Jumat, 20 April 2012

Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas


Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas
Oleh: Jajang Hidayatullah[1]

Alasan keberatan yang paling fundamental mengapa hermeneutika ditolak keras dalam Islam, jawabanya adalah: karena ruh hermeneutika yang selalu cenderung merelatifkan hal-hal yang sudah jelas (qath’iy), tetap (tsawabhit), dan disepakati oleh Ulama berwibawa (ijma’). Jadi tidak sekedar alasan karena hermeneutika berasal dari Barat dan telah diterapkan Bibel saja, tetapi lebih karena hermenutika mempunyai ruh yang mereduksi dan tidak sejalan dengan nilai Islam. Sebagai contoh dalam ‘madzhab’ Schleiermacher terdapat pemikiran bahwa seorang penafsir bisa mengerti lebih baik dari pengarangnya; Wilhem Dilthey dengan pemahaman historisnya berpendapat bahwa sejarahlah yang mempunyai otoritas atas makna teks, bukan pengarang teks; Heidegger dan Gadamer dengan pemahaman ontologisnya berpendapat bahwa penafsir dan teks terikat dengan tradisi yang melatar belakangi teks (Henri, 2007: xxvi); Jurgen Habermas pergi lebih jauh. Bagi tokoh-tokoh terkemuka Frankfurt School ini, hermeneutika bertujuan membongkar motif-motif tersembunyi dan kepentingan terselubung yang melatar belakangi lahirnya sebuah teks. Sebagai kritik ideologi hermeneutika harus bisa mengungkapkan manipulasi, dominasi dan propaganda dibalik bahasa sebuah teks, segala sesuatu yang  mungkin mendistorsi pesan atau makna secara sistematis (Arif, 2008: 181).
Untuk lebih lanjut khusus mengenai Jurgen Habermas mari kita sama-sama simak analisa singkat mengenai pemikiran filosof tersebut.

Biografi singkat Jurgen Habermas
Jurgen Habermas adalah seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman. Dia adalah generasi kedua dari madzhab Frankfurt. Jurgen habermas merupakan penerus dari Teori kritis yang ditawarkan oleh para pendahulunya yaitu Max Horkheimer, Theodor Adorno dan Herbert Marcuse. Teori Kritis yang dipaparkan oleh para pendahulunya berakhir dengan kepesimisan atau kebuntuan. Meskipun begitu, teori kritis tidaklah begitu saja berhenti sampai di sini. Dengan menggunakan paradigma baru, Habermas telah melangkah bergerak kembali membangkitkan teori itu.
Kota Dusseldorf di Negara Jerman merupakan tempat dimana Jurgen Habemas dilahirkan. Dan 18 Juni 1929 merupakan Tahun kelahirannya. Adapun kota dimana Habermas dibesarkan adalah Gummersbach. Ini adalah nama sebuah kota kecil yang berdekatan dengan  Dusseldorf yang menjadi kota kelahirannya. Pada awal Habermas memasuki masa remajanya di waktu akhir perang dunia ke dua, baru disadari olehnya mengenai kejahatankejahatan dari rezim nasionalis sosialis yang ketika itu berada di bawah komando Adolf Hitler. Dari hal inilah didapati kemungkinan besar yang menjadikannya terdorong untuk menguatkan tentang arti pentingnya demokrasi di negaranya (K. Bertens, 1983: 213).

Teori kritis Habermas
Habermas memberikan sebuah gambaran mengenai teori kritis, dimana teori kritis ini merupakan sebuah metodologi yang ditegakkan di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Adapun ilmu pengetahuan yang dikehendaki di sini adalah ilmu pengetahuan yang bernuansa sosiologis. Menurutnya lagi, teori kritis pada dasrnya bukanlah merupakan suatu teori ilmiah  sebagaimana yang dikenal oleh kalangan luas masyarakat atau publik akademis. Jika pada umumnya aliran positifistik berhenti pada tataran fakta-fakta obyektif, maka teori kritis tidak hanya berhenti sampai di situ. Bisa disebut bahwa teori kritis ini merupakan teori ideology. Teori kritis berusaha untuk dapat menembus realitas social sebagai fakta sosiologis guna menemukan kondisi kondisi yang bersifat transcendental yang melampaui data empiris.  Teori kritis ini sendiri merupakan buah hasil yang dimunculkan oleh mazhab Frankfurt, dimana teori ini mempunyai maksud membuka seluruh selubung ideologis dan irrasionalisme yang telah melenyapkan kebebasan dan kejernihan berfikir yang dimiliki oleh manusia modern. Pada tahap selanjutnya teori kritis ini mengalami sebuah kemacetan dan kepesimisan. Akan tetapi teori kritis  yang lahir dari rahim para pendahulu habermas ini tidak lah berakhir begitu saja . Habermas yang merupakan penerus dari mazhab Frankfurt yang disana ada Max Horkheimer, Herbert Marcuse dan theodor Adorno pada kesempatan berikutnya hendak kembali membangkitkan teori tersebut melalui sebuah paradigma baru. (Franz Magnis Suseno, 1991: 37)
Dalam karya-karyanya Habermas tidak pernah membicarakan secara utuh hermeneutika dalam arti definitif, baik sebagai sains untuk memahami atau sebagai sebuah gagasan tunggal apalagi secara khusus, seperti tafsir atas sebuah teks suci. Namun jika hermeneutika diartikan sebagai cara memahami, maka Habermas mempunyai gagasan yang sangat unik, yaitu bagaimana cara ia memahami. Ia dianggap unik karena ia membawa karakter yang khas aliran Frankfrut, yaitu kritis. Maka dari itu hermeneutika Habermas dapat disebut sebagai hermeneutika kritis. Keunikannya juga dapat digambarkan dari metodenya yang dibangun dari sebuah ‘klaim’ bahwa setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias dan unsur-unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial termasuk bias strata kelas, suku dan gender. Dengan menggunakan metode ini maka konsekuensinya kita harus curiga dan waspada—atau dengan kata lain kritis—terhadap bentuk tafsir atau pengetahuan atau jargon yang dipakai dalam sains dan agama (Malki, 2004: 33).

‘Memahami’ dan ‘Menjelaskan’ ala Habermas
Habermas membedakan antara penjelasan dan pemahaman. Ia juga memperingatkan kita bahwa: kita tidak dapat memahami sepenuhnya makna seuatu fakta, sebab ada juga fakta yang tidak diinterpretasi. Bahkan kita tidak dapat menginterpretasi fakta  secara tuntas. Habermas menyatakan bahwa akan selalu ada makna yang bersifat lebih yang tidak dapat dijangkau oleh interpretasi yaitu yang terdapat didalam hal-hal yang bersifat ‘tidak teranalisiskan’, ‘tidak dapat dijabarkan’ bahkan diluar fikiran kita. Semua hal tersebut mengalir secara terus menerus didalam hidup kita. (Sumaryono, 1999: 90)
Lebih jauh, Malki menganalisa bahwa pemikiran Habermas tidak lepas dari konsep memahami dan menjelaskan seperti yang telah dilontarkan sejak awal oleh Dilthey. Dua term ini sangat bermakna dan penting baginya. Fokus ‘menjelaskan’ adalah untuk dapat menjelaskan isu-isu yang berkaitan dengan dunia ilmu pengetahuan Alam, sedangkan fokus ‘memahami’ adalah pada isu-isu yang berhubungan dengan ilmu-ulmu kemanusian atau sosial. Namun demikian Habermas berpendirian bahwa teori kritis yang terdahulu telah gagal untuk menjelaskan konsepsi rasio yang lebih luas. Solusi yang ditawarkan Habermas adalah mengubah penekanan filsafat dari hubungan subyek-obyek menjadi komunikasi intersubyektif. Tujuannya adalah untuk memahami pihak lain, yang lahir dari sikap komunikatif. (Malki, 2004: 33-34).

Kritik ideologi
Menurut Habermas, ideologi adalah manipulasi yang berbentuk tidak sadar. Ideologi selalu ingin mendominasi dan menang, ingin menunjukan bahwa dirinya yang terhebat. Oleh sebab itu, Luis Altusser mengatakan bahwa ideologi dapat dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan, bahkan Altusser menyetarakan –cara pelanggengan kekuasaan dengan—”ideologi” dengan cara “represif”. Gramci berpendapat bahwa ideologi dapat digunakan sebagai alat untuk menghegemoni individu-individu yang tidak sadar.
Menurut Habermas, ideologi amat sarat dengan kepentingan. Oleh sebab itu, Habermas membagi kepentingan menjadi “Kepentingan Kutub Empiris” dan “Kepentingan Kutub Transendental”. Yang pertama berkaitan dengan kondisi sosio-historis manusia sebagai spesies yang berkehendak. Sedangkan yang kedua berkaitan dengan pengetahuannya yang bersifat normatif ideal. Kritik Ideologi bekerja dalam dua tataran ini. Yaitu untuk mencari pertautan keduanya manakala pemikiran manusia membeku pada salah satu kutub kepentingan tersebut.
Jika ideologi adalah sebuah cara pandang yang menghegemoni dan mengakar pada jiwa seseorang, maka dengan kritik–refleksi diri, individu akan memahami posisi diri sendiri, individu juga akan menyadari kepentingan untuk membebaskan diri dari kungkungan ideologi. Individu memiliki kemampuan untuk mencapai otonomi dan tanggung jawab atau pendewasaan (Budi Hardiman, 2009: 214-217).

Relasi Marx dan Teori Kritis
Menurut Habermas hermeneutika teoritis dan filosofis terlalu berkutat pada aspek bahasa itu sendiri. Apakah itu dikaitkan dengan subjktifitas pengarang, situasi kesejarahan masa lalu ataupun dalam posisinya menatap masa depan. Semestinya hermeneutika kritis yang ia gagas harus bisa membongkar motif-motif terembunyi, khususnya kepentingan kekuasaan yang melatarbelakangi lahirnya sebuah teks. Ternyata Habermas dibesarkan dilingkungan keserjanaan yang sangat “setia” pada paradigma “marxis” berarti akar akar-akar pemikirannya banyak dipengaruhi oleh millieunya (Syarief, 2011: 173).
Dari Karl Marx, Habermas mewarisi konsep tentang “kerja” sebagai syarat keberadaan manusia dan tidak terikat pada bentuk-bentuk masyarakat. ‘kerja’ adalah proses yang terdapat antara manusia dengan alam, suatu proses dimana manusia melalui tindakannya menengahi, mengatur dan mengawasi pertukaran barang-barang yang mereka miliki dengan alam. Namun Habermas juga mengkritik Marx dengan mengatakan bahwa marx telah menipu dirinya sendiri dalam hal yang berkaitan dengan hakikat refleksi yang ia kembalikan ke “kerja” karena Marx kemudian menarik proses refleksi ke tingkat tindakan instrumental. Implikasinya Marx tidak membedakan antara ilmu pengetahuan alamiah dengan ilmu pengetahuan kemanusiaan. Ia bahkan mengatakan bahwa akan ada satu ilmu pengetahuan tunggal yang akan menutup atau merangkum sekaligus baik ilmu pengetahuan alamiah maupun ilmu pengetahuan kemanusiaan.
Karl Marx sebagai pendahulu Habermas adalah filsuf yang secara radikal mengkritik pola dan praktek liberalisme-kapitalisme, yang memang bertentangan dengan prinsip pencerahan dan emansipasi sebagaimana dimaksud dalam humanisme-antroposentris. Marx yakin bahwa lewat perjuangan kelas dan revolusi, susunan masyarakat kelas akan diruntuhkan, sehingga persamaan dengan terhapusnya hak milik dan hubungan pemilikan subjek-objek, alienasi, nantinya akan menjadi lenyap.  Akan tetapi rupanya Marx dengan materialism sejarahnya masih terjebak pada statisme masyarakat. Sama dengan pola positivism, Marxisme menilai masyarakat hanya sampai pada sisi materialnya. Adapun determinisme ekonomi Marxisme juga berdasarkan atas pemahaman positivistis tentang proses-proses sejarah masyarakat, yaitu bahwa sejarah masyarakat berlangsung menurut keniscayaan hukum-hukum alam. Karena basis (ekonomi)  masyarakat menentukan superstruktur, maka perubahan pada basis itu  berarti mengubah superstruktur (Sumaryono, 1999: 96).
Pendasaran epitemologis Marxis itu, bagi Habermas belum memadai karena Marx mereduksi komunikasi pada kerja. Habermas merasa perlu mencari pendasaran kedua yang bekerja dalam paradigma komunikasi, dan disinilah jasa yang diberikan psikoanalisis dapat menjadi model bagaimana perjuangan kelas itu harus dilakukan (Budi Hardiman, 2009: 216).
Dengan didasari keprihatinan untuk mengatasi problem determinisme ekonomi Marxisme ortodok tersebut, selanjutnya lahirlah pemikiran kritis  yang dikenal dengan “Teori Kritis.” Teori kritis itu sendiri pada mulanya dirumuskan oleh Max Horkheimer dan para filsuf yang tergabung  dalam mazhab Frankfurt, sedangkan posisi Habermas adalah sebagai pembaharu. Berbeda dari Marxisme ortodok, teori kritis hendak mengembalikan Marxisme menjadi filsafat kritis. Karena sifatnya yang kritis, teori kritis dimaksudkan sebagai inspirator dan katalisator bagi sebuah gerakan dalam masyarakat sebagaimana watak Marxisme, yang geuine dan kritis-revolusioner. Akan tetapi teori kritis Mazhab Frankfurt ternyata mengalami kebuntuan (Franz Magnis Suseno, 1991: 33-36).

Kesimpulan
Singkat kata, Habermas ingin menawarkan sebuah masyarakat tanpa dominasi, paksaan dan bebas penguasaan. Dengan apa? Dengan komunikasi. Yaitu “komunikasi bebas penguasaan”. Suatu komunikasi yang tidak terdistorsi secara ideologis. Bagaimana cara mengetahui bahwa suatu komunikasi bersifat murni dan bebas dari dominasi ideologi? yaitu komunikasi yang seimbang, setiap partisipan memiliki kesempatan yang sama untuk melibatkan diri dalam perbincangan dan mengemukakan persetujuan-persetujuan, penolakan-penolakan, keterangan-keterangan, penafsiran-penafsiran, tetapi dengan tulus mengungkapkan perasaan-perasaan dengan sikap-sikap mereka tanpa pembatasan dari suatu kekuasaan. Komunikasi yang menghasilkan dengan konsensus-konsensus rasional yang dicapai oleh subyek-subyek yang berkompeten (“ijma”).
Artinya ketika hermenutika ini diterapkan pada kitab suci (al-Qur’an) maka yang akan terjadi adalah sikap desakralisasi. Setidaknya al-Qur’an akan dianggap sebagai produk budaya manusia semata, yang sudah pasti semua manusia tanpa batas otoritas akan diberi ruang seluas-luasnya untuk menafsirkan al-Qur’an. Pada akhirnya penafsiran-penafsirn sahabat dan para Ulama salaf akan selalu dicurigai dengan membawa motif-motif terselubung. Dengan demikian al-Qur’an pun menjadi semakin “humanis” dan “komunikatif”. Na’udzubillah..
Akhirul kalam, Mengutip pernyataan Dr. Malki: “kalau para sarjana muslim yang terpukau dengan pemikiran Habermas dan tertarik dengan gagasannya ingin konsisten dengan konsep ‘kepentingan’ Habermas mengapa tidak penafsiran al-Qur’an diarahkan pada kepentingan Islam bukan pada Barat yang pada ujungnya kembali kepada masalah perut”. Wallohu’alam
__________________________

Daftar Pustaka

E. Sumaryono, Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999).
Franz Magnis Suseno, Berfilsafat dari Konteks, (Jakarta: Gramedia, 1991).
F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi; menyingkap pertautan pengetahuan dan kepentingan bersama Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), cet III.
Henri Shalahuddin, Al-Qur’an Dihujat, (Jakarta: Al-Qalam, 2007).
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman, (Jakarta: Gramedia, 1983).
Nashruddin Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal; Panduan Islamic Worldview untuk Para Aktivis Da’wah, (Bandung: Persis, 2011), cet II.
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008).
Jurnal ISLAMIA,Th I No. 1, Maret, 2004.


[1] Mahasiswa Tafsir-Hadits STAI Persis Garut (Alumnus PPI 34 Cibegol)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar