Selasa, 01 Mei 2012

Al-Qur’an dan al-Sunnah Sebagai Pedoman Hidup Manusia


Al-Qur’an dan al-Sunnah
Sebagai Pedoman Hidup Manusia
Oleh: Jajang Hidayatullah
Al-Qur’an dan Al-Sunnah bagi seorang muslim adalah sumber petunjuk segala aturan kehidupan ini, keduanya tidak akan bisa dipisahkan karena memang memiliki keterikatan hukum yang amat kuat oleh karena itu apabila hidup ini tidak berpegang teguh terahadap tirkah Rasul (al-Qur’an dan as-Sunnah) tersebut, maka hidup kita akan celaka karena akan berkubang pada kesesatan yang nyata. Dalam hadits,  Rasulullah Saw bersabda:
 إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا : كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِي ، وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ
“sungguh Aku tinggalkan dua perkara kepada kalian dimana kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya, yaitu kitabullah dan sunnahku. Serta keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya mendatangiku di telaga (syurga)”. [Lihat al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, Kitab al-Ilmi, Hadits no. 322, (Beirut: Dar_El-Fikr, 2002), hlm. 193].
Hal ini juga disinyalir dalam beberapa surat dalam al-Qur’an, diantaranya:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan satu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab ayat: 36)
Disamping sebagai petunjuk, al-Qur’an juga menjadi bukti kenabian Muhammad Saw. sebagai kitab Allah, al-Qur’an memiliki keistimewaan (mukjizat), hal ini menegaskan bahwa al-Qur’an ini bukan ciptaan manusia—sebagaimana sering dituduhkan kaum orientalis—melainkan benar-benar kalam Allah Swt.
Ada yang menarik dari tafsir Ibnu Katsir saat penyusun kitab ini menafsirkan QS. Ali-Imran ayat: 49. Imam Ibnu Katsir menyatakan bahwa Allah Swt telah mengutus setiap Nabi sesuai dengan keadaan zamannya. Yang dominan pada zaman Nabi Musa As adalah sihir dan pengagungan berlebihan kepada tukang sihir. Maka Allah Swt pun mengutusnya disertai mukjizat luarbisa yang bisa membelakakan mata dan membingungkan para penyihir. Ketika mereka meyakini bahwa mukjizat itu berasal dari Allah Swt, maka mereka pun berbonding-bondong memeluk Islam hingga akhirnya menjadi makhluk Allah yang taat lagi berbakti.
Sedangkan Nabi Isa As diutus oleh Allah Swt disaat maraknya ahli kedokteran dan pakar ilmu alam. Maka Nabi Isa pun diutus ke tengah-tengah mereka dengan membawa mukjizat yang tidak ada seorang pun mampu mencapainya. Dokter mana yang sanggup menghidupkan  benda mati, atau menyembuhkan orang buta sejak lahir, atau orang menderita penyakit kusta serta membangkitkan orang mati berada didalam kuburnya yang terikat dengan amal perbuatannya hingga hari kiamat?
Demikian juga dengan Nabi Muhammad Saw yang diutus pada masa yang dipenuhi oleh ahli bahasa, sastrawan dan penyair. Maka Beliau diutus oleh Allah Swt disertai dengan dianugrahkannya mukjizat, al-Qur’an kitabullah; yang mana seandainya jin dan manusia bersatu untuk membuat kitab yang sama, Allah Swt berfirman:
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". (QS. Al-Isra: 88)
 Atau dengan sepuluh surat serupa:
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ . فَإِلَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا أُنْزِلَ بِعِلْمِ اللَّهِ وَأَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al Qur'an itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surah-surah yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar". Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu maka (katakanlah olehmu): "Ketahuilah, sesungguhnya Al Qur'an itu diturunkan dengan ilmu Allah dan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (kepada Allah)?" (QS. Hud: 13-14).
Atau dengan satu surat saja yang menyamainya:
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِي
Atau (patutkah) mereka mengatakan: "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar." (QS. Yunus: 10)
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (QS. Al-Baqarah: 23).
Niscaya mereka tidak akan pernah sanggup melakukan hal itu; selamanya. Meskipun antara yang satu dengan yang lainnya saling tolong menolong. Yang demikian sesungguhnya tidak lain karena firman Allah Swt tidak akan pernah serupa dengan perkataan makhluknya, selamanya [Imam Abul Fida’ al-Hafidz Ibnu Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (Beirut: Dar_El-Fikr, 2005), juz 1, hlm. 332]. Tentunya hal ini pertanda bahwa al-Qur’an yang ada dihadapan kita benar-benar mukjizat dari Allah Swt yang turunkan pada Nabi Muhammad Saw yang masih saat kita saksikan.
Tentunya hal ini pertanda bahwa al-Qur’an yang ada dihadapan kita benar-benar mukjizat dari Allah Swt yang turunkan pada Nabi Muhammad Saw yang masih saat kita saksikan.
Kehadiran Nabi Muhammad pun menjadi sample bagi umatnya mengenai al-Qur;an itu sendiri. Dengan tegas Allah menyatakan:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab: 21).
Sesunggunya Allah tidak akan serta merta menjadikan Rasulallah Saw sebagai suritauladan. Diantara keistimewaan beliau adalah karena akhlak dan budi pekertinya yang agung dalam segala aspek kehidupan. Sehingga perbuatan dan ucapannya pun menjadi contoh paling baik umatnya. Allah menginformasikan hal itu dalam firman-Nya:
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. Al-Qalam: 4)
Terkait dengan ayat ini, maka istri Rasulullah Aisyah mengingatkan bahwa akhlak Rasulullah Saw itu adalah al-Qur’an itu sendiri. Aisyah pernah ditanya oleh sahabat Jubair bin Nufair mengenai akhlak Rasulullah Saw, maka beliau menjawab:
كان خلق رسول الله صلى الله عليه و سلم القرأن
“akhlak Rasulullah Saw itu adalah al-Qur’an”. (H.R. Ahmad).
Selanjutnya, Karena al-Qur’an dan al-Sunnah adalah sumber ilmu, hukum sekaligus petunjuk. Maka tentunya  Islam mengajarkan amal itu harus sesuai dengan ilmu (hujjah) itu. Para sahabat dan Ulama salaf mengajarkan pada kita bahwa sekalipun perbuatan itu baik menurut akal, tetapi kalau kemudian bertentangan dengan keterangan Allah dan Rasul-Nya, maka pada hakikatnya ‘sesuatu’ itu merupakan perbuatan yang tercela dan tertolak. Rasulullah mengingatkan:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهْوَ رَدٌّ
“…orang yang beramal bukan atas perintah kami, maka amal tersebut ditolak”
Kehati-hatian dalam beramal sangat dibutuhkan. Karena bisa jadi amal tersebut baik menurut kita, tapi agama tidak meridhainya. Begitu pun sebaliknya, bisa jadi amal itu buruk menurut pandangan manusia, tapi agama memerintahkannya. Kalau tidak demikian, dikhawatirkan kita banyak terjebak dalam beramal yang begitu melelahkan, tapi tidak bernilai di sisi Allah Swt. Itu artinya, maksimalnya suatu amal tidak diukur oleh kuantitas, melainkan  oleh kualitasnya. Tentunya hal tersebut dilihat dari sejauh mana amalan kita sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Terakhir, kami mengajak kepada ikhwatuliman agar senantiasa akrab dengan kitab suci kita (al-Qur’an dan al-Sunnah); tentunya dengan cara membaca, memahami menghafal dan mengamalkanya. Karena hanya dengan cara demikianlah al-Qur’an akan terasa sebagai mukjizat dan petunjuk bagi kehidupan kita. Ingat..! kalau tidak seperti itu kita akan celaka...! Naudzubillah...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar