Jumat, 20 April 2012

Kesesatan Syi’ah


 Kesesatan Syi’ah
Oleh: Jajang Hidayatullah

Pendahuluan
Islam memang ditaqdirkan mempunya rival sampai hari kiamat, Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjadi pedoman umat Islam mereka rusak dengan berbagai cara, mereka bungkus gerakannya dengan sesuatu yang memikat. Allah berfirman:

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu[1]”.

Memang kalau kita telisik, seluruh aliran sesat yang ada semuanya pasti bermuara kepada Aksi ‘tidak ridha’nya orang-orang yahudi dan Nasrani terhadap Islam. Diantaranya mereka buktikan dengan membuat aliran-aliran sempalan yang tujuannya tiada lain untuk mengaburkan Islam dari keaslian ajarannya yang paripurna. Diantara aliran sesat itu adalah Syi’ah.

Sejarah lahirnya Syi’ah
Para ahli sejarah menyatakan bahwa munculnya Syi’ah itu ketika Rasulullah Saw wafat seiring dengan ‘perselisihan’ yang terjadi. Pada waktu itu para sahabat berbeda pendapat mengenai siapakah yang sebetulnya berhak menduduki posisi khilafah. Sebab memang tidak ada nash yang tegas secara langsung menunjuk pengganti Nabi Saw, serta tidak ada wasiat apapun dari Nabi Saw mengenai pengganti beliau, disamping posisi ini merupakan kedudukan istimewa, yang tentunya sulit terhindar dari ragam peta pemikiran yang selalu bersebrangan[2].
Setelah Nabi Muhammad Saw wafat, kedudukannya sebagai kepala negara tentu harus diganti, sedangkan tugasnya sebagai Rasul tidak dapat diganti, karena wahyu telah selesai diturunkan, dan beliau penutup para Nabi. Dalam tarikh, kita mengetahui bahwa pengganti Rasululah sebagai kepala negara adalah Abu Bakar dengan gelar khalifah, yakni khalifatu Rasulilah (pengganti Rasulullah). Sepeninggal Abu Bakar, Umar bin Khatab menggantikan beliau sebagai khalifah kedua. Selanjutnya Utsman bin Affan sebagai khalifah yang ketiga.
Pada masa pemerintahan Utsman mulai timbul persoalan-persoalan politik yang dampaknya amat luas dan mendalam, yang bahkan bisa dikatakan suatu tragedy sejarah Islam. Ahli sejarah menggambarkan bahwa Utsman bin Affan menjabat khalifah pada usia cukup tua. Karena itu, beliau terkesan lemah tidak mampu menolak ambisi keluarganya yang kaya dan berpengaruh di masyarakat Arab pada waktu.
Singkat kisah, setelah Utsman wafat, Ali bin Abi Thalib sebagai sebagai calon terkuat menjadi khalifah ke empat. Tetapi khalifah ini nampaknya tidak diterima secara mulus oleh semua pihak. ia segera mendapat tantangan dari para pemuka yang berambisi pula menjadi khalifah, terutama Thalhah dan Zubair dari Mekkah yang mendapat dukungan dari Siti Aisyah RA.
Dalam peperangan yang disebut perang jamal (karena pada waktu itu siti Aisyah naik unta), Thalhah dan Zubair mati terbunuh, sedangkan siti Aisyah dikirim kembali ke Mekah. Sejak peristiwa itu siti Aisyah tidak terlibat lagi dalam perselisihan intern umat Islam. Mungkin beliau menyadari bahwa keterlibatannya pada perang jamal tidak lah tepat, terutama selaku mantan istri kesayangan Rasulullah Saw.
Tantangan kedua datang dari Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan, Gubernur Damaskus. Anggota keluarga terdekat Utsman bin Affan ini juga tidak mengakui Ali sebagai khalifah, karena ia sangat berambisi untuk menjadi khalifah. Bahkan ia menuduh Ali turut campur dalam pembunuhan Utsman, karena salah seorang dari pemuka pemberontak, Muhammad, adalah anak angkat Ali. Padahal Ali sendiri pernah menyatakan kepada Utsman bahwa ia juga tidak membenarkan tindakan para pemberontak itu. Dengan alasan ‘’menuntut darah Utsman” akhirnya tentara Mu’awiyah menyulut api perang saudara melawan tentara Ali bin Abi Thalib di Shiffin, Irak; yang dikenal dengan perang shiffin. Ratusan korban tentara kaum muslimin dari kedua belah pihak menjadi korban.
Tentara Ali berhasil mendesak tentara Mu’awiyah. Pintu kemenangan pun sudah ditangan Ali. Tentara Mu’awiyah bahkan sudah siap-siap untuk lari. Namun tangan kanan Mu’awiyah ‘Amr bin ‘Ash minta berdamai dengan mengangkatkan Al-Qur’an. Karena permintaan damai itu, para Imam yang menyertai Ali mendesaknya, selaku panglima supaya menerima tawaran itu. Ali bin Abi Thalib bersangka baik. Ia menerima tawaran itu sehingga diadakan tahkim (arbitrase). Sebagai juru bicara, diangkatlah dua orang, yaitu ‘Amr bin ‘Ash dar pihak Mu’awiyah dan Abu Musa Al-Asy’ari dari pihak Ali.
Sejarah mencatat, antara keduanya telah tercpai kesepakatan untuk menjatuhkan Ali dan Mu’awiyah untuk menjatuhkan Ali dan Abu Mu’awiyah. Abu Musa yang lebih tua, berbicara lebih dahulu dan mengumumkan pada khalayak suatu putusan menjatuhkan kedua pemuka yang berlawanan itu. Namun ‘Amr yang berbicara kemudian mengumumkan hanya menyetujui untuk menjatuhkan Ali, menolak menjatuhkan Mu’awiyah. Peristiwa ini tentu saja merugikan Ali dan menguntungkan Mu’awiyah. Mu’awiyah yang tadinya menduduki jabatan Gubernur di Damaskus, kini naik menjadi khalifah tidak resmi. Tidak mengherankan kalau keputusan ini ditolak oleh Ali, sehingga ia tidak mau meletakan jabatannya sampai wafat terbunuh pada tahun 661 M.
Dalam perkembangan selanjutnya, keputusan Ali menerima tipu daya, melalui tahkim secara terpaksa, itu tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Akhirnya mereka keluar dari barisan Ali. Dalam sejarah mereka dikenal dengan sebutan kaum Khawarij. Mereka mengatur barisan dan menentang Ali, sehingga terjadi lagi perang saudara. Dalam peperangan itu kaum khawarij kalah. Meskipun demikian, karena tentara Ali terlalu lelah untuk meneruskan peperangan melawan tentara mu’awiyah, Mu’awiyah terus berkuasa di Damaskus. Bahkan setelah Ali wafat, pada tahun 661 M, maka dengan mudah, Mu’awiyah dapat mempekuat kedudukannya sebagai khalifah.
Dari sejarah ringkas ini dapatlah disimpulkan bahwa pada waktu itu muncul tiga golongan politik dalam barisan umat Islam. Pertama adalah golongan Ali yang kemudian dikenal dengan nama Syi’ah. Kedua, golongan yang keluar dari barisan Ali yang dinamakan dengan kaum Khawarij. Dan ketiga, golongan Mu’awiyah yang kemudian membentuk Dinasti Bani Umayah dan memulai sistem kerajaan dalam Islam; suatu penyimpangan dari sistem khalifah yang pernah diterapkan oleh khulafahur Rasyidin[3].    
 
Aliran-Aliran Syi’ah
Syi’ah adalah sekte yang terus berkembang mengikuti alur zaman. Karenanya, Syi’ah tidak melulu berjalan disatu lintasan dan dengan satu arah yang lurus. Jadi, adalah hal yang wajar jika kemudian Syi’ah juga mengalami problem perbedaan pemikiran, yang pada gilirannya memunculkan aneka ragam versi[4].
Sekte Syi’ah berjumlah sangat banyak[5], akan tetapi mekipun demikian para ahli pada umumnya membagi sekte Syi’ah dalam empat golongan besar, yaitu Al-Kaisaniyyah, Zaidiyyah, Imamiyyah, dan kaum Ghulat[6]. Sebab firqah-firqah Syi’ah yang mencapai jumlah ratusan itu sejatinya bermuara dari kelompok besar tersebut[7].
  1. Syi’ah Kaisaniyah[8]
Kaisaniyah adalah sekte Syi’ah yan mempecayai keemimpinan Muhammad bin Hanafiyyah setelah wafatnya Sayyidina Husain bin Ali RA. Nama Kaisaniyah diambil dari diambil dari nama seorang bekas budak Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA Kaisan, atau dari nama Mukhtar bin Abi Ubaid yang juga dipanggil dengan nama Kaisan[9]
Mereka (Syi’ah) menyematkan berbagai kemuliaan kepada Kaisan, bahwa dia telah menerima berbagai ilmu dari Ali RA dan anaknya Muhammad Al-Hanafiyah. Sebagaian mereka bahkan ada yang mengingkari hari akhir dan hari kebangkitan, menyakini ar-raj’ah (kemunculan kembali) setelah kematian, al-hulul (emanasi atau bersatunya Tuhan dengan hamba) dan tanasukh (reinkarnasi)[10].
Ahmad Qusyairi Ismail menyatakan bahwa Sekte Kaisaniyah terpecah menjadi dua kelompok. Pertama, yang mempercayai bahwa Muhammad bin Hanafiyah sebenarnya tidak mati, tetapi hanya ghaib dan akan kembali lagi kedunia nyata pada akhir zaman. Mereka menganggap Muhammad bin Hanafiyah adalah Imam Mahdi yang dijanjikan itu. Yang termasuk golongan Kaisaniyah antara lain adalah sekte Al-Karabiyah; yaitu pengikut Abi Karb Ad-Dharir. Kedua, kelompok yang mempercayai bahwa Muhammad bin Hanafiyah telah meninggal, akan tetapi jabatan Imamah beralih kepada Abi Hasyim bin Muhammad bin hanafiyah. Yang termasuk kedalam kelompok ini adalah sekte Hasyimiyah pengikut Abi Hasyim. Selanjutnya sekte ini pun terpecah demikianlah seterusnya[11].
  1. Syi’ah Zaidiyyah
Zaidiyyah adalah pengikut Zaid bin Ali Zain Al-‘Abidin berbeda dengan Syia’ah itsna asyariyyah dan Syi’ah Ismailiyah, mereka tidak menganut teori Imam bersembunyi. Dalam pandangan mereka, Imam itu harus langsung memimpin umat. Meskipun demikian, ada juga persamaan mereka dengan kedua golongan diatas, yakni dalam keyakinan bahwa Imam harus berasal dari keturunan Ali dan Fatimah[12].
Lebih jelas dinyatakan Ahmad Qusyairi Isma’il bahwa dalam Syi’ah Zaidiyyah, seorang baru dapat diangkat sebagai Imam apabila memenuhi lima kriteria, yakni keturunan Fatimah binti Muhammad Saw, berpengetahuan luas tentang agama, hidup zuhud, berjihad dijalan Allah dengan mengangkat senjata, dan berani.
Selanjutnya beliau menyatakan bahwa dalam teologi mereka disebutkan, bahwa mereka tidak menolak prinsip Imamat al-Mafdhul ma’a wujud al-Afdhal, yaitu bahwa seorang yang lebih rendah tingkat kemampuannya dibanding orang lain yang sezaman dengannya dapat menjadi pemimpin, sekalipun orang yang lebih tinggi dari dia itu masih ada. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib dinilai lebh tinggi dari pada Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Oleh karena itu sekte Syi’ah yang paling dekat dengan sunnah.
Kemudian beliau menambahkan bahwa dalam persoalan Imamah, sekte Zaidiyyah ini berbeda pendapat dengan sekte itsna asyariyah yang menganggap jabatan Imamah harus dengan nas. Menurut Zaidiyyah Imamah harus dengan nash, tapi boleh ikhtiar atau pemilihan[13].
  1. Syi’ah Ghulat
Sekte Syi’ah ini termasuk paling ekstrim. Syi’ah Ghulat (ekstrim) memandang bahwa Ali bin Abi Thalib dan Imam-Imam penggantinya dengan pengkultusan yang melampaui batas-batas manusia biasa. Misalnya Al-Nasturiah berpendapat bahwa Ali adalah Tuhan atau sekurang-kurangnya dekat, menyerupai Tuhan[14].
Kaum Ghulat dapat dikelompokan kedalam dua golongan, yaitu golongan As-Saba’iyyah dan golongan Al-Ghurabiyyah. Golongan As-Saba’iyah berasal dari nama Abdullah bin Saba adalah golongan yang menganggap Ali bin Abi Thalib RA adalah jelmaan dari Tuhan atau bahkan Tuhan itu sendiri. Menurut mereka sesungguhnya Ali masih hidup. Sedangkan yang terbunuh ditangan Abdurrahman bin Muljam di Kuffah itu bukan sayyidina Ali melainkan seseorang yang diserupakan Tuhan dengan beliau. Menurut mereka, sayyidian Ali telah naik ke langit dan di sanalah tempatnya. Petir adalah suara beliau dan kilat adalah senyum beliau[15].
Mereka adalah kelompok yang terang-terangan mencaci serta bara’ah terhadap Abu Bakar, Umar dan Usman serta para sahabat Rasulullah Saw. Mereka mengaku bahwa Ali-lah yang menyuruh mereka untuk melakukan hal ini. Ketika dipanggil oleh Ali mereka mengakui perbuatan mereka.
Abdullah bin Saba’ adalah seorang pendeta Yahudi dari Yaman yang pura-pura masuk Islam pada akhir masa khalifah Utsman RA. Dialah orang pertama yang mengisukan bahwa yang berhak menjadi khalifah setelah Rasulullah Saw adalah Ali. Pada masa Abu Bakar, Umar dan awal masa khalifah Utsman belum ada isu seperti itu. Abdullah bin Saba’ pernah berkata, “Engkau-lah Allah”. Maka Ali bermaksud membunuhnya, namun dilarang oleh Ibnu Abbas. Kemudian Ali cukup membangnya ke Madain (Iran). Namun kasak-kusuk dan upaya Abdullah bin Saba’ untuk menanamkan ajarannya dikalangan umat Islam tak pernah berhenti. Demikianlah Abdulah bin Saba’ sebagai biang keladi bagi berlangsungnya peperangan antara Ali dan Mu’awiyyah juga antara Ali dan Siti Aisyah RA dalam perang jamal[16].
Adapun golongan Al-Ghurabiyah adalah golongan yang tidak se-ekstrim As-Saba’iyyah dalam memuja sayyidina Ali bin Abi Thalib RA. Menurut mereka, sayyidina Ali adalah manusia biasa, tetapi dialah yang seharusnya menjadi utusan Allah, bukan Nabi Muhammad Saw. Namun, karena Malaikat Jibril salah alamat, sehingga wahyu yang seharusnya disampaikan kepada Ali RA malah ia sampaikan kepada Nabi Muhammad Saw. Maka akhirnya Allah Sat mengakui Muhammad Saw sebagai utusanNya[17].
  1. Syi’ah Imamiyyah
Mereka dinamakan Imamiyyah, karena mereka menjadikan Imamah (kepemimpinan) sebagai tema sentral yang menjadi misi utama aktivitas mereka[18]. Imamiyah adalah golongan yang menganggap bahwa Nabi Muhammad Saw telah menunjuk sayyidina Ali RA sebagai penggantinya dengan penunjukan yang jelas dan tegas. Oleh karena itu, mereka tidak mengetahui keabsahan kepemimpinan sayyidina Abu Bakar, Umar maupun Utsman RA.
Syi’ah Imamiyah pecah menjadi beberapa golongan. Yang terbesar adalah Itsna Asyariyah atau Syi’ah dua belas. Sementara golongan kedua terbesar adalah golongan Isma’iliyah. Dalam sejarah Islam, kedua golongan sekte Imamiyah ini pernah memegang puncak kepemimpinan polotik Islam. Isma’iliyah berkuasa di Mesir dan Baghdad. Di Mesir, golongan Isma’iliyah berkuasa melalui Dinasti Fatimiyah. Pada waktu yang sama golongan Itsna Asyariyah dengan Dinasti Buwaihi menguasai kekuasaan kekhalifahan Abbasiyah selama kurang lebih satu abad[19].
  1. Syi’ah Itsna Asyariyah
Dinamakan Itsna Asyariyyah karena mereka meyakini keberadaan dua belas Imam, diaman yang terakhir (kedua belas) telah menghilang dan masuk ke dalam gua di Samara (sebuah kota di Irak dekat sungai Tigris di daerah utara Baghdad)[20].
Sekte al-Imamiyyah al-Itsna Asyariyyah inilah yang paling keras bertentangan dengan Ahlus-Sunah wal jama’ah, dalam pemikiran dan pandangan-pandangan yang spesifik. Mereka (al-Imamiyyah) bahkan sangat berambisi untuk menyebarkan madzhab—sesat—mereka keseluruh penjuru dunia Islam[21].
12 (dua belas) Imam yang dijadikan panutan oleh Syi’ah al-Imamiyyah al-Itsna Ay’ariyyah, yaitu:
1.      Ali bin Abi Thalib RA, digelari al-Murthada (yang diridhai), khalifah keempat al-khulafahu ar-Rasyidin, menantu Rasulullah Saw, dibunuh oleh Abdurrahman bin Maljam al-Kharijiy (pengikiut Khawarij) di mesjid Kuffah pada 17 Ramadhan 40 H.
2.      Al-Hasan bin Ali RA, digelari al-Mujtaba (yang terpilih), 3-50 H.
3.      Al-Husain bin Ali RA, digelari as-Syahid (yang mati syahid), 4-61 H.
4.      Ali Zayn al-Abidin bin al-Husain, digelari as-Sajad (yang hobi bersujud), 38-95 H.
5.      Muhammad al-Baqir bin Ali Zayn al-Abidin, digelari al-Baqir (yang cendikia), 57-114 H.
6.      Ja’far as-Shadiq bin Muhammad al-Baqir, digelari as-shadiq (yang jujur), 83-148 H.
7.      Musa al-Kazhim bin Ja’far as-Shadiq, digelari al-Kazhim (yang menahan diri), 128-183 H.
8.      Ali ar-Ridha bin Musa al-Kazhim, digelari ar-Ridha (yang ridha), 148-203 H.
9.      Muhammad al-Jawwad bin Ali ar-Ridha, digelari at-Taqi (yang bertaqwa), 195-220 H.
10.  Ali al-Hadi bin Muhammad al-Jawwad, digelari an-Naqi (yang suci bersih), 212-254 H.
11.  Al-Hasan al-Asykariy bin Ali al-Hadi, digelari az-Zaqi (yang suci), 232-260 H.
12.  Muhammd al-Mahdiy bin al-Hasan al-Asykariy, yang digelari al-Hujjah al-Qa’im al-Munthazhar (Imam yang dinantikan), 256-muncul (menurut keyakinan mereka)[22].
Syi’ah al-Imamiyyah al-Itsna Asyariyyah meyakini bahwa Imam yang kedua belas telah masuk kedalam goa di rumah ayahnya di kota Surra Man Ra’a, dan tidak pernah kembali lagi. Ketika Imam ini menghilang, mereka berselisih pendapat tentang usianya. Ada yang menyatakan berusia 4 tahun, dan ada juga yang berpendapat 8 tahun. Namun manyoritas peneliti cenderung berpendapat, bahwa Imam itu sama sekali tidak pernah ada. Itu adalah hal yang dibuat-buat oleh orang-orang Syi’ah, kemudian digelari al-Ma’dum (Imam yang tiada) atau al-Mawhum (Imam yang diduga-duga)[23].
Berikut adalah anggapan-angggapan mereka terhadap para Imam
-          Al-Ishmah (terpelihara), setiap Imam ma’shum (terpelihara) dari segala kesalahan, kelalaian dan dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil.
-          Al-Ilmu al-Ladunny, bahwa setiap diwarisi ilmu dari Rasulullah Saw, untuk menyempurnakan syari’at Islam karena memiliki ilmu ladunni.
Tidak ada perbedaan dengan antara Imam dengan Rasulullah Saw, yang membedakan bahwa Rasulullah Saw mendapat wahyu. Namun Rasulullah Saw telah menitipkan kepada mereka rahasia-rahasia syari’at Islam, agar mereka mampu membeerikan penjelasan kepada umat manusia sesuai dengankebutuhan zamannya[24].
Abdul Latief menyatakan bahwa Menurut Syi’ah, Imam hampir sama sifat dan kekuasaannya dengan sifat dan kekuasaan Nabi. Keyakinan ini bertitik tolak dari akidah mereka bahwa Imam dan Nabi sama-sama tidak berbuat salah (ma’shum) dalam membuat hukum. Perbedaannya , kalau Nabi menerima wahyu sedangkan Imam tidak[25].
-          Khawariq al-Adat (hal luar biasa), yaitu peristiwa luar biasa yang terjadi dari diri Imam. Mereka bahkan menanamkannya sebagai mu’jizat. Apabila tidak ada sesuatu teks tertulis dari Imam sebelumnya, maka dalam kondisi seperti itu penentuan Imam harus berdasarkan sesuatu yang luar biasa tersebut
-          Al-Ghaybah (menghilang), diyakini bahwa suatu zaman tidak pernah kosong  dari hujjah (argumentasi) Allah Swt, baik secara logika maupun syar’i. Sebagai konsekwensi logisnya, Imam ke-12 telah menghilang disebuah goa (dalam rumahnya). Diyakini pula, bahwa Imam tersebut memiliki ghayibah sughra (menghilang sementara waktu) dan ghayibah kubra (menghilang utuk selamanya).
-          Ar-Raj’ah (muncul kembali), diyakini al-Hasan al-Asykariy akan muncul (datang) kembali pada akhir zaman, ketika Allah Swt telah mengizinkannya untuk tampil kedunia.
Selain itu orang-orang Rafidhah mengaku bahwa para Imam mereka ma’shum (terjaga dari kesalah dan dosa) serta mereka mengetahui ilmu ghaib.
Dikuti oleh al-Kulaini dalam bukunya Ushulul Kaafi, Imam Ja’far as-Shadiq berkata, “kami adalah gudang ilmunya Allah dan kami penterjemah perintah Allah serta kami kaum yang ma’shum, diwajibkan taat kepada kami, dan dilarang menyelisihi kami, dan kami menjadi saksi atas pembuatan manusia di bawah dan di atas bumi ”.
Al-Kulaini pun berpendapat di dalam buku yang sama, bab “para Imam dapat mengetahui apa saja jika menghendakinya”, dari Ja’far ia berkata, “Imam bisa mengetahui apa saja jika memang menghendakinya dan mereka mengetahui kapan mereka mati, dan mereka tidak akan mati melainkan karena keinginan mereka sendiri.”
Al-Khumaini yang celaka berkata dalam salah satu tulisannya, “bahwa para Imam mereka lebih utama dari para Nabi dan Rasul, dan mereka memiliki kedudukan atau tingkatan yang tidak tercapai oleh para malaikat dan para Rasul.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Raidhah menyangka bahwasannya urusan agama diserahkan pada para pendeta, halal adalah yang menurut mereka halal dan haram adalah yang menurut mereka haram dan konsep keagamaan adalah yang mereka syar’atkan.”[26]
Menurut Syi’ah dua belas, jabatan Imamah berakhir pada Imam Mahdi al-Muntadzhar Muhammad bin Hasan al-Askari. Sesudah itu, tidak ada Imam-Imam lagi sampai hari kiamat. Imam Muhammad al-Muntadzhar Muhammad bin Hasan al-Askari ini, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Imam al-Mahdi, diyakini belum mati sampai saat ini. Menurut mereka, Imam Mahdi masih hidup tetapi tidak dapat dijangkau oleh umum dan nanti pada akhir zaman Imam Mahdi akan muncul kembali. Dengan kata lain Imam Mahdi al-Muntadzhar ini diyakini sedang ghaib[27].
  1. Syi’ah Isma’iliyyah
Sekte Isma’iliyyah, sekte terbesar kedua dalam golongan Imamiyyah, adalah golongan yang mengakui bahwa Imam Ja’far ash-Shidiq RA telah menunjuk Isma’il, putra beliau sebagai Imam penggantinya sesuadah beliau wafat. Akan tetapi, karena Isma’il bin Ja’far ash-Shidiq telah meninggal terlebih dahulu, maka orang-orang Syi’ah berpandangan bahwa sebenarnya penunjukan itu dimaksudkan kepada putra Isma’il, yaitu Muhammad bin Isma’il, Muhammad bin Isma’il lebih dikenal dengan sebutan Muhammad al-Maktum (yang berarti menyembunyikan diri)[28].
Sekte yang menjadi pengikut Isma’il bin Jafar ini pernah Berjaya dan berhasil mendirikan negara merdeka di Yaman dibawah komando al-Hasan bin Hawasyab pada tahun 268 H, yang banyak menampakan kebersahajaan, ibadah, kedermawanan dan perbuatan baik lainnya yang “dikemas” sebagai tipu daya “politik” untuk menarik simpati masyarakat awaw, agar tertunduk dalam aturan negara Majusi yang berbaju Islam[29].
Golongan Ism’iliyyah berpendapat, selama seorang Imam belum mempunyai kekuatan yang cukup untuk mendirikan kekuasaan, maka Imam tersebut perlu menyembunyikan diri; baru setelah merasa cukup kuat, ia akan keluar dari persembunyiannya. Selama masa persembunyiannya itu, sang Imam memerintahkan utusan-utusannya untuk menggalang kekuatan. Oleh karena itu, beberapa Imam setelah Muhammad al-Maktum selalu menyembunyikan diri sampai masa Abdullah al-Mahdi yang kemudian berhasil mendirikan dan menjadi khalifah pertama Dinasti Fatimiyyah di Mesir.
Sebagian dari sekte ini, percaya bahwa sebenarnya Isma’il bin Ja’far tidak meninggal dunia, melainkan akan ghaib dan akan kembali ke dunia nyata pada akhir zaman. Mereka disebut as-Sab’iyyah atau golongan yang mempercayai tujuh Imam. Untuk sekte ini, Imam terakhir adalah Isma’il bin Ja’far.
Golongan Isma’iliyah sampai saat ini masih ada, namun jumlah mereka jumlah sedikit sekali. Pengikut sekte ini yang terbanyak terdapat di India. Salah seorang Imam Isma’iliyah di wilayah tersebut dikenal dengan nama Aga Khan[30]

Pemikiran Dan Doktrin Sesat Syi’ah
  1. Syi’ah Dan Al- Imamah
Al-Imamah (kepemimpinan), kepemimpinan harus dengan nash (tekstual). Imam terdahulu harus menentukan penggantinya secara tekstual dan langsung ditunjuk orangnya, bukan dengan bahasa isyarat. Bagi mereka, Imamah merupakan sesuatu yang sangat penting, yang tidak boleh terpisahkan antara Rasulullah Saw dengan umat. Dan masing-masing orang tidak boleh dibiarkan menyampaikan pendapatnya sendiri-sendiri tentang iamamah. Sebaliknya harus ditentukan seseorang yang menjadi tempat bertanya dan rujukan.
Mereka berdalil, bahwa dalam Imamah, Rasulullah Saw telah menunjuk Ali bin Abi Thalib RA menjadi Imam sepeninggalnya secara tekstual pada hari Ghadir Khum, yang menurut ahli hadits dan ahli sejarah hanya sebuah peristiwa fiktif rekaan dan bualan Syi’ah belaka.
Diyakini pula bahwa Ali RA juga telah menentukan kedua putranya al-Hasan dan al-Husain secara tekstual, begitu seterusnya, bahwa setiap Imam berikutnya dengan wasiatnya yang disebut sebagai awashiya (para penerima wasiat)[31].
  1. Pandangan Syi’ah terhadap ahlu sunnah
Perbedaan antara syiah dan Ahlu sunnah bukan hanya masalah furu’iyyah (cabang-cabang agama) saja, tetapi lebih jauh Syi’ah telah menganggap Ahlu Sunnah adalah musuh terbesar bagi madzhab mereka. Berikut adalah tuduhan keji dan kotor mereka (Syi’ah) terhadap Ahlu Sunnah:
  1. Syi’ah Meyakini Bahwa Ahlu Sunnah Adalah Kafir
Dikatakan dalam kitab wasail Syi’ah, bahwa Al-Fudlail bin Yasar berkata kepada Abu Ja’far tentang wanita Rafidhah, ‘apakah boleh saya kawinkan dengan laki-laki Ahlu Sunnah?’ ia menjawab, ‘tidak, karena laki-laki Ahlu Sunnah adalah kafir.
Tidak cukup di situ saja, bahkan mereka berpendapat bahwa kekufuran orang-orang Ahlu Sunnah lebih besar dari pada kekufuran orang-orang Yahudi dan Nasrani, dikarenakan mereka memang kafir asli, lain halnya dengan Ahlu Sunnah, maka mereka adalah murtad (keluar dari Islam) dan kekufuran dari kemurtadan lebih besar dari pada kekufuran asli sesuai ijma’[32].
  1. Syi’ah Meyakini Bahwa Ahlu Sunnah Adalah Najis, Darah Dan Hartanya Halal 
Aqidah Rafidhah berpijak pada penghalalan harta dan jiwa Ahlu Sunnah. Ash-Sahduq meriwayatkan suatu riwayat yang disandarkan kepada Daud bin Farqad dalam bukunya Al-‘ilal bahwa ia (Daud) berkata: “saya bertanya kepada Abu Abdullah, apa pendapat anda tentang an-Nasib[33]? Ia menjawab halal darahnya, tapi saya khawatirkan keselamatan anda, maka jika anda mampu menggulingkan tembok sehingga merobohi orang ahlu sunnah, atau menenggelamkannya di lautan, sehingga tak ada yang menyaksikan atas perbuatanmu maka lakukanlah”, kemudian saya bertanya lagi, ”bagaimana pendapat anda tentang hartanya? Ia menjawab, “ambilah jika anda bisa”[34].
Selain anggapan diatas, Syi’ah melarang bekerja dengan ahlu sunnah kecuali dengan taqiyyah, Syi’ah mengutuk kaum ahlu Sunnah di depan jenazah mereka, mereka juga akan Shalat taqiyyah untuk menipu kaum ahlu sunnah, Tidak boleh memberikan zakat kepada orang-orang ahlu sunnah, Boleh mempergunjing orang-orang ahlu sunnah, Menurut Syi’ah, agama yang benar ialah yang bertentangan dengan ahlu sunnah, Boleh mengucapkan sumpah palsu demi taqiyyah untuk menipu ahlu sunnah[35], dan masih banyak perbuatan keji mereka terhadap ahlu sunnah.
  1. Pandangan Syi’ah Terhadap Sahabat Rasulullah Saw
An-Nukhbati menyebutkan, Abdullah bin Saba’ adalah orang yang pertama kali mencaci maki dengan terbuka Abu Bakar, Umar bin Khatab dan Utsman bin Affan—menantu Rasulullah Saw dan kerbat beliau—sejak itu hingga hari ini, orang-orang Syi’ah berpegang teguh kepada akidah tersebut. Seseorang tidak dikatakan Syi’ah, jika ia tidak benci ketiga Khalifah Rasulullah Saw tersebut, para pembela beliau, dan orang-orang yang mencintai beliau[36].
Dalam literarur atau karya-karya Syi’ah terungkap jelas; bagaimana penghinaan mereka terhadap sahabat Rasulullah Saw. Na’udzubillah Min Dzalik—Seperti penulis kutip dari Abu Khalifah dalam karyanya Rabihtu ash-Shahabah wa lam Akhsar Ala al-Bait—seperti dikatakan Umdah Muhaqqiqin—Muhammad at-Tausirkani dalam kitabnya Ali al-Akhbar menyatakan, “ketahuilah bahwa tempat, waktu dan keadaan yang paling mulia dan paling pantas untuk mencela mereka (para sahabat Nabi) adalah ketika engkau sedang berada dalam WC. Katakanlah setiap kali engkau mengeluarkan kotoran dan membebaskannya, serta bersuci berulang-ulang setiap kali selesai membuang hajat: ya Allah laknatlah Umar bin al-Khatab, lalau Abu Bakar dan Umar, lalu Utsman dan Umar, lalu Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan Umar. Ya Allah laknatlah Aisyah, Hafshah, Hindun dan Ummul Hakam. Dan laknatlah siapa saja yang ridha dengan perbuatan mereka hingga hari kiamat kelak”[37].
Secara akal sehat pun, sebenarnya; mana mungkin ada Agama yang mengajarkan penganutnya untuk menghina dan mencaci maki. Maka dengan ini semakin jelas lah bagaimana kesesatan mereka, yaitu kaum Syi’ah.
  1. Taqiyyah
Taqiyah pada orang-orang Syi’ah adalah bersikap menampakan kebalikan fakta yang sebenarnya. Taqiyah memperbolehkan seorang Syi’ah menipu orang lain. Berdasarkan taqiyah ini, seorang Syi’ah mengingkari lahiriah sesuatu yang ia yakini dalam batin. Sebaliknya taqiyah juga memperbolehkan orang Syi’ah mempercayai apa yang ia ingkari dalam batin. Itulah sebabnya kita akan  melihat orang Syi’ah sering mengingkari keyakinan-keyakinan mereka sendiri di depan kaum Ahli Sunnah[38].
Berikut adalah diantara ungkapan-ungkapan “Ulama” Syi’ah mengenai taqiyah dan keutamaannya menurut mereka:
-          Diriwayatkan oleh Al-Kaulani dalam Al-Kafi dari Ash-Shadiq, ia berkata, “aku pernah ayahku mengatakan: Tidak. Demi Allah tidak ada yang paling aku sukai di muka bumi ini selain taqiyah. Wahai habib (putraku tersayang), sesungguhnya orang yang mengamalkan taqiyah niscaya Allah akan mengangkat derajatnya. Wahai putraku tersayang, sesungguhnya manusia itu dalam menahan diri. Jika ia sudah muncul maka hal itu akan terjadi”[39].
-          Dinukil oleh Al-Kulaini dari Abu Abdillah, “jagalah agama kalian, tutupilah dengan taqiyah, tidak dianggap beriman seseorang sebelum ia bertaqiyah.” Syi’ah mengatakan bahwa taqiyah adalah merrupaka kewajiban, madzhab Syi’ah tidak akan tegak tanpa dengannya dan mereka menyampaikan dasar-dasar taqiyah dengan terang-terangan dan sembunyi-sembunyi serta bermuamalah dengan taqiyah ini khususnya ketika mereka dalam kondisi yang membahayakan. Oleh sebab itu, waspadalah wahai umat Islam dari bahaya Syi’ah ini[40].
  1. Mut’ah
Mut’ah adalah nikah kontrak dalam waktu tertentu. Berikut adalah diantara kebohongan-kebohongan kaum Syi’ah dalam masalah mut’ah. Al-Kasyani menyebutkan dalam bukunya minhaju as-shadiqin, bahwa Rasullah Saw pernah bersabda: “siapa yang telah melakukan mut’ah satu kali, maka derajatnya sama dengan Hasan RA, siapa yang melakukan mut’ah tiga kali, maka derajatnya sama dengan Ali RA, siapa yang melakukan mut’ah empat kali, maka derajatnya sama dengan derajatku”. Selain itu Rasulullah pun Al-Kasyani pernah bersabda: “siapa yang meninggal dunia dan belum pernah melakukan mut’ah, maka dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bunting.[41]” Dan masih banyak lagi yang lainnya, yang diantaranya disandarkan kepada riwayat para sahabat, naudzubillah. Padahal itu hanyalah kebohongan mereka.
Selain itu dalam keyakinan Syi’ah mereka melakukan mut’ah mendapat pahala-pahal berlipat (seperti ditulis dalam al-Kafi dan al-Istibshar, yang keduanya kitab standar hadits versi mereka). Sampai ada yang menyebutkan bahwa derajat mereka bermut’ah sama dengan derajat para Imam. Argumentasi ini patah dengan sendirinya bila berhadapan dengan kenyataan sejarah, bahwa sayyidina Ali, Imam agung yang diyakini kemaksumannya itu—jangankan pernah melakukann mut’ah, poligami pun tidak pernah dilaksanakannya. Juga Hasan dan Husain keduanya memilih poligami dan bukan perkawinan mut’ah[42].
Bagi Syi’ah dua belas Imam yang berkembang di Iran sekarang, agaknya mut’ah perlu dipertahankan untuk memberi kemudahan dan ‘’service’’ yang spektakuler dan daya tarik ampuh bagi para kader dan pengikut, terutama kalangan remaja agar semangat dalam gerakan revivalisme Syi’ah. Dikaranglah khusus masalah mut’ah yang dikemas begitu menarik disertai argumen-argumen filosofis[43].
Bagi mayoritas muslimin di dunia, mut’ah secara pasti diyakini sudah dilarang oleh Nabi, bahkan sampai hari kiamat nanti. Itu sama artinya bahwa apa yang dilakukan kaum Syi’ah bukanlah pernikahan, melainkan seks bebas. Tentunya itu dosa besar dan hukumannya pun berat.
  1. Mushaf Fatimah
Diyakini ada mushaf Al-Qur’an lain versi mereka, yang dinamakan Mushaf Fatimah. Dalam kitab al-Kafi, Al-Kulaini meriwayatkan dari Abu Bakar Bashir Ja’far Ash-Shidiq, bahwa ia berkata: “sesungguhnya kami memiliki mushaf Fatimah” saya berkata, apa mushaf fatimah itu?, maka ia menjawab, “yaitu sebuah mushaf yang isinya tiga kali lipat seperti Al-Qur’an kalian. Demi Allah tidak ada satu huruf pun isinya dari mushaf kalian.”[44]
  1. Al-Bara’ah
Al-Bara’ah (berlepas diri), maksudnya mereka berlepas diri (membangkang) dari tiga orang khalifah Rasulullah Saw; Abu Bakar, Umar dan Utsman, bahkan menggelari mereka dengan sifat-sifat tercela. Menurut mereka ketiga orang khalifah tersebut telah merampas hak khalifah dari orang yang paling berhak untuk menerimanya. Mereka juga hobi melaknat Abu Bakar RA dan Umar dalam mengawali segala amal perbuatan baik, sebagai ganti membaca basmalah. Mereka tidak segan-segan untuk melaknat sebagian para sahabat Rasulullah Saw dan juga Aisyah RA[45].
  1. Ath-Thinnah
Ath-Thinah adalah tanah kuburan Al-Husain. Diriwayatkan ada seorang yang bertanya kepada Ash-Shadiq tentang faedah penggunaan tanah kuburan Al-Husain, maka Ash-Shadiq menjelaskan padanya, “jika makan tanah kuburan ini bacalah bacaan ini : ya Allah saya memohon kepadaMu dengan perantaran Malaikat yang telah menggenggamnya dan memohon kepadaMu dengan perantaraan Nab yang telah menyimpannya, dan dengan perantaraan Wahi (Ali RA) yang telag bersemayam di dalamnya, agar engkau beerikan shalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarganya dan agar engkau jadikan tanah ini obat untuk segala macam penyakit, dan keselamatan dari segala ketakutan dan penjagaan dari segala keburukan. ”[46]
Orang-orang Syi’ah mengaku bahwa mereka diciptakan dari tanah khusus dan orang Sunni diciptakan dari tanah yang lain, kemudan kedua tanah tersebut dicampur denga cara tertentu, sehingga ketika ada dalam diri orang Syi’ah kemaksiatan dan tindakan kriminalitas dikarenakan terpengaruh dengan tanah asal diciptakannya orang Sunni. Dan apa bila terdapat dalam diri orang Sunni dicap baik dan amanah, maka itu karena pengaruh tanah bahan ciptaan orang Syi’ah[47].
Dalam riwayat diatas jelas betapa seseorang mukmin ataupun kafir tergantung kepada thinah asal kejadiannya. Ini adalah tidak benar, bertentangan dengan firman Allah Swt.
setiap jiwa (diri) bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”. (QS. Al-Mudatsir: 38). Dan banyak lagi di ayat yang lainnya[48].
  1. Kota Najf Dan Karbala
Orang-orang Syi’ah beranggapan bahwa lokasi para kuburan para Imam-Imam mereka, baik itu yang hanya diakui belaka atau yang sebenarnya sebagai tanah haram yang suci; Kuffah, Karbala, dan Qum[49] adalah tanah haram.
Tanah Karbala bagi orang Syi’ah lebih utama dari pada Ka’bah, disebutkan dalam Al-Bihar dari Abdullah, ia berkata, “sesungguhnya Allah menurunkan wahyunya kepada Ka’bah dengan mengatakan: “jika bukan karena tanah Karbala aku tidak mengutamakanmu, dan jika bukan karena Imam yang bersemayam ditanah Karbala, Aku tidak menciptakanmu, dan aku tidak akan menciptakan mesjid yang engkau banggakan diamlah kamu jangan berrtingkah, jadilah kamu tmpukan dosa, hina dina, yang dihinakan dan jangan sombong kepada tanah Karbala, jika tidak Aku akan hempaskan kau ke neraka jahanam”[50].
  1. Hari Asyura Dan Hari Raya Ghadir Khum
Pada sepuluh hari pertama dari bulan Muharam setiap tahun orang-orang Syi’ah mengadakan upacara kesedihan dan ratapan (berkabung), saat itu mereka mengadakan demontrasi di jalan-jalan dan lapangan-lapangan umum, dengan memakai pakaian-pakaian serba hitam, sebagai lambang kesedian mereka, ini mereka lakukan untuk mengenang guru-gurunya Al-Husain RA, dengan berkeyakinan bahwa ini merupakan sarana pendekatan kepada Allah yang paling agung.
Dalam acara ini mereka memukul-mukul pipi mereka dengan tangan mereka, memukul dada dan punggung, menyobek-nyobek saku, menangis berteriak histeris dengan menyebut “ya Husain-ya Husain”. Bahkan lebih mengerikan mereka memukuli diri sendiri dengan cemeti dan pedang[51].
Hari raya Ghadir Khum yaitu hari raya mereka yang jatuh pada tanggal 18 Dzulhijjah. Menurut mereka hari ini lebih mulia dari pada Idhul Fitri dan Idhul Adha. Hari raya ini disebut hari raya Agung (Akbar). Berpuasa pada hari ini hukumnya sunah muakkad. Pada hari itu menurut pengakuan mereka, bahwa Rasulullah telah memberi wasiat tentang Khalifah kepada Ali RA untuk menggantikan beliau[52].
  1. Ahlul Bait
Syi’ah mewajibkan pengikutnya untuk untuk mencintai ahlu bait; sedang ahlu bait yang dimaksud adalah Ali RA Fatimah RA dan kedua putranya[53]. Padahal menurut Ablu Sunnah dalam mendefinisikan Ahlu Bait ada dua pendapat, pertama mereka adalah keluarga beliau Saw yang diharamkan menerima shadaqah, yaitu Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib, atau Bani Hasyim secara khusus. Atau secara umum adalah Bani Hasyim dan asal-usul keturunannya keatas. Ini kebanyakan pendapat para Ulama. Yang pasti sebagian Ahlu Bait lebih utama dari sebagian yang lainnya. Maka Ali, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husain lebih utama dari selainnya. Yang kedua, mereka adalah keturunan dan istri-istri beliau Saw secara khusus[54].
Kecintaan dan keloyalan Ahlu Sunnah kepada Ahlu Bait tidak dilandasi sikap ifrath (berlebih-lebihan) terhadap hak mereka, yaitu kecintaan dan loyalitas terhadap mereka yang “harus” disertai kebencian bahkan pengkafiran terhadap sahabat mulia seperti Abu Bakar, Umar, Utsman RA dan juga sahabat yang lainnya. Sebagaiman yang diyakini Syi’ah.

Syi’ah Di Indonesia
Masuknya Syi’ah dan perkembangannya di Indonesia sudah disinyalir sejak lama bahkan sudah ada pada masa kerajaan Islam. Azumardi Azra berargumen bahwa Syi’ah pernah menjadi kekuatan politik yang tangguh di Nusantara. Ia mengatakan bahwa kekuatan politi Sunni dan Syi’ah terlibat dalam pergumulan dan pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan di Nusantara sejak awal-awal masa penyebaran Islam di kawasan ini. Menurut Azumardi lanjutnya, kerajaan Islam yang pertama berdiri di Nusantara adalah kerajaan Peureulak (Perlak) yang konon, didirikan pada 225 H/845 M. Pendirikerajaan ini adalah para pelaut-pedagang muslim asal Persia, Arab dan Gujarat yang mula-mula datang untuk meng-Islamkan penduduk setempat. Namun belakangan mereka mengangkat seorang Sayyid Mawlana Abdul Aziz Syah, keturunan Arab Quraisy, yang menganut paham politik Syi’ah, sebagai Sultan Perlak II[55].
Agus Suyoto, setaf lembaga Penerangan dan Laboratorium Islam (LPII) menyebutkan, melalui penelitiannya menyimpilkan bahwa Syaikh Abdul Rauf Al-Sinkli, salah seorang ‘Ulama’ besar Nusantara asal Aceh pada abad ke-17, adalah pengikut dan pengubah sastra Syi’ah, bahkan hanya seorang saja yang dari Walisongo di Jawa yang tidak Syi’ah. Juga Nahdlatul Ulama (NU)—setidaknya secara kultural—juga adalah Syi’ah. Pengaruh Syi’ah yang cukup kuat di dalamnya, secara jelas diakui oleh Dr. Said Aqil Siraj wakil Katib Syuriah PBNU. Atau dalam kata-katanya: “harus diakui pengaruh Syi’ah di NU sangat besar dan mendalam. Kebiasaan membaca barzanji atau diba’i yang menjadi ciri khas masyarakar NU misalnya secara jelas berasal dari tradisi Syi’ah”.
Kemudian perkembangan ajaran Syi’ah hampir-hampir tidak terlalu berkembang pesat. Hingga kebangkitan Syi’ah yang kedua di mulai setelah revolusi Syi’ah di Iran. Kejadian ini membawa pengaruh luar biasa diseluruh belahan negri Islam. Dengan bahasa politiknya Khamaini memikat kaum Muslimin diseluruh dunia dengan taqrib (pendekatan) antara Ahlu Sunnah dan Syi’ah, walau pun hal itu hanyalah omong kosong[56].
Singkatnya, dikarenakan tahun 80-an perkembangan Syi’ah belum berarti apa-apa. Kemudian mulailah Syi’ah merambah kalangan muda dan intelektual. Diantara upaya yang dilakukan saat itu adalah menyekolahkan putra-putra terbaik Indonesia ke Qum Iran untuk dikader menjadi da’i-da’i masa depan, dan mengadakan diskusi mengenai persamaan antara Sunni-Syi’ah bagi kalangan intelektual[57].
Menurut analisa Hartono Ahmad Jaiz, menyatakan bahwa Gerakan Syi’ah di Indonesia luar biasa Aktifnya. Mereka sangant pintar menempatkan orang-orangnya di posisi penting serta sangat lihai melobi para pejabat pemerintah. Kelompok Syi’ah Indonesia dengan dukungan yang terang-terangan dari kedutaan Besar Iran di Jakarta.
Selanjut beliau menegaskan, bahwa posisi yang merek atur yaitu:
  1. Dr. Jalaluddin Rahmat untuk menggarap keluarga mantan wakil Prsiden Soedarmono serta kelompok elit Kebayoran Baru dengan menggunakan yayasan (pengajian Sehati)
  2. Ir. Haidar Bagir (Pemimpin di Harian Umum Republika) menggarap orang-orang dekat Habibie (ketua Umum ICMI—ikatan cendekiawan Muslim se-Indonesia—yang kemudian jadi Wapres dan sempat jadi Persiden sementara melanjutkan Soeharto) dan kelompok intelektual lainnya.
  3. Prof. Dr. Quraish Shihab yang menggarap tokoh Agama termasuk Mejlis Ulama Indonesia yaitu untuk mementahkan keputusan-keputusan Mejlis Ulama Indonesia, kalau ada keputusan MUI yang mau keras terhadap aliran-aliran sempalan. Dan dengan pendekatannya yang intensif dengan keluarga cendana akhirnya ia terpilih menjadi Mentri Agama pada Kabinet Pembangunan VII, sehingga LPPI mengeluarkan brosur kecil yang berjudul “Syi’ah dan Quraish Shihab”. Seandainya ia terpilih lagi menjadi Mentri Agama oleh Presiden Habibie, maka LPPI akan menerbitkan buku yang lengkap tentang Quraish Shihab mengenai keterlibatannya dengan Syi’ah terutama mengenai buku-buku tulisannya[58].
  1. Lembaga-Lembaga Syi’ah
Sejumlah lembaga; baik pesantren maupun yayasan, didirikan dibebarapa kota di Indonesia. Menurut pengakuan Ahmad Baraqbah salah seorang alumni Qum, Iran mengatakan : “di Indonesia sekarang ini terdapat kurang lebih 40 yayasan Syi’ah yang tersebar di sejumlah Kota besar, seperti Malang, Jember, Pontianak, Jakarta, Bangil, Banjarmasin dan sebagainya. Secara informal yayasan itu biasa mengadakan pertemuan dan melakukan pembagian tugas, terutama dalam soal target sasaran. Misalnya yayasan Al-Muntazhar untuk kalangan umum dan pesantren Al-Hadi lebih berorientasi kepada kelompok umur pendidikan dasar yang diharapkan dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi di Iran”[59].
Gerakan-gerakan Syi’ah yang mempunyai yayasan-yayasan yang bergerak dibidang pendidikan dan pesantren diantaranya:
  1. Yayasan Muthahari Bandung—SMA Muthahari
Pimpinan         : Dr. Jalaluddin Rachmat
Alamat                        : jln. Kampus Kiara Condong Bandung, Jawa Barat.

  1. Yayasan Al-Muntazar Jakarta
Pimpinan         : Ust Abdillah
Alamat             : Blok E/VII No. 43Taman Kota, Kel. Kembangan Kec. Kembangan Jakarta Barat.

  1. Yayasan Mulla Sadra Bogor, sekarang bernama : IPANI (Ikatan Pemuda Ahlul Bait)
Alamat              : Villa Merdeka, Jln Pesantren Kav. 14 Cimanggu, Bogor, Jawa Barat. PO Box 509, Telp. 0251375550
  1. Yayasan Pesantren Yapi Bangil, Jawa Timur.
Pimpinan                     : Ust Zahir Yahya dan Ust Alwi bin Syech Abu Bakr (BSA)
Pesantren putri            : Jln. Kincir Mas Bangil
Pesantren Putri            : Jln. Karsikan Gg III, Bangil
Pesantren Putra           : Kenep, Bangil.



  1. Yayasan Al-Jawad Bandung, Jawa Barat.
Pimpinan         : Ust Husain Al-Kaff
Alamat                        : PO Box 1536 Bandung 40122 Telp. 022216679

  1. Yayasan Muhibbin Probolinggo
Pimpinan         : Ust Khozin
Alamat                        : Jln. KH. Hasan No. 8 Probolinggo

  1. Yayasan Al-Hadi Pekalongan, Jawa Tengah
Pimpinan         : Ust Ahmad Baragbah
Alamat                        : Jln HA. Salim Gg. VI/2 Pekalongan PO Box 88 Pekalongan

  1. Yayasan Yapisma Malang Jawa Timur
Pimpinan         : Kolonel Yusuf Khoiron
Alamat                        : Jln. Bimbing Singosari Malang.

  1. Yayasan Madinatul ‘Ilmi (Depok Bogor), Jawa Barat.
Pimpinan         : Ust. Hasan Al-Idrus (panggilan: Hasan Dalil)
Alamat            : Jln. Margonda Raya No. 224 Depok 16417 Telp. 7760806

  1. Yayasan Darul Habib Jakarta
Pimpinan         : dr. Hasan Arifin Al-Haddad
Alamat            : Jln. Cempaka Putih 9 A/7 Cempaka Putih, Jakarta Pusat.

  1. Yayasan Yasin, Surabaya
Alamat            : Jln. Ngamplungan 5 No. 10-11 Surabaya.
  1. Yayasan Babul ‘Ilmi, Jakarta
Pimpinan         : Ust. Drs. Husain Shahab, MA
Alamat            : Jln. Nangka VI No. 17 Jatibening II Bekasi 17412 Telp. 0218418950

  1. Yayasan Al-Huda
Alamat : Jln. Tebet Barat II No. 8 Jakarta, Telp 0219194142
Keggiatan: menerbitkan buku-buku Syi’ah, pameran buku Syi’ah, Khaul Khameini dan acara-acara Syi’ah. Yayasan ini juga menerbitkan Buletin Bulanan “Babul Ilmi” yang disebarkan pada masyarakat[60].
  1. Penerbitan Buku
Penerbitan buku-buku Syi’ah yang ada di Indonesia diantaranya,
-          Penerbit Mizan Bandung
-          Penerbit Pustaka Hidayah Bandung
-          Penerbit Lentera Hati Jakarta
-          Penerbit Al-Huda[61].
  1. Majalah/Bulletin Syi’ah di Indonesia
Majalah-majalah dan Bulletin Syi’ah yang beredar di Indonesia diantaranya:
-          Majalah Yaum Al-Quds. Diterbitkan oleh seksi Pers dan Penerangan Kedutaan Iran di Jakarta. Dibagikan Cuma-Cuma.
-          Majalah Al-Mawaddah. Diterbitkan di Bandung oleh Forum Komunikasi Ahlul Bait Indonesia (FKABI).
-          Majalah Al-Hikmah. Diterbitkan oleh yayasan Muthahhari Bandung. Banyak menterjemahkan pikiran-pikiran Syi’ah.
-          Majalah Al-Mushthafa, Jakarta. Majalaj ini juga mengadakan wawancara dengan tokoh-tokoh Ahlus-Sunnah yang condong ke Syi’ah dan memberi angin segar untuk perjuangannya.
-          Bulletin Al-Jawad. Diterbitkan rutin setiap bulan oleh Yayasan Al-Jawad, berisi doktrin aliran Syi’ah.
-          Bulletin Al-Ghadir, juga diterbitkan oleh yayasan Al-Jawad.
-          Bulletin Al-Tanwir, diterbitkan oleh Yayasan Mthahari.
-          Bulletin Ibnu Sabil, diterbitkan setiap bulan di Pekalongan[62].

Kesimpulan
Dapat ditarik kesimpulan bahwa Syi’ah adalah ajaran sesat dan menyesatkan; kesesatannya dapat di ukur dengan; jangankan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan akal sehat pun kita akan dengan sangat mudah menyatakan bahwa mereka sesat. Terlebih kalau kita bandingkan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Landasan berfikir Syi’ah ini, dibangun atas sifat dan karakter mereka sebagaimana disimpulkan oleh Ibnu Taimiyyah sebagai berikut:
1.      Bodoh dan kurang akal. Semisal riwayat mereka tentang penghinaan mereka terhadap Abu Bakar? Mencela Fatimah? Atau kedua-duanya?. Kasus lainnya bahwa  Abu Bakar, Umar, Utsman dan para sahabat lainnya mengkhianati Ali dalam kekhilafan. Kalaulah mereka mau berfikir sejenak, kalaulah Ali RA merasa dikhianati mengapa Ali mau berbae’at kepada semuanya? Bahkan Ali menikahkan putrinya, Ummu Kultsum dengan Umar, sementara anak-anak Ali dinamai Abu Bakar, Umar dan sebagainya. Apakah Ali RA sedang taqiyah? Bukankah Ali RA orang pemberani menurut anggapan mereka?
2.      Nifak, Syi’ah menjadikan nifak ini pokok agamanya dan menamainya taqiyah. Mereka menyampaikan bahwa hal itu dari Ahlu Bait (mudah-mudahkan Allah melepaskan Ahlu Bait darinya). Mereka meriwayatkan dari Ja’far Shadiq sesungguhnya ia berkata: “Taqiyah adalah agamaku dan agama bapaku”.
3.      Dusta, untuk mengetahui kedustaan mereka adalah bias dengan akal, dengan Ilmu Al-Qur’an, dengan Sunnah dan dengan Ijma Ulama. Seperti aqidah raj’ah, bada’ dan lain-lain.
4.      Mengada-ada. Contohnya memuji-muji Ali dan mengutamaknnya atas Khalifah sebelumnya dan mereka membuat-buat kebatilan terhadap Khulafahu ar-Rasyidin atas dasar kebencian.
5.      Ta’ashub, kefanatikan mereka bukan terhadap agama tetapi tehadap nasab sebagaimana fanatiknya orang-orang Jahiliyyah.
6.      Tanaqud dalam beristidlal, sebagai contoh mereka mencela sahabat tapi dalam waktu bersamaan mereka mengambil hadits-haditsnya demi membela hujjahnya[63].

Akhirulkalam, mudah-mudahan kita (Islam) selalu terjaga juga senantiasa diberi kekuatan ma’rifatl batil dari musuh-musuh Allah yang hendak mengolok-ngolok dan merusak Agama Islam. Amien...
__________________________________



Daftar Pustaka
Ahmad Qusyairi Isma’il, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwah?; jawaban atas buku Dr Quraish Shihab ’Sunnah-Syi’ah bergandengan tangan! Mungkinkah? (Pustaka Sidogiri: Pasuruan, 2008).

Abdul Latief Muchtar, Gerakan kembali ke Islam;Warisan terakhir A. Latief Muchtar, (Remaja Rosadakarya: Bandung, 1998).

Abdullah bin Muhammad, Min ‘Aqaidi As-Syi’ah, terj. Menyingkap Kesesatan Ajaran Syi’ah, (Jaringan pembelaan terhadap sunnah:___, ____).

Dalam majalah Harakah Sunniyyah As-Silmi halaman 45 edisi 19 Mei 2007

Majalah Harakah Sunniyyah As-Silmi, edisi 19, Mei 2007.

Moh. Dawam Anwar,dkk. Mengapa kita menolak Syi’ah? Kumpulan makalah seminar nasional tentang Syi’ah, (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam/CV Karunia: Jakarta, 1998).

Abdullah Almushili, Hatta la Nankhadi Haqiqah Asy-Syi’ah, terj. Abdul Rosyad Shidiq, Mengungkap Hakikat Syi’ah Agar Anda Tidak Terpedaya, (Jakarta: Darl-Falah, 2009).

Ihsan Ilahi Dzahir, Asy-Syi’ah Wa Sunnah,terj. Fadhli Bahri, Virus Syi’ah; Sejarah Alienisme Sekte, (Jakarta: Darul-Falah, 2002)

Abu Khalifah Ali bin Muhammad al-Qudhaibi, Rabihtu ash-Shahabah wa lam Akhsar Ala al-Bait, terj. Ganna Prydharizal Anaedi, Akhirnya Kutinggalkan Syi’ah; Testimoni Tokoh Syi’ah, (Jakarta: Pustaka Imam Ahmad, 2010).

Muhammad Abdul Sattar Al-Tunsawi, _______, terj. H.M Jaelani Musni, Membongkar kesesatan Syi’ah, (Bandung: Badar, 2008).

Mohammad Baharun, Epistimologi Antagonisme Syiah; dari Imamah sampai Mut’ah, (Malang : Pustaka Bayan, 2008).

Majalah Islam Dunia Islam, edisi 15, Juli 2007.

Abdul Karim Al-Husaini Al-Qazwini, Al-Tasyayyu’ Huwa Al-Madzhab Al-Rasmi lil Islam, terj. Ilyas Mulya, Mengikuti Ahlu Bait Nabi Saw; kewajiban dalam Islam menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits, (___:Mitra Zaman, 2009).

Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Faham Sesat di Indinesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002).





[1] QS. Al-Baqarah ayat 2
[2]Ahmad Qusyairi Isma’il, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwah?; jawaban atas buku Dr Quraish Shihab ’Sunnah-Syi’ah bergandengan tangan! Mungkinkah? (Pustaka Sidogiri: Pasuruan, 2008), cet II, hlm 39. Selanjutnya ditulis Ahmad Qusyairi Isma’il, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwah?

[3] Abdul Latief Muchtar, Gerakan kembali ke Islam;Warisan terakhir A. Latief Muchtar, (Remaja Rosadakarya: Bandung, 1998), hlm 325-327. Selanjutnya ditulis Abdul Latief
[4] Ahmad Qusyairi Isma’il, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwah?, hlm 52.
[5] Dijelaskan didalam kitab Daairatul maarif bahwa syi’ah ini bercabang-cabang menjadi lebih dari 73 golongan (sekte) yang terkenal. Bahkan disinyalir sendiri oleh Mir Baqir Al-Damad—tokoh syi’ah—bahwa hadits yang menjelaskan tentang terbaginya umat menjadi 73 golongan adalah syi’ah, dan golongan yang selamat dari golongan-golonga ini adalah Syi’ah “al-Imamiyyah”. Dikatakan pula oleh Al-Maqrizi bahwa golongan mereka berjumlah sampai 300 golongan. Lihat Abdullah bin Muhammad, Min ‘Aqaidi As-Syi’ah, terj. Menyingkap Kesesatan Ajaran Syi’ah, (Jaringan pembelaan terhadap sunnah:___, ____), hlm 9. Selanjutnya ditulis Abdullah bin Muhammad, Min ‘Aqaidi As-Syi’ah
[6] Disebutkan oleh Asy-Syahrastani bahwa Rafidhah terbagi menjadi lima bagian: Al-Kisaaniyyah, Az-Zaidiyyah, Al-Imamiyyah, Al-Ghaliyyah dan Al-Isma’iliyyah. Akan tetapi Al-Baghdadi berkata: Rafidhah setelah masa Ali bin Abi Thalib terbagi menjadi empat golongan, Zaidiyyah, Imamiyyah Kisaniyyah dan Ghulati. Dengan satu catatan bahwa Zaidiyyah tidak termasuk kepada golongan Rafidhah, melainkan Al-Gharudiyyah bagian atau sempalan  dari Zaidiyyah yang masuk kedalam Rafidhah. Lihat ibid, hlm 10.
[7] Ahmad Qusyairi Isma’il, dkk. Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwah?, Hlm 53.
[8] Dalam majalah Harakah Sunniyyah As-Silmi halaman 45 edisi 19 Mei 2007 dinyatakan bahwa penyebutan sekte ini tidak Al-Kaisaniyah melainkan “Al-Kisaniyyah” tapi meskipun demikian penulis kira perbedaan ini tidak kemudian merubah makna dan arti yang dimaksud.
[9] Ahmad Qusyairi Isma’il, dkk.  Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwah? Hlm 54.
[10] Majalah Harakah Sunniyyah As-Silmi, edisi 19, Mei 2007, hlm 45-46.
[11] Ahmad Qusyairi Isma’il, dkk.  Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwah? Hlm 54.
[12] Abdul Latief Muchtar, hlm 334.
[13] Ahmad Qusyairi Isma’il, dkk.  Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwah? Hlm 55.
[14] Abdul Latief Muchtar, hlm 331.
[15] Ahmad Qusyairi Isma’il, dkk.  Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwah? Hlm 58.
[16] Moh. Dawam Anwar,dkk. Mengapa kita menolak Syi’ah? Kumpulan makalah seminar nasional tentang Syi’ah, (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam/CV Karunia: Jakarta, 1998), cet II, hlm 4,5,107. Selanjutnya ditulis Mengapa kita menolak Syi’ah? Kumpulan makalah seminar nasional tentang Syi’ah
[17] Ahmad Qusyairi Isma’il, dkk.  Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwah? Hlm 58-59.
[18]Majalah As-Silmi hlm 35.
[19]Ahmad Qusyairi Isma’il, dkk.  Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwah? Hlm 59.
[20] Majalah As-Silmi hlm 35.
[21] Ibid, hlm 36
[22] Ahmad Qusyairi Isma’il, dkk.  Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwah? Hlm 60.
[23] Ibid, hlm 35
[24] Ibid, hlm 35
[25] Abdul Latief Muchtar, hlm 335.
[26] Abdullah bin Muhammad, Min ‘Aqaid Asy-Syiah, hlm 28-29.
[27] Ahmad Qusyairi Isma’il, dkk.  Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwah? Hlm 61.
[28] Ibid, Hlm 68.
[29]Majalah  As-Silmi hlm 48.
[30]Ahmad Qusyairi Isma’il, dkk.  Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwah? Hlm 68-69
[31] Abdul Latief Muchtar, hlm 335-336.
[32] Abdullah bin Muhammad, Min ‘Aqaid Asy-Syiah, hlm 40-41.
[33] Orang-orang syi’ah menamakan ahlu sunnah dengan sebutan An-Nasib. Sebenarnya istilah An-Nasib dalam pandangan ahlu sunnah sendiri adalah sendiri adalah orang-orang yang membenci Ali bin Abi Thalib RA, akan tetapi pengikut Rafidhah menjuluki pengikut ahlu sunnah dengan An-Nasib dikarenakan mereka mendahulukan keimaman Abu Bakar, Umar dan Utsman atas Ali bin Abi Thali RA. Lihat ibid, 41-42.
[34] Abdullah bin Muhammad, Min ‘Aqaid Asy-Syiah, hlm 40.
[35] Abdullah Almushili, Hatta la Nankhadi Haqiqah Asy-Syi’ah, terj. Abdul Rosyad Shidiq, Mengungkap Hakikat Syi’ah Agar Anda Tidak Terpedaya, (Jakarta: Darl-Falah, 2009), hlm 68-121. Selanjutnya ditulis Abdullah Almushili, Hatta la Nankhadi Haqiqah Asy-Syi’ah
[36] Ihsan Ilahi Dzahir, Asy-Syi’ah Wa Sunnah,terj. Fadhli Bahri, Virus Syi’ah; Sejarah Alienisme Sekte, (Jakarta: Darul-Falah, 2002), hlm 41. Selanjutnya ditulis Ihsan Ilahi Dzahir, Asy-Syi’ah Wa Sunnah
[37] Abu Khalifah Ali bin Muhammad al-Qudhaibi, Rabihtu ash-Shahabah wa lam Akhsar Ala al-Bait, terj. Ganna Prydharizal Anaedi, Akhirnya Kutinggalkan Syi’ah; Testimoni Tokoh Syi’ah, (Jakarta: Pustaka Imam Ahmad, 2010), cet II, hlm 19. Selanjutnya ditulis  Abu Khalifah Ali bin Muhammad al-Qudhaibi, Rabihtu ash-Shahabah wa lam Akhsar Ala al-Bait
[38] Abdullah Almushili, Hatta la Nankhadi Haqiqah Asy-Syi’ah, terj. Abdul Rosyad Shidiq, Mengungkap Hakikat Syi’ah Agar Anda Tidak Terpedaya, (Jakarta: Darl-Falah, 2009), hlm 1. Selanjutnya ditulis Abdullah Almushili, Hatta la Nankhadi Haqiqah Asy-Syi’ah
[39] Ibid, hlm 4
[40] Abdullah bin Muhammad, Min ‘Aqaid Asy-Syiah, terj. Abu Salman,  Menyingkap kesesatan Aqidah Syi’ah, (Jaringan pembelaan terhadap Sunnah: ___, ___), hlm 36. Selanjutnya ditulis Abdullah bin Muhammad, Min ‘Aqaid Asy-Syiah
[41] Muhammad Abdul Sattar Al-Tunsawi, _______, terj. H.M Jaelani Musni, Membongkar kesesatan Syi’ah, (Bandung: Badar, 2008), hlm 98. Selanjutnya ditulis Muhammad Abdul Sattar Al-Tunsawi
[42] Mohammad Baharun, Epistimologi Antagonisme Syiah; dari Imamah sampai Mut’ah, (Malang : Pustaka Bayan, 2008), cet III, hlm 149-150. Selanjutnya ditulis Mohammad Baharun, Epistimologi Antagonisme Syiah; dari Imamah sampai Mut’ah
[43] Ibid, hlm 150.
[44] Majalah As-Silmi , hlm 48.
[45] Ibid, hlm 48.
[46] Abdullah bin Muhammad, Min ‘Aqaid Asy-Syiah, hlm 38
[47] Ibid, hlm 39.
[48] Muhammad Abdul Sattar Al-Tunsawi, hlm 130.
[49] Kota suci kedua di Iran setelah Mashshad, Qum dikenal karena di dalamnya cagar perlindungan Fatimah. Itulah Qum, kota provinsi yang terletak 140 km sebelah utara Teheran, Iran. Qum adalah pusat pergerakan Syi’ah Dunia. Banyak sekali lembaga-lembaga pendidikan di Kota ini. Dan diantara universita-universitas yang ada di Kota ini adalah: Mofid University, Islamic Azad University of Qom, Payam Noor University of Qom, University of Qom. Di lembaga pendidikan ini Syi’ah disebar luaskan. Lihat majalah Islam Dunia Islam, edisi 15, Juli 2007, hlm 36, 41.
[50] Abdullah bin Muhammad, Min ‘Aqaid Asy-Syiah, hlm 51-52.
[51] Ibid, hlm 57-58.
[52] Majalah As-Silmi, hlm 48.
[53] Abdul Karim Al-Husaini Al-Qazwini, Al-Tasyayyu’ Huwa Al-Madzhab Al-Rasmi lil Islam, terj. Ilyas Mulya, Mengikuti Ahlu Bait Nabi Saw; kewajiban dalam Islam menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits, (___:Mitra Zaman, 2009), cet II, hlm 38.
[54] Majalah As-Silmi, hlm 24.
[55] Majalah Dunia Islam, edisi 15, 2007 hlm 10-11.
[56] Ibid, hlm 11.
[57] Ibid, hlm 12.
[58] Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Faham Sesat di Indinesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), hlm 114. Selanjutnya ditulis Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Faham Sesat di Indinesia
[59] Mengapa Kita menolak Syi’ah, hlm 62.
[60] Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Faham Sesat di Indinesia, hlm 115-116.
[61] Ibid, hlm 115.
[62] Mengapa Kita menolak Syi’ah; Kumpulan Makalah Seminar Nasional tentang Syi’ah, hlm 68-69.

[63] Ibnu taimiyyah dalam minhaju as-Sunnah, tetapi penulis kutip dalam makalahnya Ust Deni Shalahuddin dengan judul “Diabolisme Pemikiran Syi’ah” dalam acara seminar sehari kajian Syi’ah, PD Pemuda Persis Kab. Garut pada tangga 20 Februari 2011.

4 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Selama ini saya memuja Quraish Shihab dan saya baru tahu kalau ternyata di mendukung Syi'ah Lanatullah 'Alaiyh

    BalasHapus
  3. keterengan itu saya dapatkan dari bukunya hartono ahmad jaiz..kang helmi. katanya Quraish shihab itu punya upaya ingin mndekatkan (taqrib) sunni ke syi'ah agar bergandengan tangan. padahal itu sesuatu yang mustahil. adapun Quraish shihab terindikasi mendukung syi'ah..saya dapatkan sendiri dari tafsirnya al-Misbah, sering kali Quraish shihab itu mengakomodir pendapat Ulama syi'ah dan kadang-kadang membenarkan..coba di cek saja ditafsir al-Misbah,,wallohu'alam bisowab...

    BalasHapus