakan mata dan
membingungkan para penyihir. Ketika mereka meyakini bahwa mukjizat itu berasal
dari Allah Swt, maka mereka pun berbonding-bondong memeluk Islam hingga
akhirnya menjadi makhluk Allah yang taat lagi berbakti.
Sedangkan
Nabi Isa As diutus oleh Allah Swt disaat maraknya ahli kedokteran dan pakar
ilmu alam. Maka Nabi Isa pun diutus ke tengah-tengah mereka dengan membawa
mukjizat yang tidak ada seorang pun mampu mencapainya. Dokter mana yang sanggup
menghidupkan benda mati, atau
menyembuhkan orang buta sejak lahir, atau orang menderita penyakit kusta serta
membangkitkan orang mati berada didalam kuburnya yang terikat dengan amal
perbuatannya hingga hari kiamat?
Demikian
juga dengan Nabi Muhammad Saw yang diutus pada masa yang dipenuhi oleh ahli
bahasa, sastrawan dan penyair. Maka Beliau diutus oleh Allah Swt disertai
dengan dianugrahkannya mukjizat, al-Qur’an kitabullah; yang mana seandainya jin
dan manusia bersatu untuk membuat kitab yang sama, Allah Swt berfirman:
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ
الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ
بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia
dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur'an ini, niscaya mereka tidak
akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi
pembantu bagi sebagian yang lain". (QS. Al-Isra: 88)
Atau dengan sepuluh surat serupa:
أَمْ يَقُولُونَ
افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ
مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ . فَإِلَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكُمْ فَاعْلَمُوا
أَنَّمَا أُنْزِلَ بِعِلْمِ اللَّهِ وَأَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَهَلْ أَنْتُمْ
مُسْلِمُونَ
Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad
telah membuat-buat Al Qur'an itu", Katakanlah: "(Kalau demikian),
maka datangkanlah sepuluh surah-surah yang dibuat-buat yang menyamainya, dan
panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu
memang orang-orang yang benar". Jika mereka yang kamu seru itu tidak
menerima seruanmu (ajakanmu) itu maka (katakanlah olehmu): "Ketahuilah, sesungguhnya
Al Qur'an itu diturunkan dengan ilmu Allah dan bahwasanya tidak ada Tuhan
selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (kepada Allah)?" (QS. Hud:
13-14).
Atau
dengan satu surat saja yang menyamainya:
أَمْ يَقُولُونَ
افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ
اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِي
Atau (patutkah) mereka mengatakan:
"Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu
katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah
siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu
orang-orang yang benar." (QS. Yunus: 10)
وَإِنْ كُنْتُمْ
فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا
شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang
Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat
(saja) yang semisal Al Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah,
jika kamu orang-orang yang benar. (QS. Al-Baqarah: 23).
Niscaya
mereka tidak akan pernah sanggup melakukan hal itu; selamanya. Meskipun antara
yang satu dengan yang lainnya saling tolong menolong. Yang demikian
sesungguhnya tidak lain karena firman Allah Swt tidak akan pernah serupa dengan
perkataan makhluknya, selamanya [Imam Abul Fida’ al-Hafidz Ibnu Katsir
al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (Beirut: Dar_El-Fikr, 2005), juz 1,
hlm. 332]. Tentunya hal ini pertanda bahwa al-Qur’an yang ada dihadapan kita
benar-benar mukjizat dari Allah Swt yang turunkan pada Nabi Muhammad Saw yang
masih saat kita saksikan.
Tentunya hal
ini pertanda bahwa al-Qur’an yang ada dihadapan kita benar-benar mukjizat dari
Allah Swt yang turunkan pada Nabi Muhammad Saw yang masih saat kita saksikan.
Kehadiran Nabi Muhammad pun menjadi sample
bagi umatnya mengenai al-Qur;an itu sendiri. Dengan tegas Allah menyatakan:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ
فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ
وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS.
Al-Ahzab: 21).
Sesunggunya
Allah tidak akan serta merta menjadikan Rasulallah Saw sebagai suritauladan.
Diantara keistimewaan beliau adalah karena akhlak dan budi pekertinya yang
agung dalam segala aspek kehidupan. Sehingga perbuatan dan ucapannya pun
menjadi contoh paling baik umatnya. Allah menginformasikan hal itu dalam
firman-Nya:
وَإِنَّكَ لَعَلَى
خُلُقٍ عَظِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS.
Al-Qalam: 4)
Terkait dengan ayat ini, maka istri
Rasulullah Aisyah mengingatkan bahwa akhlak Rasulullah Saw itu adalah al-Qur’an
itu sendiri. Aisyah pernah ditanya oleh sahabat Jubair bin Nufair mengenai
akhlak Rasulullah Saw, maka beliau menjawab:
كان خلق رسول الله
صلى الله عليه و سلم القرأن
“akhlak Rasulullah Saw
itu adalah al-Qur’an”. (H.R. Ahmad).
Selanjutnya,
Karena al-Qur’an dan al-Sunnah adalah sumber ilmu, hukum sekaligus petunjuk.
Maka tentunya Islam mengajarkan amal itu
harus sesuai dengan ilmu (hujjah) itu. Para sahabat dan Ulama salaf mengajarkan
pada kita bahwa sekalipun perbuatan itu baik menurut akal, tetapi kalau kemudian
bertentangan dengan keterangan Allah dan Rasul-Nya, maka pada hakikatnya
‘sesuatu’ itu merupakan perbuatan yang tercela dan tertolak. Rasulullah
mengingatkan:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً
لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهْوَ رَدٌّ
“…orang yang beramal
bukan atas perintah kami, maka amal tersebut ditolak”
Kehati-hatian
dalam beramal sangat dibutuhkan. Karena bisa jadi amal tersebut baik menurut
kita, tapi agama tidak meridhainya. Begitu pun sebaliknya, bisa jadi amal itu
buruk menurut pandangan manusia, tapi agama memerintahkannya. Kalau tidak
demikian, dikhawatirkan kita banyak terjebak dalam beramal yang begitu
melelahkan, tapi tidak bernilai di sisi Allah Swt. Itu artinya, maksimalnya
suatu amal tidak diukur oleh kuantitas, melainkan oleh kualitasnya. Tentunya hal tersebut
dilihat dari sejauh mana amalan kita sesuai dengan tuntunan Allah dan
Rasul-Nya.
Terakhir,
kami mengajak kepada ikhwatuliman agar senantiasa akrab dengan kitab suci kita
(al-Qur’an dan al-Sunnah); tentunya dengan cara membaca, memahami menghafal dan
mengamalkanya. Karena hanya dengan cara demikianlah al-Qur’an akan terasa
sebagai mukjizat dan petunjuk bagi kehidupan kita. Ingat..! kalau tidak seperti
itu kita akan celaka...! Naudzubillah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar