Hermeneutika
Kritis Jurgen Habermas
Oleh: Jajang Hidayatullah[1]
Alasan
keberatan yang paling fundamental mengapa hermeneutika ditolak keras dalam
Islam, jawabanya adalah: karena ruh hermeneutika yang selalu cenderung
merelatifkan hal-hal yang sudah jelas (qath’iy), tetap (tsawabhit), dan
disepakati oleh Ulama berwibawa (ijma’). Jadi tidak sekedar alasan karena
hermeneutika berasal dari Barat dan telah diterapkan Bibel saja, tetapi lebih
karena hermenutika mempunyai ruh yang mereduksi dan tidak sejalan dengan nilai
Islam. Sebagai contoh dalam ‘madzhab’ Schleiermacher terdapat pemikiran bahwa
seorang penafsir bisa mengerti lebih baik dari pengarangnya; Wilhem Dilthey
dengan pemahaman historisnya berpendapat bahwa sejarahlah yang mempunyai
otoritas atas makna teks, bukan pengarang teks; Heidegger dan Gadamer dengan
pemahaman ontologisnya berpendapat bahwa penafsir dan teks terikat dengan
tradisi yang melatar belakangi teks (Henri, 2007: xxvi); Jurgen Habermas pergi
lebih jauh. Bagi tokoh-tokoh terkemuka Frankfurt School ini, hermeneutika
bertujuan membongkar motif-motif tersembunyi dan kepentingan terselubung yang
melatar belakangi lahirnya sebuah teks. Sebagai kritik ideologi hermeneutika
harus bisa mengungkapkan manipulasi, dominasi dan propaganda dibalik bahasa
sebuah teks, segala sesuatu yang mungkin
mendistorsi pesan atau makna secara sistematis (Arif, 2008: 181).
Untuk lebih
lanjut khusus mengenai Jurgen Habermas mari kita sama-sama simak analisa
singkat mengenai pemikiran filosof tersebut.
Biografi singkat Jurgen Habermas
Jurgen
Habermas adalah seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman. Dia adalah generasi
kedua dari madzhab Frankfurt. Jurgen habermas merupakan penerus dari Teori
kritis yang ditawarkan oleh para pendahulunya yaitu Max Horkheimer, Theodor
Adorno dan Herbert Marcuse. Teori Kritis yang dipaparkan oleh para pendahulunya
berakhir dengan kepesimisan atau kebuntuan. Meskipun begitu, teori kritis
tidaklah begitu saja berhenti sampai di sini. Dengan menggunakan paradigma
baru, Habermas telah melangkah bergerak kembali membangkitkan teori itu.
Kota
Dusseldorf di Negara Jerman merupakan tempat dimana Jurgen Habemas dilahirkan.
Dan 18 Juni 1929 merupakan Tahun kelahirannya. Adapun kota dimana Habermas
dibesarkan adalah Gummersbach. Ini adalah nama sebuah kota kecil yang berdekatan
dengan Dusseldorf yang menjadi kota
kelahirannya. Pada awal Habermas memasuki masa remajanya di waktu akhir perang
dunia ke dua, baru disadari olehnya mengenai kejahatankejahatan dari rezim
nasionalis sosialis yang ketika itu berada di bawah komando Adolf Hitler. Dari
hal inilah didapati kemungkinan besar yang menjadikannya terdorong untuk
menguatkan tentang arti pentingnya demokrasi di negaranya (K. Bertens, 1983:
213).
Teori kritis Habermas
Habermas
memberikan sebuah gambaran mengenai teori kritis, dimana teori kritis ini
merupakan sebuah metodologi yang ditegakkan di dalam ketegangan dialektis
antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Adapun ilmu pengetahuan yang dikehendaki
di sini adalah ilmu pengetahuan yang bernuansa sosiologis. Menurutnya lagi,
teori kritis pada dasrnya bukanlah merupakan suatu teori ilmiah sebagaimana yang dikenal oleh kalangan luas
masyarakat atau publik akademis. Jika pada umumnya aliran positifistik berhenti
pada tataran fakta-fakta obyektif, maka teori kritis tidak hanya berhenti
sampai di situ. Bisa disebut bahwa teori kritis ini merupakan teori ideology.
Teori kritis berusaha untuk dapat menembus realitas social sebagai fakta
sosiologis guna menemukan kondisi kondisi yang bersifat transcendental yang
melampaui data empiris. Teori kritis ini
sendiri merupakan buah hasil yang dimunculkan oleh mazhab Frankfurt, dimana
teori ini mempunyai maksud membuka seluruh selubung ideologis dan
irrasionalisme yang telah melenyapkan kebebasan dan kejernihan berfikir yang
dimiliki oleh manusia modern. Pada tahap selanjutnya teori kritis ini mengalami
sebuah kemacetan dan kepesimisan. Akan tetapi teori kritis yang lahir dari rahim para pendahulu habermas
ini tidak lah berakhir begitu saja . Habermas yang merupakan penerus dari
mazhab Frankfurt yang disana ada Max Horkheimer, Herbert Marcuse dan theodor
Adorno pada kesempatan berikutnya hendak kembali membangkitkan teori tersebut
melalui sebuah paradigma baru. (Franz Magnis Suseno, 1991: 37)
Dalam
karya-karyanya Habermas tidak pernah membicarakan secara utuh hermeneutika
dalam arti definitif, baik sebagai sains untuk memahami atau sebagai sebuah
gagasan tunggal apalagi secara khusus, seperti tafsir atas sebuah teks suci.
Namun jika hermeneutika diartikan sebagai cara memahami, maka Habermas
mempunyai gagasan yang sangat unik, yaitu bagaimana cara ia memahami. Ia
dianggap unik karena ia membawa karakter yang khas aliran Frankfrut, yaitu
kritis. Maka dari itu hermeneutika Habermas dapat disebut sebagai hermeneutika
kritis. Keunikannya juga dapat digambarkan dari metodenya yang dibangun dari
sebuah ‘klaim’ bahwa setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias dan
unsur-unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial termasuk bias strata kelas,
suku dan gender. Dengan menggunakan metode ini maka konsekuensinya kita harus
curiga dan waspada—atau dengan kata lain kritis—terhadap bentuk tafsir atau
pengetahuan atau jargon yang dipakai dalam sains dan agama (Malki, 2004: 33).
‘Memahami’ dan ‘Menjelaskan’ ala Habermas
Habermas
membedakan antara penjelasan dan pemahaman. Ia juga memperingatkan kita bahwa:
kita tidak dapat memahami sepenuhnya makna seuatu fakta, sebab ada juga fakta
yang tidak diinterpretasi. Bahkan kita tidak dapat menginterpretasi fakta secara tuntas. Habermas menyatakan bahwa akan
selalu ada makna yang bersifat lebih yang tidak dapat dijangkau oleh
interpretasi yaitu yang terdapat didalam hal-hal yang bersifat ‘tidak
teranalisiskan’, ‘tidak dapat dijabarkan’ bahkan diluar fikiran kita. Semua hal
tersebut mengalir secara terus menerus didalam hidup kita. (Sumaryono, 1999:
90)
Lebih jauh,
Malki menganalisa bahwa pemikiran Habermas tidak lepas dari konsep memahami dan
menjelaskan seperti yang telah dilontarkan sejak awal oleh Dilthey. Dua term
ini sangat bermakna dan penting baginya. Fokus ‘menjelaskan’ adalah untuk dapat
menjelaskan isu-isu yang berkaitan dengan dunia ilmu pengetahuan Alam,
sedangkan fokus ‘memahami’ adalah pada isu-isu yang berhubungan dengan
ilmu-ulmu kemanusian atau sosial. Namun demikian Habermas berpendirian bahwa
teori kritis yang terdahulu telah gagal untuk menjelaskan konsepsi rasio yang
lebih luas. Solusi yang ditawarkan Habermas adalah mengubah penekanan filsafat
dari hubungan subyek-obyek menjadi komunikasi intersubyektif. Tujuannya adalah
untuk memahami pihak lain, yang lahir dari sikap komunikatif. (Malki, 2004:
33-34).
Kritik ideologi
Menurut
Habermas, ideologi adalah manipulasi yang berbentuk tidak sadar. Ideologi
selalu ingin mendominasi dan menang, ingin menunjukan bahwa dirinya yang
terhebat. Oleh sebab itu, Luis Altusser mengatakan bahwa ideologi dapat
dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan, bahkan Altusser menyetarakan
–cara pelanggengan kekuasaan dengan—”ideologi” dengan cara “represif”. Gramci
berpendapat bahwa ideologi dapat digunakan sebagai alat untuk menghegemoni
individu-individu yang tidak sadar.
Menurut
Habermas, ideologi amat sarat dengan kepentingan. Oleh sebab itu, Habermas
membagi kepentingan menjadi “Kepentingan Kutub Empiris” dan “Kepentingan Kutub
Transendental”. Yang pertama berkaitan dengan kondisi sosio-historis manusia
sebagai spesies yang berkehendak. Sedangkan yang kedua berkaitan dengan
pengetahuannya yang bersifat normatif ideal. Kritik Ideologi bekerja dalam dua
tataran ini. Yaitu untuk mencari pertautan keduanya manakala pemikiran manusia
membeku pada salah satu kutub kepentingan tersebut.
Jika
ideologi adalah sebuah cara pandang yang menghegemoni dan mengakar pada jiwa
seseorang, maka dengan kritik–refleksi diri, individu akan memahami posisi diri
sendiri, individu juga akan menyadari kepentingan untuk membebaskan diri dari
kungkungan ideologi. Individu memiliki kemampuan untuk mencapai otonomi dan
tanggung jawab atau pendewasaan (Budi Hardiman, 2009: 214-217).
Relasi Marx dan Teori Kritis
Menurut
Habermas hermeneutika teoritis dan filosofis terlalu berkutat pada aspek bahasa
itu sendiri. Apakah itu dikaitkan dengan subjktifitas pengarang, situasi
kesejarahan masa lalu ataupun dalam posisinya menatap masa depan. Semestinya
hermeneutika kritis yang ia gagas harus bisa membongkar motif-motif terembunyi,
khususnya kepentingan kekuasaan yang melatarbelakangi lahirnya sebuah teks.
Ternyata Habermas dibesarkan dilingkungan keserjanaan yang sangat “setia” pada
paradigma “marxis” berarti akar akar-akar pemikirannya banyak dipengaruhi oleh millieunya
(Syarief, 2011: 173).
Dari Karl
Marx, Habermas mewarisi konsep tentang “kerja” sebagai syarat keberadaan
manusia dan tidak terikat pada bentuk-bentuk masyarakat. ‘kerja’ adalah proses
yang terdapat antara manusia dengan alam, suatu proses dimana manusia melalui
tindakannya menengahi, mengatur dan mengawasi pertukaran barang-barang yang
mereka miliki dengan alam. Namun Habermas juga mengkritik Marx dengan
mengatakan bahwa marx telah menipu dirinya sendiri dalam hal yang berkaitan
dengan hakikat refleksi yang ia kembalikan ke “kerja” karena Marx kemudian
menarik proses refleksi ke tingkat tindakan instrumental. Implikasinya Marx
tidak membedakan antara ilmu pengetahuan alamiah dengan ilmu pengetahuan
kemanusiaan. Ia bahkan mengatakan bahwa akan ada satu ilmu pengetahuan tunggal
yang akan menutup atau merangkum sekaligus baik ilmu pengetahuan alamiah maupun
ilmu pengetahuan kemanusiaan.
Karl Marx
sebagai pendahulu Habermas adalah filsuf yang secara radikal mengkritik pola
dan praktek liberalisme-kapitalisme, yang memang bertentangan dengan prinsip
pencerahan dan emansipasi sebagaimana dimaksud dalam humanisme-antroposentris.
Marx yakin bahwa lewat perjuangan kelas dan revolusi, susunan masyarakat kelas
akan diruntuhkan, sehingga persamaan dengan terhapusnya hak milik dan hubungan
pemilikan subjek-objek, alienasi, nantinya akan menjadi lenyap. Akan tetapi rupanya Marx dengan materialism
sejarahnya masih terjebak pada statisme masyarakat. Sama dengan pola positivism,
Marxisme menilai masyarakat hanya sampai pada sisi materialnya. Adapun
determinisme ekonomi Marxisme juga berdasarkan atas pemahaman positivistis
tentang proses-proses sejarah masyarakat, yaitu bahwa sejarah masyarakat
berlangsung menurut keniscayaan hukum-hukum alam. Karena basis (ekonomi) masyarakat menentukan superstruktur, maka
perubahan pada basis itu berarti
mengubah superstruktur (Sumaryono, 1999: 96).
Pendasaran
epitemologis Marxis itu, bagi Habermas belum memadai karena Marx mereduksi
komunikasi pada kerja. Habermas merasa perlu mencari pendasaran kedua yang
bekerja dalam paradigma komunikasi, dan disinilah jasa yang diberikan
psikoanalisis dapat menjadi model bagaimana perjuangan kelas itu harus
dilakukan (Budi Hardiman, 2009: 216).
Dengan
didasari keprihatinan untuk mengatasi problem determinisme ekonomi Marxisme
ortodok tersebut, selanjutnya lahirlah pemikiran kritis yang dikenal dengan “Teori Kritis.” Teori
kritis itu sendiri pada mulanya dirumuskan oleh Max Horkheimer dan para filsuf
yang tergabung dalam mazhab Frankfurt,
sedangkan posisi Habermas adalah sebagai pembaharu. Berbeda dari Marxisme
ortodok, teori kritis hendak mengembalikan Marxisme menjadi filsafat kritis.
Karena sifatnya yang kritis, teori kritis dimaksudkan sebagai inspirator dan
katalisator bagi sebuah gerakan dalam masyarakat sebagaimana watak Marxisme,
yang geuine dan kritis-revolusioner. Akan tetapi teori kritis Mazhab Frankfurt
ternyata mengalami kebuntuan (Franz Magnis Suseno, 1991: 33-36).
Kesimpulan
Singkat kata, Habermas ingin menawarkan
sebuah masyarakat tanpa dominasi, paksaan dan bebas penguasaan. Dengan apa?
Dengan komunikasi. Yaitu “komunikasi bebas penguasaan”. Suatu komunikasi yang
tidak terdistorsi secara ideologis. Bagaimana cara mengetahui bahwa suatu
komunikasi bersifat murni dan bebas dari dominasi ideologi? yaitu komunikasi
yang seimbang, setiap partisipan memiliki kesempatan yang sama untuk melibatkan
diri dalam perbincangan dan mengemukakan persetujuan-persetujuan,
penolakan-penolakan, keterangan-keterangan, penafsiran-penafsiran, tetapi dengan
tulus mengungkapkan perasaan-perasaan dengan sikap-sikap mereka tanpa
pembatasan dari suatu kekuasaan. Komunikasi yang menghasilkan dengan
konsensus-konsensus rasional yang dicapai oleh subyek-subyek yang berkompeten
(“ijma”).
Artinya ketika hermenutika ini diterapkan
pada kitab suci (al-Qur’an) maka yang akan terjadi adalah sikap desakralisasi.
Setidaknya al-Qur’an akan dianggap sebagai produk budaya manusia semata, yang
sudah pasti semua manusia tanpa batas otoritas akan diberi ruang seluas-luasnya
untuk menafsirkan al-Qur’an. Pada akhirnya penafsiran-penafsirn sahabat dan
para Ulama salaf akan selalu dicurigai dengan membawa motif-motif terselubung.
Dengan demikian al-Qur’an pun menjadi semakin “humanis” dan “komunikatif”.
Na’udzubillah..
Akhirul kalam, Mengutip pernyataan Dr. Malki:
“kalau para sarjana muslim yang terpukau dengan pemikiran Habermas dan tertarik
dengan gagasannya ingin konsisten dengan konsep ‘kepentingan’ Habermas mengapa
tidak penafsiran al-Qur’an diarahkan pada kepentingan Islam bukan pada Barat
yang pada ujungnya kembali kepada masalah perut”. Wallohu’alam
__________________________
Daftar
Pustaka
E. Sumaryono, Hermeneutik; Sebuah Metode
Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999).
Franz Magnis Suseno, Berfilsafat dari
Konteks, (Jakarta: Gramedia, 1991).
F. Budi
Hardiman, Kritik Ideologi; menyingkap pertautan pengetahuan dan kepentingan
bersama Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), cet III.
Henri Shalahuddin, Al-Qur’an Dihujat,
(Jakarta: Al-Qalam, 2007).
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX
Inggris-Jerman, (Jakarta: Gramedia, 1983).
Nashruddin
Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal; Panduan Islamic Worldview untuk Para
Aktivis Da’wah, (Bandung: Persis, 2011), cet II.
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme
Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008).
Jurnal ISLAMIA,Th I No. 1, Maret, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar