Kesesatan Syi’ah
Oleh:
Jajang Hidayatullah
Pendahuluan
Islam
memang ditaqdirkan mempunya rival sampai hari kiamat, Al-Qur’an dan
As-Sunnah yang menjadi pedoman umat Islam mereka rusak dengan berbagai cara,
mereka bungkus gerakannya dengan sesuatu yang memikat. Allah berfirman:
“Orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama
mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang
benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah
pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan
penolong bagimu[1]”.
Memang
kalau kita telisik, seluruh aliran sesat yang ada semuanya pasti bermuara
kepada Aksi ‘tidak ridha’nya orang-orang yahudi dan Nasrani terhadap Islam. Diantaranya
mereka buktikan dengan membuat aliran-aliran sempalan yang tujuannya tiada lain
untuk mengaburkan Islam dari keaslian ajarannya yang paripurna. Diantara aliran
sesat itu adalah Syi’ah.
Sejarah lahirnya
Syi’ah
Para
ahli sejarah menyatakan bahwa munculnya Syi’ah itu ketika Rasulullah Saw wafat
seiring dengan ‘perselisihan’ yang terjadi. Pada waktu itu para sahabat berbeda
pendapat mengenai siapakah yang sebetulnya berhak menduduki posisi khilafah.
Sebab memang tidak ada nash yang tegas secara langsung menunjuk pengganti Nabi
Saw, serta tidak ada wasiat apapun dari Nabi Saw mengenai pengganti beliau,
disamping posisi ini merupakan kedudukan istimewa, yang tentunya sulit
terhindar dari ragam peta pemikiran yang selalu bersebrangan[2].
Setelah
Nabi Muhammad Saw wafat, kedudukannya sebagai kepala negara tentu harus
diganti, sedangkan tugasnya sebagai Rasul tidak dapat diganti, karena wahyu
telah selesai diturunkan, dan beliau penutup para Nabi. Dalam tarikh, kita
mengetahui bahwa pengganti Rasululah sebagai kepala negara adalah Abu Bakar
dengan gelar khalifah, yakni khalifatu Rasulilah (pengganti Rasulullah).
Sepeninggal Abu Bakar, Umar bin Khatab menggantikan beliau sebagai khalifah
kedua. Selanjutnya Utsman bin Affan sebagai khalifah yang ketiga.
Pada
masa pemerintahan Utsman mulai timbul persoalan-persoalan politik yang
dampaknya amat luas dan mendalam, yang bahkan bisa dikatakan suatu tragedy
sejarah Islam. Ahli sejarah menggambarkan bahwa Utsman bin Affan menjabat
khalifah pada usia cukup tua. Karena itu, beliau terkesan lemah tidak mampu
menolak ambisi keluarganya yang kaya dan berpengaruh di masyarakat Arab pada
waktu.
Singkat
kisah, setelah Utsman wafat, Ali bin Abi Thalib sebagai sebagai calon terkuat
menjadi khalifah ke empat. Tetapi khalifah ini nampaknya tidak diterima secara
mulus oleh semua pihak. ia segera mendapat tantangan dari para pemuka yang
berambisi pula menjadi khalifah, terutama Thalhah dan Zubair dari Mekkah yang
mendapat dukungan dari Siti Aisyah RA.
Dalam
peperangan yang disebut perang jamal (karena pada waktu itu siti Aisyah naik
unta), Thalhah dan Zubair mati terbunuh, sedangkan siti Aisyah dikirim kembali
ke Mekah. Sejak peristiwa itu siti Aisyah tidak terlibat lagi dalam
perselisihan intern umat Islam. Mungkin beliau menyadari bahwa keterlibatannya
pada perang jamal tidak lah tepat, terutama selaku mantan istri kesayangan
Rasulullah Saw.
Tantangan
kedua datang dari Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan, Gubernur Damaskus. Anggota
keluarga terdekat Utsman bin Affan ini juga tidak mengakui Ali sebagai khalifah,
karena ia sangat berambisi untuk menjadi khalifah. Bahkan ia menuduh Ali turut
campur dalam pembunuhan Utsman, karena salah seorang dari pemuka pemberontak,
Muhammad, adalah anak angkat Ali. Padahal Ali sendiri pernah menyatakan kepada
Utsman bahwa ia juga tidak membenarkan tindakan para pemberontak itu. Dengan
alasan ‘’menuntut darah Utsman” akhirnya tentara Mu’awiyah menyulut api perang
saudara melawan tentara Ali bin Abi Thalib di Shiffin, Irak; yang dikenal
dengan perang shiffin. Ratusan korban tentara kaum muslimin dari kedua belah
pihak menjadi korban.
Tentara
Ali berhasil mendesak tentara Mu’awiyah. Pintu kemenangan pun sudah ditangan
Ali. Tentara Mu’awiyah bahkan sudah siap-siap untuk lari. Namun tangan kanan
Mu’awiyah ‘Amr bin ‘Ash minta berdamai dengan mengangkatkan Al-Qur’an. Karena
permintaan damai itu, para Imam yang menyertai Ali mendesaknya, selaku panglima
supaya menerima tawaran itu. Ali bin Abi Thalib bersangka baik. Ia menerima
tawaran itu sehingga diadakan tahkim (arbitrase). Sebagai juru bicara,
diangkatlah dua orang, yaitu ‘Amr bin ‘Ash dar pihak Mu’awiyah dan Abu Musa
Al-Asy’ari dari pihak Ali.
Sejarah
mencatat, antara keduanya telah tercpai kesepakatan untuk menjatuhkan Ali dan
Mu’awiyah untuk menjatuhkan Ali dan Abu Mu’awiyah. Abu Musa yang lebih tua,
berbicara lebih dahulu dan mengumumkan pada khalayak suatu putusan menjatuhkan
kedua pemuka yang berlawanan itu. Namun ‘Amr yang berbicara kemudian
mengumumkan hanya menyetujui untuk menjatuhkan Ali, menolak menjatuhkan
Mu’awiyah. Peristiwa ini tentu saja merugikan Ali dan menguntungkan Mu’awiyah.
Mu’awiyah yang tadinya menduduki jabatan Gubernur di Damaskus, kini naik
menjadi khalifah tidak resmi. Tidak mengherankan kalau keputusan ini ditolak
oleh Ali, sehingga ia tidak mau meletakan jabatannya sampai wafat terbunuh pada
tahun 661 M.
Dalam
perkembangan selanjutnya, keputusan Ali menerima tipu daya, melalui tahkim
secara terpaksa, itu tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Akhirnya mereka
keluar dari barisan Ali. Dalam sejarah mereka dikenal dengan sebutan kaum
Khawarij. Mereka mengatur barisan dan menentang Ali, sehingga terjadi lagi
perang saudara. Dalam peperangan itu kaum khawarij kalah. Meskipun demikian,
karena tentara Ali terlalu lelah untuk meneruskan peperangan melawan tentara
mu’awiyah, Mu’awiyah terus berkuasa di Damaskus. Bahkan setelah Ali wafat, pada
tahun 661 M, maka dengan mudah, Mu’awiyah dapat mempekuat kedudukannya sebagai
khalifah.
Dari
sejarah ringkas ini dapatlah disimpulkan bahwa pada waktu itu muncul tiga
golongan politik dalam barisan umat Islam. Pertama adalah golongan Ali yang
kemudian dikenal dengan nama Syi’ah. Kedua, golongan yang keluar dari barisan
Ali yang dinamakan dengan kaum Khawarij. Dan ketiga, golongan Mu’awiyah yang
kemudian membentuk Dinasti Bani Umayah dan memulai sistem kerajaan dalam Islam;
suatu penyimpangan dari sistem khalifah yang pernah diterapkan oleh khulafahur
Rasyidin[3].
Aliran-Aliran Syi’ah
Syi’ah
adalah sekte yang terus berkembang mengikuti alur zaman. Karenanya, Syi’ah
tidak melulu berjalan disatu lintasan dan dengan satu arah yang lurus. Jadi,
adalah hal yang wajar jika kemudian Syi’ah juga mengalami problem perbedaan
pemikiran, yang pada gilirannya memunculkan aneka ragam versi[4].
Sekte
Syi’ah berjumlah sangat banyak[5],
akan tetapi mekipun demikian para ahli pada umumnya membagi sekte Syi’ah dalam
empat golongan besar, yaitu Al-Kaisaniyyah, Zaidiyyah, Imamiyyah, dan kaum
Ghulat[6].
Sebab firqah-firqah Syi’ah yang mencapai jumlah ratusan itu sejatinya bermuara
dari kelompok besar tersebut[7].
- Syi’ah
Kaisaniyah[8]
Kaisaniyah
adalah sekte Syi’ah yan mempecayai keemimpinan Muhammad bin Hanafiyyah setelah
wafatnya Sayyidina Husain bin Ali RA. Nama Kaisaniyah diambil dari diambil dari
nama seorang bekas budak Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA Kaisan, atau dari nama
Mukhtar bin Abi Ubaid yang juga dipanggil dengan nama Kaisan[9]
Mereka
(Syi’ah) menyematkan berbagai kemuliaan kepada Kaisan, bahwa dia telah menerima
berbagai ilmu dari Ali RA dan anaknya Muhammad Al-Hanafiyah. Sebagaian mereka
bahkan ada yang mengingkari hari akhir dan hari kebangkitan, menyakini ar-raj’ah
(kemunculan kembali) setelah kematian, al-hulul (emanasi atau bersatunya
Tuhan dengan hamba) dan tanasukh (reinkarnasi)[10].
Ahmad
Qusyairi Ismail menyatakan bahwa Sekte Kaisaniyah terpecah menjadi dua
kelompok. Pertama, yang mempercayai bahwa Muhammad bin Hanafiyah sebenarnya
tidak mati, tetapi hanya ghaib dan akan kembali lagi kedunia nyata pada akhir
zaman. Mereka menganggap Muhammad bin Hanafiyah adalah Imam Mahdi yang
dijanjikan itu. Yang termasuk golongan Kaisaniyah antara lain adalah sekte
Al-Karabiyah; yaitu pengikut Abi Karb Ad-Dharir. Kedua, kelompok yang
mempercayai bahwa Muhammad bin Hanafiyah telah meninggal, akan tetapi jabatan Imamah
beralih kepada Abi Hasyim bin Muhammad bin hanafiyah. Yang termasuk kedalam kelompok
ini adalah sekte Hasyimiyah pengikut Abi Hasyim. Selanjutnya sekte ini pun
terpecah demikianlah seterusnya[11].
- Syi’ah
Zaidiyyah
Zaidiyyah
adalah pengikut Zaid bin Ali Zain Al-‘Abidin berbeda dengan Syia’ah itsna
asyariyyah dan Syi’ah Ismailiyah, mereka tidak menganut teori Imam bersembunyi.
Dalam pandangan mereka, Imam itu harus langsung memimpin umat. Meskipun
demikian, ada juga persamaan mereka dengan kedua golongan diatas, yakni dalam
keyakinan bahwa Imam harus berasal dari keturunan Ali dan Fatimah[12].
Lebih
jelas dinyatakan Ahmad Qusyairi Isma’il bahwa dalam Syi’ah Zaidiyyah, seorang
baru dapat diangkat sebagai Imam apabila memenuhi lima kriteria, yakni
keturunan Fatimah binti Muhammad Saw, berpengetahuan luas tentang agama, hidup
zuhud, berjihad dijalan Allah dengan mengangkat senjata, dan berani.
Selanjutnya
beliau menyatakan bahwa dalam teologi mereka disebutkan, bahwa mereka tidak
menolak prinsip Imamat al-Mafdhul ma’a wujud al-Afdhal, yaitu bahwa
seorang yang lebih rendah tingkat kemampuannya dibanding orang lain yang
sezaman dengannya dapat menjadi pemimpin, sekalipun orang yang lebih tinggi
dari dia itu masih ada. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib dinilai lebh tinggi
dari pada Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Oleh karena itu sekte Syi’ah yang
paling dekat dengan sunnah.
Kemudian
beliau menambahkan bahwa dalam persoalan Imamah, sekte Zaidiyyah ini
berbeda pendapat dengan sekte itsna asyariyah yang menganggap jabatan Imamah
harus dengan nas. Menurut Zaidiyyah Imamah harus dengan nash,
tapi boleh ikhtiar atau pemilihan[13].
- Syi’ah
Ghulat
Sekte
Syi’ah ini termasuk paling ekstrim. Syi’ah Ghulat (ekstrim) memandang bahwa Ali
bin Abi Thalib dan Imam-Imam penggantinya dengan pengkultusan yang melampaui
batas-batas manusia biasa. Misalnya Al-Nasturiah berpendapat bahwa Ali adalah
Tuhan atau sekurang-kurangnya dekat, menyerupai Tuhan[14].
Kaum
Ghulat dapat dikelompokan kedalam dua golongan, yaitu golongan As-Saba’iyyah
dan golongan Al-Ghurabiyyah. Golongan As-Saba’iyah berasal dari nama Abdullah
bin Saba adalah golongan yang menganggap Ali bin Abi Thalib RA adalah jelmaan
dari Tuhan atau bahkan Tuhan itu sendiri. Menurut mereka sesungguhnya Ali masih
hidup. Sedangkan yang terbunuh ditangan Abdurrahman bin Muljam di Kuffah itu
bukan sayyidina Ali melainkan seseorang yang diserupakan Tuhan dengan beliau.
Menurut mereka, sayyidian Ali telah naik ke langit dan di sanalah tempatnya.
Petir adalah suara beliau dan kilat adalah senyum beliau[15].
Mereka
adalah kelompok yang terang-terangan mencaci serta bara’ah terhadap Abu
Bakar, Umar dan Usman serta para sahabat Rasulullah Saw. Mereka mengaku bahwa
Ali-lah yang menyuruh mereka untuk melakukan hal ini. Ketika dipanggil oleh Ali
mereka mengakui perbuatan mereka.
Abdullah
bin Saba’ adalah seorang pendeta Yahudi dari Yaman yang pura-pura masuk Islam
pada akhir masa khalifah Utsman RA. Dialah orang pertama yang mengisukan bahwa
yang berhak menjadi khalifah setelah Rasulullah Saw adalah Ali. Pada masa Abu
Bakar, Umar dan awal masa khalifah Utsman belum ada isu seperti itu. Abdullah
bin Saba’ pernah berkata, “Engkau-lah Allah”. Maka Ali bermaksud membunuhnya,
namun dilarang oleh Ibnu Abbas. Kemudian Ali cukup membangnya ke Madain (Iran).
Namun kasak-kusuk dan upaya Abdullah bin Saba’ untuk menanamkan ajarannya
dikalangan umat Islam tak pernah berhenti. Demikianlah Abdulah bin Saba’
sebagai biang keladi bagi berlangsungnya peperangan antara Ali dan Mu’awiyyah
juga antara Ali dan Siti Aisyah RA dalam perang jamal[16].
Adapun
golongan Al-Ghurabiyah adalah golongan yang tidak se-ekstrim As-Saba’iyyah
dalam memuja sayyidina Ali bin Abi Thalib RA. Menurut mereka, sayyidina Ali
adalah manusia biasa, tetapi dialah yang seharusnya menjadi utusan Allah, bukan
Nabi Muhammad Saw. Namun, karena Malaikat Jibril salah alamat, sehingga wahyu
yang seharusnya disampaikan kepada Ali RA malah ia sampaikan kepada Nabi
Muhammad Saw. Maka akhirnya Allah Sat mengakui Muhammad Saw sebagai utusanNya[17].
- Syi’ah
Imamiyyah
Mereka
dinamakan Imamiyyah, karena mereka menjadikan Imamah (kepemimpinan)
sebagai tema sentral yang menjadi misi utama aktivitas mereka[18].
Imamiyah adalah golongan yang menganggap bahwa Nabi Muhammad Saw telah menunjuk
sayyidina Ali RA sebagai penggantinya dengan penunjukan yang jelas dan tegas.
Oleh karena itu, mereka tidak mengetahui keabsahan kepemimpinan sayyidina Abu
Bakar, Umar maupun Utsman RA.
Syi’ah
Imamiyah pecah menjadi beberapa golongan. Yang terbesar adalah Itsna Asyariyah
atau Syi’ah dua belas. Sementara golongan kedua terbesar adalah golongan Isma’iliyah.
Dalam sejarah Islam, kedua golongan sekte Imamiyah ini pernah memegang puncak
kepemimpinan polotik Islam. Isma’iliyah berkuasa di Mesir dan Baghdad. Di
Mesir, golongan Isma’iliyah berkuasa melalui Dinasti Fatimiyah. Pada waktu yang
sama golongan Itsna Asyariyah dengan Dinasti Buwaihi menguasai kekuasaan
kekhalifahan Abbasiyah selama kurang lebih satu abad[19].
- Syi’ah
Itsna Asyariyah
Dinamakan
Itsna Asyariyyah karena mereka meyakini keberadaan dua belas Imam, diaman yang
terakhir (kedua belas) telah menghilang dan masuk ke dalam gua di Samara
(sebuah kota di Irak dekat sungai Tigris di daerah utara Baghdad)[20].
Sekte
al-Imamiyyah al-Itsna Asyariyyah inilah yang paling keras bertentangan dengan
Ahlus-Sunah wal jama’ah, dalam pemikiran dan pandangan-pandangan yang spesifik.
Mereka (al-Imamiyyah) bahkan sangat berambisi untuk menyebarkan
madzhab—sesat—mereka keseluruh penjuru dunia Islam[21].
12 (dua belas) Imam
yang dijadikan panutan oleh Syi’ah al-Imamiyyah al-Itsna Ay’ariyyah, yaitu:
1.
Ali bin Abi Thalib RA, digelari
al-Murthada (yang diridhai), khalifah keempat al-khulafahu ar-Rasyidin, menantu
Rasulullah Saw, dibunuh oleh Abdurrahman bin Maljam al-Kharijiy (pengikiut
Khawarij) di mesjid Kuffah pada 17 Ramadhan 40 H.
2.
Al-Hasan bin Ali RA, digelari
al-Mujtaba (yang terpilih), 3-50 H.
3.
Al-Husain bin Ali RA, digelari
as-Syahid (yang mati syahid), 4-61 H.
4.
Ali Zayn al-Abidin bin al-Husain,
digelari as-Sajad (yang hobi bersujud), 38-95 H.
5.
Muhammad al-Baqir bin Ali Zayn
al-Abidin, digelari al-Baqir (yang cendikia), 57-114 H.
6.
Ja’far as-Shadiq bin Muhammad
al-Baqir, digelari as-shadiq (yang jujur), 83-148 H.
7.
Musa al-Kazhim bin Ja’far
as-Shadiq, digelari al-Kazhim (yang menahan diri), 128-183 H.
8.
Ali ar-Ridha bin Musa al-Kazhim,
digelari ar-Ridha (yang ridha), 148-203 H.
9.
Muhammad al-Jawwad bin Ali
ar-Ridha, digelari at-Taqi (yang bertaqwa), 195-220 H.
10.
Ali al-Hadi bin Muhammad
al-Jawwad, digelari an-Naqi (yang suci bersih), 212-254 H.
11.
Al-Hasan al-Asykariy bin Ali
al-Hadi, digelari az-Zaqi (yang suci), 232-260 H.
12.
Muhammd al-Mahdiy bin al-Hasan
al-Asykariy, yang digelari al-Hujjah al-Qa’im al-Munthazhar (Imam yang
dinantikan), 256-muncul (menurut keyakinan mereka)[22].
Syi’ah
al-Imamiyyah al-Itsna Asyariyyah meyakini bahwa Imam yang kedua belas telah
masuk kedalam goa di rumah ayahnya di kota Surra Man Ra’a, dan tidak pernah
kembali lagi. Ketika Imam ini menghilang, mereka berselisih pendapat tentang
usianya. Ada yang menyatakan berusia 4 tahun, dan ada juga yang berpendapat 8
tahun. Namun manyoritas peneliti cenderung berpendapat, bahwa Imam itu sama
sekali tidak pernah ada. Itu adalah hal yang dibuat-buat oleh orang-orang Syi’ah,
kemudian digelari al-Ma’dum (Imam yang tiada) atau al-Mawhum (Imam
yang diduga-duga)[23].
Berikut
adalah anggapan-angggapan mereka terhadap para Imam
-
Al-Ishmah (terpelihara),
setiap Imam ma’shum (terpelihara) dari segala kesalahan, kelalaian dan
dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil.
-
Al-Ilmu al-Ladunny, bahwa setiap
diwarisi ilmu dari Rasulullah Saw, untuk menyempurnakan syari’at Islam karena
memiliki ilmu ladunni.
Tidak
ada perbedaan dengan antara Imam dengan Rasulullah Saw, yang membedakan bahwa
Rasulullah Saw mendapat wahyu. Namun Rasulullah Saw telah menitipkan kepada
mereka rahasia-rahasia syari’at Islam, agar mereka mampu membeerikan penjelasan
kepada umat manusia sesuai dengankebutuhan zamannya[24].
Abdul
Latief menyatakan bahwa Menurut Syi’ah, Imam hampir sama sifat dan kekuasaannya
dengan sifat dan kekuasaan Nabi. Keyakinan ini bertitik tolak dari akidah
mereka bahwa Imam dan Nabi sama-sama tidak berbuat salah (ma’shum) dalam
membuat hukum. Perbedaannya , kalau Nabi menerima wahyu sedangkan Imam tidak[25].
-
Khawariq al-Adat (hal luar
biasa), yaitu peristiwa luar biasa yang terjadi dari diri Imam. Mereka bahkan
menanamkannya sebagai mu’jizat. Apabila tidak ada sesuatu teks tertulis dari Imam
sebelumnya, maka dalam kondisi seperti itu penentuan Imam harus berdasarkan
sesuatu yang luar biasa tersebut
-
Al-Ghaybah (menghilang),
diyakini bahwa suatu zaman tidak pernah kosong
dari hujjah (argumentasi) Allah Swt, baik secara logika maupun syar’i.
Sebagai konsekwensi logisnya, Imam ke-12 telah menghilang disebuah goa (dalam
rumahnya). Diyakini pula, bahwa Imam tersebut memiliki ghayibah sughra
(menghilang sementara waktu) dan ghayibah kubra (menghilang utuk
selamanya).
-
Ar-Raj’ah (muncul
kembali), diyakini al-Hasan al-Asykariy akan muncul (datang) kembali pada akhir
zaman, ketika Allah Swt telah mengizinkannya untuk tampil kedunia.
Selain
itu orang-orang Rafidhah mengaku bahwa para Imam mereka ma’shum (terjaga
dari kesalah dan dosa) serta mereka mengetahui ilmu ghaib.
Dikuti
oleh al-Kulaini dalam bukunya Ushulul Kaafi, Imam Ja’far as-Shadiq berkata,
“kami adalah gudang ilmunya Allah dan kami penterjemah perintah Allah serta
kami kaum yang ma’shum, diwajibkan taat kepada kami, dan dilarang menyelisihi
kami, dan kami menjadi saksi atas pembuatan manusia di bawah dan di atas bumi
”.
Al-Kulaini pun
berpendapat di dalam buku yang sama, bab “para Imam dapat mengetahui apa saja
jika menghendakinya”, dari Ja’far ia berkata, “Imam bisa mengetahui apa saja
jika memang menghendakinya dan mereka mengetahui kapan mereka mati, dan mereka
tidak akan mati melainkan karena keinginan mereka sendiri.”
Al-Khumaini
yang celaka berkata dalam salah satu tulisannya, “bahwa para Imam mereka lebih
utama dari para Nabi dan Rasul, dan mereka memiliki kedudukan atau tingkatan
yang tidak tercapai oleh para malaikat dan para Rasul.”
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Raidhah menyangka bahwasannya urusan agama
diserahkan pada para pendeta, halal adalah yang menurut mereka halal dan haram
adalah yang menurut mereka haram dan konsep keagamaan adalah yang mereka
syar’atkan.”[26]
Menurut
Syi’ah dua belas, jabatan Imamah berakhir pada Imam Mahdi al-Muntadzhar
Muhammad bin Hasan al-Askari. Sesudah itu, tidak ada Imam-Imam lagi sampai hari
kiamat. Imam Muhammad al-Muntadzhar Muhammad bin Hasan al-Askari ini, atau yang
lebih dikenal dengan sebutan Imam al-Mahdi, diyakini belum mati sampai saat
ini. Menurut mereka, Imam Mahdi masih hidup tetapi tidak dapat dijangkau oleh
umum dan nanti pada akhir zaman Imam Mahdi akan muncul kembali. Dengan kata
lain Imam Mahdi al-Muntadzhar ini diyakini sedang ghaib[27].
- Syi’ah
Isma’iliyyah
Sekte
Isma’iliyyah, sekte terbesar kedua dalam golongan Imamiyyah, adalah golongan
yang mengakui bahwa Imam Ja’far ash-Shidiq RA telah menunjuk Isma’il, putra
beliau sebagai Imam penggantinya sesuadah beliau wafat. Akan tetapi, karena
Isma’il bin Ja’far ash-Shidiq telah meninggal terlebih dahulu, maka orang-orang
Syi’ah berpandangan bahwa sebenarnya penunjukan itu dimaksudkan kepada putra
Isma’il, yaitu Muhammad bin Isma’il, Muhammad bin Isma’il lebih dikenal dengan
sebutan Muhammad al-Maktum (yang berarti menyembunyikan diri)[28].
Sekte
yang menjadi pengikut Isma’il bin Jafar ini pernah Berjaya dan berhasil
mendirikan negara merdeka di Yaman dibawah komando al-Hasan bin Hawasyab pada
tahun 268 H, yang banyak menampakan kebersahajaan, ibadah, kedermawanan dan
perbuatan baik lainnya yang “dikemas” sebagai tipu daya “politik” untuk menarik
simpati masyarakat awaw, agar tertunduk dalam aturan negara Majusi yang berbaju
Islam[29].
Golongan
Ism’iliyyah berpendapat, selama seorang Imam belum mempunyai kekuatan yang
cukup untuk mendirikan kekuasaan, maka Imam tersebut perlu menyembunyikan diri;
baru setelah merasa cukup kuat, ia akan keluar dari persembunyiannya. Selama
masa persembunyiannya itu, sang Imam memerintahkan utusan-utusannya untuk
menggalang kekuatan. Oleh karena itu, beberapa Imam setelah Muhammad al-Maktum
selalu menyembunyikan diri sampai masa Abdullah al-Mahdi yang kemudian berhasil
mendirikan dan menjadi khalifah pertama Dinasti Fatimiyyah di Mesir.
Sebagian
dari sekte ini, percaya bahwa sebenarnya Isma’il bin Ja’far tidak meninggal
dunia, melainkan akan ghaib dan akan kembali ke dunia nyata pada akhir zaman.
Mereka disebut as-Sab’iyyah atau golongan yang mempercayai tujuh Imam. Untuk
sekte ini, Imam terakhir adalah Isma’il bin Ja’far.
Golongan
Isma’iliyah sampai saat ini masih ada, namun jumlah mereka jumlah sedikit
sekali. Pengikut sekte ini yang terbanyak terdapat di India. Salah seorang Imam
Isma’iliyah di wilayah tersebut dikenal dengan nama Aga Khan[30].
Pemikiran Dan
Doktrin Sesat Syi’ah
- Syi’ah
Dan Al- Imamah
Al-Imamah
(kepemimpinan), kepemimpinan harus dengan nash (tekstual). Imam
terdahulu harus menentukan penggantinya secara tekstual dan langsung ditunjuk
orangnya, bukan dengan bahasa isyarat. Bagi mereka, Imamah merupakan sesuatu
yang sangat penting, yang tidak boleh terpisahkan antara Rasulullah Saw dengan
umat. Dan masing-masing orang tidak boleh dibiarkan menyampaikan pendapatnya
sendiri-sendiri tentang iamamah. Sebaliknya harus ditentukan seseorang yang
menjadi tempat bertanya dan rujukan.
Mereka
berdalil, bahwa dalam Imamah, Rasulullah Saw telah menunjuk Ali bin Abi Thalib
RA menjadi Imam sepeninggalnya secara tekstual pada hari Ghadir Khum, yang
menurut ahli hadits dan ahli sejarah hanya sebuah peristiwa fiktif rekaan dan
bualan Syi’ah belaka.
Diyakini
pula bahwa Ali RA juga telah menentukan kedua putranya al-Hasan dan al-Husain
secara tekstual, begitu seterusnya, bahwa setiap Imam berikutnya dengan
wasiatnya yang disebut sebagai awashiya (para penerima wasiat)[31].
- Pandangan
Syi’ah terhadap ahlu sunnah
Perbedaan
antara syiah dan Ahlu sunnah bukan hanya masalah furu’iyyah
(cabang-cabang agama) saja, tetapi lebih jauh Syi’ah telah menganggap Ahlu
Sunnah adalah musuh terbesar bagi madzhab mereka. Berikut adalah tuduhan keji
dan kotor mereka (Syi’ah) terhadap Ahlu Sunnah:
- Syi’ah
Meyakini Bahwa Ahlu Sunnah Adalah Kafir
Dikatakan
dalam kitab wasail Syi’ah, bahwa Al-Fudlail bin Yasar berkata kepada Abu
Ja’far tentang wanita Rafidhah, ‘apakah boleh saya kawinkan dengan laki-laki
Ahlu Sunnah?’ ia menjawab, ‘tidak, karena laki-laki Ahlu Sunnah adalah kafir.
Tidak
cukup di situ saja, bahkan mereka berpendapat bahwa kekufuran orang-orang Ahlu
Sunnah lebih besar dari pada kekufuran orang-orang Yahudi dan Nasrani,
dikarenakan mereka memang kafir asli, lain halnya dengan Ahlu Sunnah, maka
mereka adalah murtad (keluar dari Islam) dan kekufuran dari kemurtadan lebih
besar dari pada kekufuran asli sesuai ijma’[32].
- Syi’ah
Meyakini Bahwa Ahlu Sunnah Adalah Najis, Darah Dan Hartanya Halal
Aqidah
Rafidhah berpijak pada penghalalan harta dan jiwa Ahlu Sunnah. Ash-Sahduq
meriwayatkan suatu riwayat yang disandarkan kepada Daud bin Farqad dalam
bukunya Al-‘ilal bahwa ia (Daud) berkata: “saya bertanya kepada Abu Abdullah,
apa pendapat anda tentang an-Nasib[33]?
Ia menjawab halal darahnya, tapi saya khawatirkan keselamatan anda, maka jika
anda mampu menggulingkan tembok sehingga merobohi orang ahlu sunnah, atau
menenggelamkannya di lautan, sehingga tak ada yang menyaksikan atas perbuatanmu
maka lakukanlah”, kemudian saya bertanya lagi, ”bagaimana pendapat anda tentang
hartanya? Ia menjawab, “ambilah jika anda bisa”[34].
Selain
anggapan diatas, Syi’ah melarang bekerja dengan ahlu sunnah kecuali dengan
taqiyyah, Syi’ah mengutuk kaum ahlu Sunnah di depan jenazah mereka, mereka juga
akan Shalat taqiyyah untuk menipu kaum ahlu sunnah, Tidak boleh memberikan
zakat kepada orang-orang ahlu sunnah, Boleh mempergunjing orang-orang ahlu
sunnah, Menurut Syi’ah, agama yang benar ialah yang bertentangan dengan ahlu
sunnah, Boleh mengucapkan sumpah palsu demi taqiyyah untuk menipu ahlu sunnah[35],
dan masih banyak perbuatan keji mereka terhadap ahlu sunnah.
- Pandangan
Syi’ah Terhadap Sahabat Rasulullah Saw
An-Nukhbati
menyebutkan, Abdullah bin Saba’ adalah orang yang pertama kali mencaci maki
dengan terbuka Abu Bakar, Umar bin Khatab dan Utsman bin Affan—menantu
Rasulullah Saw dan kerbat beliau—sejak itu hingga hari ini, orang-orang Syi’ah
berpegang teguh kepada akidah tersebut. Seseorang tidak dikatakan Syi’ah, jika
ia tidak benci ketiga Khalifah Rasulullah Saw tersebut, para pembela beliau,
dan orang-orang yang mencintai beliau[36].
Dalam
literarur atau karya-karya Syi’ah terungkap jelas; bagaimana penghinaan mereka
terhadap sahabat Rasulullah Saw. Na’udzubillah Min Dzalik—Seperti
penulis kutip dari Abu Khalifah dalam karyanya Rabihtu ash-Shahabah wa lam
Akhsar Ala al-Bait—seperti dikatakan Umdah Muhaqqiqin—Muhammad
at-Tausirkani dalam kitabnya Ali al-Akhbar menyatakan, “ketahuilah bahwa
tempat, waktu dan keadaan yang paling mulia dan paling pantas untuk mencela
mereka (para sahabat Nabi) adalah ketika engkau sedang berada dalam WC.
Katakanlah setiap kali engkau mengeluarkan kotoran dan membebaskannya, serta
bersuci berulang-ulang setiap kali selesai membuang hajat: ya Allah laknatlah
Umar bin al-Khatab, lalau Abu Bakar dan Umar, lalu Utsman dan Umar, lalu
Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan Umar. Ya Allah laknatlah Aisyah, Hafshah, Hindun
dan Ummul Hakam. Dan laknatlah siapa saja yang ridha dengan perbuatan mereka
hingga hari kiamat kelak”[37].
Secara
akal sehat pun, sebenarnya; mana mungkin ada Agama yang mengajarkan penganutnya
untuk menghina dan mencaci maki. Maka dengan ini semakin jelas lah bagaimana
kesesatan mereka, yaitu kaum Syi’ah.
- Taqiyyah
Taqiyah
pada orang-orang Syi’ah adalah bersikap menampakan kebalikan fakta yang
sebenarnya. Taqiyah memperbolehkan seorang Syi’ah menipu orang lain.
Berdasarkan taqiyah ini, seorang Syi’ah mengingkari lahiriah sesuatu yang ia
yakini dalam batin. Sebaliknya taqiyah juga memperbolehkan orang Syi’ah
mempercayai apa yang ia ingkari dalam batin. Itulah sebabnya kita akan melihat orang Syi’ah sering mengingkari
keyakinan-keyakinan mereka sendiri di depan kaum Ahli Sunnah[38].
Berikut
adalah diantara ungkapan-ungkapan “Ulama” Syi’ah mengenai taqiyah dan
keutamaannya menurut mereka:
-
Diriwayatkan oleh Al-Kaulani
dalam Al-Kafi dari Ash-Shadiq, ia berkata, “aku pernah ayahku mengatakan:
Tidak. Demi Allah tidak ada yang paling aku sukai di muka bumi ini selain
taqiyah. Wahai habib (putraku tersayang), sesungguhnya orang yang mengamalkan
taqiyah niscaya Allah akan mengangkat derajatnya. Wahai putraku tersayang,
sesungguhnya manusia itu dalam menahan diri. Jika ia sudah muncul maka hal itu
akan terjadi”[39].
-
Dinukil oleh Al-Kulaini dari Abu
Abdillah, “jagalah agama kalian, tutupilah dengan taqiyah, tidak dianggap
beriman seseorang sebelum ia bertaqiyah.” Syi’ah mengatakan bahwa taqiyah adalah
merrupaka kewajiban, madzhab Syi’ah tidak akan tegak tanpa dengannya dan mereka
menyampaikan dasar-dasar taqiyah dengan terang-terangan dan sembunyi-sembunyi
serta bermuamalah dengan taqiyah ini khususnya ketika mereka dalam kondisi yang
membahayakan. Oleh sebab itu, waspadalah wahai umat Islam dari bahaya Syi’ah
ini[40].
- Mut’ah
Mut’ah
adalah nikah kontrak dalam waktu tertentu. Berikut adalah diantara
kebohongan-kebohongan kaum Syi’ah dalam masalah mut’ah. Al-Kasyani menyebutkan
dalam bukunya minhaju as-shadiqin, bahwa Rasullah Saw pernah bersabda:
“siapa yang telah melakukan mut’ah satu kali, maka derajatnya sama dengan Hasan
RA, siapa yang melakukan mut’ah tiga kali, maka derajatnya sama dengan Ali RA,
siapa yang melakukan mut’ah empat kali, maka derajatnya sama dengan derajatku”.
Selain itu Rasulullah pun Al-Kasyani pernah bersabda: “siapa yang meninggal
dunia dan belum pernah melakukan mut’ah, maka dia akan dibangkitkan pada hari
kiamat dalam keadaan bunting.[41]”
Dan masih banyak lagi yang lainnya, yang diantaranya disandarkan kepada riwayat
para sahabat, naudzubillah. Padahal itu hanyalah kebohongan mereka.
Selain
itu dalam keyakinan Syi’ah mereka melakukan mut’ah mendapat pahala-pahal
berlipat (seperti ditulis dalam al-Kafi dan al-Istibshar, yang keduanya kitab
standar hadits versi mereka). Sampai ada yang menyebutkan bahwa derajat mereka
bermut’ah sama dengan derajat para Imam. Argumentasi ini patah dengan
sendirinya bila berhadapan dengan kenyataan sejarah, bahwa sayyidina Ali, Imam
agung yang diyakini kemaksumannya itu—jangankan pernah melakukann mut’ah,
poligami pun tidak pernah dilaksanakannya. Juga Hasan dan Husain keduanya
memilih poligami dan bukan perkawinan mut’ah[42].
Bagi
Syi’ah dua belas Imam yang berkembang di Iran sekarang, agaknya mut’ah perlu dipertahankan
untuk memberi kemudahan dan ‘’service’’ yang spektakuler dan daya tarik
ampuh bagi para kader dan pengikut, terutama kalangan remaja agar semangat
dalam gerakan revivalisme Syi’ah. Dikaranglah khusus masalah mut’ah yang
dikemas begitu menarik disertai argumen-argumen filosofis[43].
Bagi
mayoritas muslimin di dunia, mut’ah secara pasti diyakini sudah dilarang oleh
Nabi, bahkan sampai hari kiamat nanti. Itu sama artinya bahwa apa yang
dilakukan kaum Syi’ah bukanlah pernikahan, melainkan seks bebas. Tentunya itu
dosa besar dan hukumannya pun berat.
- Mushaf
Fatimah
Diyakini
ada mushaf Al-Qur’an lain versi mereka, yang dinamakan Mushaf Fatimah. Dalam
kitab al-Kafi, Al-Kulaini meriwayatkan dari Abu Bakar Bashir Ja’far Ash-Shidiq,
bahwa ia berkata: “sesungguhnya kami memiliki mushaf Fatimah” saya berkata, apa
mushaf fatimah itu?, maka ia menjawab, “yaitu sebuah mushaf yang isinya tiga
kali lipat seperti Al-Qur’an kalian. Demi Allah tidak ada satu huruf pun isinya
dari mushaf kalian.”[44]
- Al-Bara’ah
Al-Bara’ah
(berlepas diri), maksudnya mereka berlepas diri (membangkang) dari tiga orang
khalifah Rasulullah Saw; Abu Bakar, Umar dan Utsman, bahkan menggelari mereka
dengan sifat-sifat tercela. Menurut mereka ketiga orang khalifah tersebut telah
merampas hak khalifah dari orang yang paling berhak untuk menerimanya. Mereka
juga hobi melaknat Abu Bakar RA dan Umar dalam mengawali segala amal perbuatan
baik, sebagai ganti membaca basmalah. Mereka tidak segan-segan untuk melaknat
sebagian para sahabat Rasulullah Saw dan juga Aisyah RA[45].
- Ath-Thinnah
Ath-Thinah
adalah tanah kuburan Al-Husain. Diriwayatkan ada seorang yang bertanya kepada
Ash-Shadiq tentang faedah penggunaan tanah kuburan Al-Husain, maka Ash-Shadiq
menjelaskan padanya, “jika makan tanah kuburan ini bacalah bacaan ini : ya
Allah saya memohon kepadaMu dengan perantaran Malaikat yang telah
menggenggamnya dan memohon kepadaMu dengan perantaraan Nab yang telah
menyimpannya, dan dengan perantaraan Wahi (Ali RA) yang telag bersemayam di
dalamnya, agar engkau beerikan shalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarganya
dan agar engkau jadikan tanah ini obat untuk segala macam penyakit, dan
keselamatan dari segala ketakutan dan penjagaan dari segala keburukan. ”[46]
Orang-orang
Syi’ah mengaku bahwa mereka diciptakan dari tanah khusus dan orang Sunni
diciptakan dari tanah yang lain, kemudan kedua tanah tersebut dicampur denga
cara tertentu, sehingga ketika ada dalam diri orang Syi’ah kemaksiatan dan
tindakan kriminalitas dikarenakan terpengaruh dengan tanah asal diciptakannya orang
Sunni. Dan apa bila terdapat dalam diri orang Sunni dicap baik dan amanah, maka
itu karena pengaruh tanah bahan ciptaan orang Syi’ah[47].
Dalam
riwayat diatas jelas betapa seseorang mukmin ataupun kafir tergantung kepada
thinah asal kejadiannya. Ini adalah tidak benar, bertentangan dengan firman
Allah Swt.
“setiap jiwa
(diri) bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”. (QS.
Al-Mudatsir: 38). Dan banyak lagi di ayat yang lainnya[48].
- Kota
Najf Dan Karbala
Orang-orang
Syi’ah beranggapan bahwa lokasi para kuburan para Imam-Imam mereka, baik itu
yang hanya diakui belaka atau yang sebenarnya sebagai tanah haram yang suci;
Kuffah, Karbala, dan Qum[49]
adalah tanah haram.
Tanah
Karbala bagi orang Syi’ah lebih utama dari pada Ka’bah, disebutkan dalam Al-Bihar
dari Abdullah, ia berkata, “sesungguhnya Allah menurunkan wahyunya kepada
Ka’bah dengan mengatakan: “jika bukan karena tanah Karbala aku tidak
mengutamakanmu, dan jika bukan karena Imam yang bersemayam ditanah Karbala, Aku
tidak menciptakanmu, dan aku tidak akan menciptakan mesjid yang engkau
banggakan diamlah kamu jangan berrtingkah, jadilah kamu tmpukan dosa, hina
dina, yang dihinakan dan jangan sombong kepada tanah Karbala, jika tidak Aku
akan hempaskan kau ke neraka jahanam”[50].
- Hari
Asyura Dan Hari Raya Ghadir Khum
Pada
sepuluh hari pertama dari bulan Muharam setiap tahun orang-orang Syi’ah
mengadakan upacara kesedihan dan ratapan (berkabung), saat itu mereka
mengadakan demontrasi di jalan-jalan dan lapangan-lapangan umum, dengan memakai
pakaian-pakaian serba hitam, sebagai lambang kesedian mereka, ini mereka
lakukan untuk mengenang guru-gurunya Al-Husain RA, dengan berkeyakinan bahwa
ini merupakan sarana pendekatan kepada Allah yang paling agung.
Dalam
acara ini mereka memukul-mukul pipi mereka dengan tangan mereka, memukul dada
dan punggung, menyobek-nyobek saku, menangis berteriak histeris dengan menyebut
“ya Husain-ya Husain”. Bahkan lebih mengerikan mereka memukuli diri sendiri
dengan cemeti dan pedang[51].
Hari
raya Ghadir Khum yaitu hari raya mereka yang jatuh pada tanggal 18 Dzulhijjah.
Menurut mereka hari ini lebih mulia dari pada Idhul Fitri dan Idhul Adha. Hari
raya ini disebut hari raya Agung (Akbar). Berpuasa pada hari ini hukumnya sunah
muakkad. Pada hari itu menurut pengakuan mereka, bahwa Rasulullah telah memberi
wasiat tentang Khalifah kepada Ali RA untuk menggantikan beliau[52].
- Ahlul
Bait
Syi’ah
mewajibkan pengikutnya untuk untuk mencintai ahlu bait; sedang ahlu bait yang
dimaksud adalah Ali RA Fatimah RA dan kedua putranya[53].
Padahal menurut Ablu Sunnah dalam mendefinisikan Ahlu Bait ada dua pendapat, pertama
mereka adalah keluarga beliau Saw yang diharamkan menerima shadaqah, yaitu Bani
Hasyim dan Bani Abdul Muthalib, atau Bani Hasyim secara khusus. Atau secara
umum adalah Bani Hasyim dan asal-usul keturunannya keatas. Ini kebanyakan
pendapat para Ulama. Yang pasti sebagian Ahlu Bait lebih utama dari sebagian
yang lainnya. Maka Ali, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husain lebih utama dari
selainnya. Yang kedua, mereka adalah keturunan dan istri-istri beliau
Saw secara khusus[54].
Kecintaan
dan keloyalan Ahlu Sunnah kepada Ahlu Bait tidak dilandasi sikap ifrath (berlebih-lebihan)
terhadap hak mereka, yaitu kecintaan dan loyalitas terhadap mereka yang “harus”
disertai kebencian bahkan pengkafiran terhadap sahabat mulia seperti Abu Bakar,
Umar, Utsman RA dan juga sahabat yang lainnya. Sebagaiman yang diyakini Syi’ah.
Syi’ah Di
Indonesia
Masuknya
Syi’ah dan perkembangannya di Indonesia sudah disinyalir sejak lama bahkan
sudah ada pada masa kerajaan Islam. Azumardi Azra berargumen bahwa Syi’ah
pernah menjadi kekuatan politik yang tangguh di Nusantara. Ia mengatakan bahwa
kekuatan politi Sunni dan Syi’ah terlibat dalam pergumulan dan pertarungan
untuk memperebutkan kekuasaan di Nusantara sejak awal-awal masa penyebaran
Islam di kawasan ini. Menurut Azumardi lanjutnya, kerajaan Islam yang pertama
berdiri di Nusantara adalah kerajaan Peureulak (Perlak) yang konon, didirikan
pada 225 H/845 M. Pendirikerajaan ini adalah para pelaut-pedagang muslim asal
Persia, Arab dan Gujarat yang mula-mula datang untuk meng-Islamkan penduduk
setempat. Namun belakangan mereka mengangkat seorang Sayyid Mawlana Abdul Aziz
Syah, keturunan Arab Quraisy, yang menganut paham politik Syi’ah, sebagai
Sultan Perlak II[55].
Agus
Suyoto, setaf lembaga Penerangan dan Laboratorium Islam (LPII) menyebutkan,
melalui penelitiannya menyimpilkan bahwa Syaikh Abdul Rauf Al-Sinkli, salah
seorang ‘Ulama’ besar Nusantara asal Aceh pada abad ke-17, adalah pengikut dan
pengubah sastra Syi’ah, bahkan hanya seorang saja yang dari Walisongo di Jawa
yang tidak Syi’ah. Juga Nahdlatul Ulama (NU)—setidaknya secara kultural—juga
adalah Syi’ah. Pengaruh Syi’ah yang cukup kuat di dalamnya, secara jelas diakui
oleh Dr. Said Aqil Siraj wakil Katib Syuriah PBNU. Atau dalam kata-katanya:
“harus diakui pengaruh Syi’ah di NU sangat besar dan mendalam. Kebiasaan
membaca barzanji atau diba’i yang menjadi ciri khas masyarakar NU misalnya
secara jelas berasal dari tradisi Syi’ah”.
Kemudian
perkembangan ajaran Syi’ah hampir-hampir tidak terlalu berkembang pesat. Hingga
kebangkitan Syi’ah yang kedua di mulai setelah revolusi Syi’ah di Iran.
Kejadian ini membawa pengaruh luar biasa diseluruh belahan negri Islam. Dengan
bahasa politiknya Khamaini memikat kaum Muslimin diseluruh dunia dengan taqrib
(pendekatan) antara Ahlu Sunnah dan Syi’ah, walau pun hal itu hanyalah omong
kosong[56].
Singkatnya,
dikarenakan tahun 80-an perkembangan Syi’ah belum berarti apa-apa. Kemudian
mulailah Syi’ah merambah kalangan muda dan intelektual. Diantara upaya yang
dilakukan saat itu adalah menyekolahkan putra-putra terbaik Indonesia ke Qum
Iran untuk dikader menjadi da’i-da’i masa depan, dan mengadakan diskusi
mengenai persamaan antara Sunni-Syi’ah bagi kalangan intelektual[57].
Menurut
analisa Hartono Ahmad Jaiz, menyatakan bahwa Gerakan Syi’ah di Indonesia luar
biasa Aktifnya. Mereka sangant pintar menempatkan orang-orangnya di posisi
penting serta sangat lihai melobi para pejabat pemerintah. Kelompok Syi’ah
Indonesia dengan dukungan yang terang-terangan dari kedutaan Besar Iran di
Jakarta.
Selanjut
beliau menegaskan, bahwa posisi yang merek atur yaitu:
- Dr.
Jalaluddin Rahmat untuk menggarap keluarga mantan wakil Prsiden Soedarmono
serta kelompok elit Kebayoran Baru dengan menggunakan yayasan (pengajian
Sehati)
- Ir.
Haidar Bagir (Pemimpin di Harian Umum Republika) menggarap orang-orang
dekat Habibie (ketua Umum ICMI—ikatan cendekiawan Muslim se-Indonesia—yang
kemudian jadi Wapres dan sempat jadi Persiden sementara melanjutkan
Soeharto) dan kelompok intelektual lainnya.
- Prof.
Dr. Quraish Shihab yang menggarap tokoh Agama termasuk Mejlis Ulama
Indonesia yaitu untuk mementahkan keputusan-keputusan Mejlis Ulama
Indonesia, kalau ada keputusan MUI yang mau keras terhadap aliran-aliran
sempalan. Dan dengan pendekatannya yang intensif dengan keluarga cendana
akhirnya ia terpilih menjadi Mentri Agama pada Kabinet Pembangunan VII,
sehingga LPPI mengeluarkan brosur kecil yang berjudul “Syi’ah dan Quraish
Shihab”. Seandainya ia terpilih lagi menjadi Mentri Agama oleh Presiden
Habibie, maka LPPI akan menerbitkan buku yang lengkap tentang Quraish
Shihab mengenai keterlibatannya dengan Syi’ah terutama mengenai buku-buku
tulisannya[58].
- Lembaga-Lembaga
Syi’ah
Sejumlah
lembaga; baik pesantren maupun yayasan, didirikan dibebarapa kota di Indonesia.
Menurut pengakuan Ahmad Baraqbah salah seorang alumni Qum, Iran mengatakan :
“di Indonesia sekarang ini terdapat kurang lebih 40 yayasan Syi’ah yang
tersebar di sejumlah Kota besar, seperti Malang, Jember, Pontianak, Jakarta,
Bangil, Banjarmasin dan sebagainya. Secara informal yayasan itu biasa
mengadakan pertemuan dan melakukan pembagian tugas, terutama dalam soal target
sasaran. Misalnya yayasan Al-Muntazhar untuk kalangan umum dan pesantren
Al-Hadi lebih berorientasi kepada kelompok umur pendidikan dasar yang
diharapkan dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi di Iran”[59].
Gerakan-gerakan
Syi’ah yang mempunyai yayasan-yayasan yang bergerak dibidang pendidikan dan
pesantren diantaranya:
- Yayasan
Muthahari Bandung—SMA Muthahari
Pimpinan : Dr. Jalaluddin Rachmat
Alamat : jln. Kampus Kiara
Condong Bandung, Jawa Barat.
- Yayasan
Al-Muntazar Jakarta
Pimpinan : Ust Abdillah
Alamat : Blok E/VII No. 43Taman Kota, Kel.
Kembangan Kec. Kembangan Jakarta Barat.
- Yayasan
Mulla Sadra Bogor, sekarang bernama : IPANI (Ikatan Pemuda Ahlul Bait)
Alamat : Villa Merdeka, Jln Pesantren
Kav. 14 Cimanggu, Bogor, Jawa Barat. PO Box 509, Telp. 0251375550
- Yayasan
Pesantren Yapi Bangil, Jawa Timur.
Pimpinan :
Ust Zahir Yahya dan Ust Alwi bin Syech Abu Bakr (BSA)
Pesantren putri : Jln. Kincir Mas Bangil
Pesantren Putri : Jln. Karsikan Gg III, Bangil
Pesantren Putra : Kenep, Bangil.
- Yayasan
Al-Jawad Bandung, Jawa Barat.
Pimpinan : Ust Husain Al-Kaff
Alamat : PO Box 1536 Bandung
40122 Telp. 022216679
- Yayasan
Muhibbin Probolinggo
Pimpinan : Ust Khozin
Alamat : Jln. KH. Hasan No. 8
Probolinggo
- Yayasan
Al-Hadi Pekalongan, Jawa Tengah
Pimpinan : Ust Ahmad Baragbah
Alamat : Jln HA. Salim Gg. VI/2
Pekalongan PO Box 88 Pekalongan
- Yayasan
Yapisma Malang Jawa Timur
Pimpinan : Kolonel Yusuf Khoiron
Alamat : Jln. Bimbing Singosari
Malang.
- Yayasan
Madinatul ‘Ilmi (Depok Bogor), Jawa Barat.
Pimpinan : Ust. Hasan Al-Idrus (panggilan: Hasan
Dalil)
Alamat : Jln. Margonda Raya No. 224 Depok
16417 Telp. 7760806
- Yayasan
Darul Habib Jakarta
Pimpinan : dr. Hasan Arifin Al-Haddad
Alamat : Jln. Cempaka Putih 9 A/7 Cempaka
Putih, Jakarta Pusat.
- Yayasan
Yasin, Surabaya
Alamat : Jln. Ngamplungan 5 No. 10-11
Surabaya.
- Yayasan
Babul ‘Ilmi, Jakarta
Pimpinan : Ust. Drs. Husain Shahab, MA
Alamat : Jln. Nangka VI
No. 17 Jatibening II Bekasi 17412 Telp. 0218418950
- Yayasan
Al-Huda
Alamat : Jln.
Tebet Barat II No. 8 Jakarta, Telp 0219194142
Keggiatan:
menerbitkan buku-buku Syi’ah, pameran buku Syi’ah, Khaul Khameini dan acara-acara
Syi’ah. Yayasan ini juga menerbitkan Buletin Bulanan “Babul Ilmi” yang
disebarkan pada masyarakat[60].
- Penerbitan
Buku
Penerbitan
buku-buku Syi’ah yang ada di Indonesia diantaranya,
-
Penerbit Mizan Bandung
-
Penerbit Pustaka Hidayah Bandung
-
Penerbit Lentera Hati Jakarta
-
Penerbit Al-Huda[61].
- Majalah/Bulletin
Syi’ah di Indonesia
Majalah-majalah
dan Bulletin Syi’ah yang beredar di Indonesia diantaranya:
-
Majalah Yaum Al-Quds. Diterbitkan
oleh seksi Pers dan Penerangan Kedutaan Iran di Jakarta. Dibagikan Cuma-Cuma.
-
Majalah Al-Mawaddah. Diterbitkan
di Bandung oleh Forum Komunikasi Ahlul Bait Indonesia (FKABI).
-
Majalah Al-Hikmah. Diterbitkan
oleh yayasan Muthahhari Bandung. Banyak menterjemahkan pikiran-pikiran Syi’ah.
-
Majalah Al-Mushthafa, Jakarta.
Majalaj ini juga mengadakan wawancara dengan tokoh-tokoh Ahlus-Sunnah yang
condong ke Syi’ah dan memberi angin segar untuk perjuangannya.
-
Bulletin Al-Jawad. Diterbitkan
rutin setiap bulan oleh Yayasan Al-Jawad, berisi doktrin aliran Syi’ah.
-
Bulletin Al-Ghadir, juga
diterbitkan oleh yayasan Al-Jawad.
-
Bulletin Al-Tanwir, diterbitkan
oleh Yayasan Mthahari.
-
Bulletin Ibnu Sabil, diterbitkan
setiap bulan di Pekalongan[62].
Kesimpulan
Dapat
ditarik kesimpulan bahwa Syi’ah adalah ajaran sesat dan menyesatkan;
kesesatannya dapat di ukur dengan; jangankan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah,
dengan akal sehat pun kita akan dengan sangat mudah menyatakan bahwa mereka
sesat. Terlebih kalau kita bandingkan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Landasan
berfikir Syi’ah ini, dibangun atas sifat dan karakter mereka sebagaimana
disimpulkan oleh Ibnu Taimiyyah sebagai berikut:
1.
Bodoh dan kurang akal. Semisal
riwayat mereka tentang penghinaan mereka terhadap Abu Bakar? Mencela Fatimah?
Atau kedua-duanya?. Kasus lainnya bahwa Abu
Bakar, Umar, Utsman dan para sahabat lainnya mengkhianati Ali dalam kekhilafan.
Kalaulah mereka mau berfikir sejenak, kalaulah Ali RA merasa dikhianati mengapa
Ali mau berbae’at kepada semuanya? Bahkan Ali menikahkan putrinya, Ummu Kultsum
dengan Umar, sementara anak-anak Ali dinamai Abu Bakar, Umar dan sebagainya.
Apakah Ali RA sedang taqiyah? Bukankah Ali RA orang pemberani menurut anggapan
mereka?
2.
Nifak, Syi’ah menjadikan nifak
ini pokok agamanya dan menamainya taqiyah. Mereka menyampaikan bahwa hal itu
dari Ahlu Bait (mudah-mudahkan Allah melepaskan Ahlu Bait darinya). Mereka
meriwayatkan dari Ja’far Shadiq sesungguhnya ia berkata: “Taqiyah adalah
agamaku dan agama bapaku”.
3.
Dusta, untuk mengetahui kedustaan
mereka adalah bias dengan akal, dengan Ilmu Al-Qur’an, dengan Sunnah dan dengan
Ijma Ulama. Seperti aqidah raj’ah, bada’ dan lain-lain.
4.
Mengada-ada. Contohnya
memuji-muji Ali dan mengutamaknnya atas Khalifah sebelumnya dan mereka
membuat-buat kebatilan terhadap Khulafahu ar-Rasyidin atas dasar kebencian.
5.
Ta’ashub, kefanatikan
mereka bukan terhadap agama tetapi tehadap nasab sebagaimana fanatiknya
orang-orang Jahiliyyah.
6.
Tanaqud dalam beristidlal,
sebagai contoh mereka mencela sahabat tapi dalam waktu bersamaan mereka
mengambil hadits-haditsnya demi membela hujjahnya[63].
Akhirulkalam, mudah-mudahan
kita (Islam) selalu terjaga juga senantiasa diberi kekuatan ma’rifatl batil dari
musuh-musuh Allah yang hendak mengolok-ngolok dan merusak Agama Islam. Amien...
__________________________________
Daftar Pustaka
Ahmad Qusyairi
Isma’il, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwah?; jawaban atas buku Dr
Quraish Shihab ’Sunnah-Syi’ah bergandengan tangan! Mungkinkah? (Pustaka
Sidogiri: Pasuruan, 2008).
Abdul Latief
Muchtar, Gerakan kembali ke Islam;Warisan terakhir A. Latief Muchtar, (Remaja
Rosadakarya: Bandung, 1998).
Abdullah bin
Muhammad, Min ‘Aqaidi As-Syi’ah, terj. Menyingkap Kesesatan Ajaran Syi’ah,
(Jaringan pembelaan terhadap sunnah:___, ____).
Dalam majalah
Harakah Sunniyyah As-Silmi halaman 45 edisi 19 Mei 2007
Majalah Harakah
Sunniyyah As-Silmi, edisi 19, Mei 2007.
Moh. Dawam
Anwar,dkk. Mengapa kita menolak Syi’ah? Kumpulan makalah seminar nasional
tentang Syi’ah, (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam/CV Karunia:
Jakarta, 1998).
Abdullah
Almushili, Hatta la Nankhadi Haqiqah Asy-Syi’ah, terj. Abdul Rosyad
Shidiq, Mengungkap Hakikat Syi’ah Agar Anda Tidak Terpedaya, (Jakarta:
Darl-Falah, 2009).
Ihsan Ilahi
Dzahir, Asy-Syi’ah Wa Sunnah,terj. Fadhli Bahri, Virus Syi’ah;
Sejarah Alienisme Sekte, (Jakarta: Darul-Falah, 2002)
Abu Khalifah Ali
bin Muhammad al-Qudhaibi, Rabihtu ash-Shahabah wa lam Akhsar Ala al-Bait,
terj. Ganna Prydharizal Anaedi, Akhirnya Kutinggalkan Syi’ah; Testimoni
Tokoh Syi’ah, (Jakarta: Pustaka Imam Ahmad, 2010).
Muhammad Abdul
Sattar Al-Tunsawi, _______, terj. H.M Jaelani Musni, Membongkar kesesatan Syi’ah,
(Bandung: Badar, 2008).
Mohammad
Baharun, Epistimologi Antagonisme Syiah; dari Imamah sampai Mut’ah,
(Malang : Pustaka Bayan, 2008).
Majalah Islam
Dunia Islam, edisi 15, Juli 2007.
Abdul Karim
Al-Husaini Al-Qazwini, Al-Tasyayyu’ Huwa Al-Madzhab Al-Rasmi lil Islam,
terj. Ilyas Mulya, Mengikuti Ahlu Bait Nabi Saw; kewajiban dalam Islam
menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits, (___:Mitra Zaman, 2009).
Hartono Ahmad
Jaiz, Aliran dan Faham Sesat di Indinesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2002).
[1] QS. Al-Baqarah ayat 2
[2]Ahmad Qusyairi Isma’il, Mungkinkah
Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwah?; jawaban atas buku Dr Quraish Shihab
’Sunnah-Syi’ah bergandengan tangan! Mungkinkah? (Pustaka Sidogiri:
Pasuruan, 2008), cet II, hlm 39. Selanjutnya ditulis Ahmad Qusyairi Isma’il, Mungkinkah
Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwah?
[3] Abdul Latief Muchtar, Gerakan
kembali ke Islam;Warisan terakhir A. Latief Muchtar, (Remaja Rosadakarya:
Bandung, 1998), hlm 325-327. Selanjutnya ditulis Abdul Latief
[4] Ahmad Qusyairi Isma’il, Mungkinkah
Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwah?, hlm 52.
[5] Dijelaskan didalam kitab
Daairatul maarif bahwa syi’ah ini bercabang-cabang menjadi lebih dari 73
golongan (sekte) yang terkenal. Bahkan disinyalir sendiri oleh Mir Baqir
Al-Damad—tokoh syi’ah—bahwa hadits yang menjelaskan tentang terbaginya umat
menjadi 73 golongan adalah syi’ah, dan golongan yang selamat dari
golongan-golonga ini adalah Syi’ah “al-Imamiyyah”. Dikatakan pula oleh
Al-Maqrizi bahwa golongan mereka berjumlah sampai 300 golongan. Lihat Abdullah
bin Muhammad, Min ‘Aqaidi As-Syi’ah, terj. Menyingkap Kesesatan
Ajaran Syi’ah, (Jaringan pembelaan terhadap sunnah:___, ____), hlm 9. Selanjutnya
ditulis Abdullah bin Muhammad, Min ‘Aqaidi As-Syi’ah
[6] Disebutkan oleh Asy-Syahrastani
bahwa Rafidhah terbagi menjadi lima bagian: Al-Kisaaniyyah, Az-Zaidiyyah,
Al-Imamiyyah, Al-Ghaliyyah dan Al-Isma’iliyyah. Akan tetapi Al-Baghdadi
berkata: Rafidhah setelah masa Ali bin Abi Thalib terbagi menjadi empat
golongan, Zaidiyyah, Imamiyyah Kisaniyyah dan Ghulati. Dengan satu catatan
bahwa Zaidiyyah tidak termasuk kepada golongan Rafidhah, melainkan
Al-Gharudiyyah bagian atau sempalan dari
Zaidiyyah yang masuk kedalam Rafidhah. Lihat ibid, hlm 10.
[7] Ahmad Qusyairi Isma’il, dkk. Mungkinkah
Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwah?, Hlm 53.
[8] Dalam majalah Harakah Sunniyyah
As-Silmi halaman 45 edisi 19 Mei 2007 dinyatakan bahwa penyebutan sekte ini
tidak Al-Kaisaniyah melainkan “Al-Kisaniyyah” tapi meskipun demikian penulis
kira perbedaan ini tidak kemudian merubah makna dan arti yang dimaksud.
[9] Ahmad Qusyairi Isma’il, dkk. Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwah?
Hlm 54.
[10] Majalah Harakah Sunniyyah
As-Silmi, edisi 19, Mei 2007, hlm 45-46.
[11] Ahmad Qusyairi Isma’il,
dkk. Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam
Ukhuwah? Hlm 54.
[12] Abdul Latief Muchtar, hlm 334.
[13] Ahmad Qusyairi Isma’il,
dkk. Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam
Ukhuwah? Hlm 55.
[14] Abdul Latief Muchtar, hlm 331.
[15] Ahmad Qusyairi Isma’il,
dkk. Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam
Ukhuwah? Hlm 58.
[16] Moh. Dawam Anwar,dkk. Mengapa
kita menolak Syi’ah? Kumpulan makalah seminar nasional tentang Syi’ah, (Lembaga
Penelitian dan Pengkajian Islam/CV Karunia: Jakarta, 1998), cet II, hlm
4,5,107. Selanjutnya ditulis Mengapa kita menolak Syi’ah? Kumpulan makalah
seminar nasional tentang Syi’ah
[17] Ahmad Qusyairi Isma’il,
dkk. Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam
Ukhuwah? Hlm 58-59.
[18]Majalah As-Silmi hlm 35.
[19]Ahmad Qusyairi Isma’il, dkk. Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwah?
Hlm 59.
[20] Majalah As-Silmi hlm 35.
[21] Ibid, hlm 36
[22] Ahmad Qusyairi Isma’il,
dkk. Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam
Ukhuwah? Hlm 60.
[23] Ibid, hlm 35
[24] Ibid, hlm 35
[25] Abdul Latief Muchtar, hlm 335.
[26] Abdullah bin Muhammad, Min
‘Aqaid Asy-Syiah, hlm 28-29.
[27] Ahmad Qusyairi Isma’il,
dkk. Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam
Ukhuwah? Hlm 61.
[28] Ibid, Hlm 68.
[29]Majalah As-Silmi hlm 48.
[30]Ahmad Qusyairi Isma’il, dkk. Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwah?
Hlm 68-69
[31] Abdul Latief Muchtar, hlm
335-336.
[32] Abdullah bin Muhammad, Min
‘Aqaid Asy-Syiah, hlm 40-41.
[33] Orang-orang syi’ah menamakan
ahlu sunnah dengan sebutan An-Nasib. Sebenarnya istilah An-Nasib dalam
pandangan ahlu sunnah sendiri adalah sendiri adalah orang-orang yang membenci
Ali bin Abi Thalib RA, akan tetapi pengikut Rafidhah menjuluki pengikut ahlu
sunnah dengan An-Nasib dikarenakan mereka mendahulukan keimaman Abu Bakar, Umar
dan Utsman atas Ali bin Abi Thali RA. Lihat ibid, 41-42.
[34] Abdullah bin Muhammad, Min
‘Aqaid Asy-Syiah, hlm 40.
[35] Abdullah Almushili, Hatta la
Nankhadi Haqiqah Asy-Syi’ah, terj. Abdul Rosyad Shidiq, Mengungkap
Hakikat Syi’ah Agar Anda Tidak Terpedaya, (Jakarta: Darl-Falah, 2009), hlm
68-121. Selanjutnya ditulis Abdullah Almushili, Hatta la Nankhadi Haqiqah
Asy-Syi’ah
[36] Ihsan Ilahi Dzahir, Asy-Syi’ah
Wa Sunnah,terj. Fadhli Bahri, Virus Syi’ah; Sejarah Alienisme Sekte,
(Jakarta: Darul-Falah, 2002), hlm 41. Selanjutnya ditulis Ihsan Ilahi Dzahir, Asy-Syi’ah
Wa Sunnah
[37] Abu Khalifah Ali bin Muhammad
al-Qudhaibi, Rabihtu ash-Shahabah wa lam Akhsar Ala al-Bait, terj. Ganna
Prydharizal Anaedi, Akhirnya Kutinggalkan Syi’ah; Testimoni Tokoh Syi’ah,
(Jakarta: Pustaka Imam Ahmad, 2010), cet II, hlm 19. Selanjutnya ditulis Abu Khalifah Ali bin Muhammad al-Qudhaibi,
Rabihtu ash-Shahabah wa lam Akhsar Ala al-Bait
[38] Abdullah Almushili, Hatta la
Nankhadi Haqiqah Asy-Syi’ah, terj. Abdul Rosyad Shidiq, Mengungkap
Hakikat Syi’ah Agar Anda Tidak Terpedaya, (Jakarta: Darl-Falah, 2009), hlm
1. Selanjutnya ditulis Abdullah Almushili, Hatta la Nankhadi Haqiqah
Asy-Syi’ah
[39] Ibid, hlm 4
[40] Abdullah bin Muhammad, Min
‘Aqaid Asy-Syiah, terj. Abu Salman,
Menyingkap kesesatan Aqidah Syi’ah, (Jaringan pembelaan terhadap
Sunnah: ___, ___), hlm 36. Selanjutnya ditulis Abdullah bin Muhammad, Min
‘Aqaid Asy-Syiah
[41] Muhammad Abdul Sattar
Al-Tunsawi, _______, terj. H.M Jaelani Musni, Membongkar kesesatan Syi’ah,
(Bandung: Badar, 2008), hlm 98. Selanjutnya ditulis Muhammad Abdul Sattar
Al-Tunsawi
[42] Mohammad Baharun, Epistimologi
Antagonisme Syiah; dari Imamah sampai Mut’ah, (Malang : Pustaka Bayan,
2008), cet III, hlm 149-150. Selanjutnya ditulis Mohammad Baharun, Epistimologi
Antagonisme Syiah; dari Imamah sampai Mut’ah
[43] Ibid, hlm 150.
[44] Majalah As-Silmi , hlm 48.
[45] Ibid, hlm 48.
[46] Abdullah bin Muhammad, Min
‘Aqaid Asy-Syiah, hlm 38
[47] Ibid, hlm 39.
[48] Muhammad Abdul Sattar
Al-Tunsawi, hlm 130.
[49] Kota suci kedua di Iran setelah
Mashshad, Qum dikenal karena di dalamnya cagar perlindungan Fatimah. Itulah
Qum, kota provinsi yang terletak 140 km sebelah utara Teheran, Iran. Qum adalah
pusat pergerakan Syi’ah Dunia. Banyak sekali lembaga-lembaga pendidikan di Kota
ini. Dan diantara universita-universitas yang ada di Kota ini adalah: Mofid
University, Islamic Azad University of Qom, Payam Noor University of Qom,
University of Qom. Di lembaga pendidikan ini Syi’ah disebar luaskan. Lihat
majalah Islam Dunia Islam, edisi 15, Juli 2007, hlm 36, 41.
[50] Abdullah bin Muhammad, Min
‘Aqaid Asy-Syiah, hlm 51-52.
[51] Ibid, hlm 57-58.
[52] Majalah As-Silmi, hlm 48.
[53] Abdul Karim Al-Husaini
Al-Qazwini, Al-Tasyayyu’ Huwa Al-Madzhab Al-Rasmi lil Islam, terj. Ilyas
Mulya, Mengikuti Ahlu Bait Nabi Saw; kewajiban dalam Islam menurut Al-Qur’an
dan Al-Hadits, (___:Mitra Zaman, 2009), cet II, hlm 38.
[54] Majalah As-Silmi, hlm 24.
[55] Majalah Dunia Islam, edisi 15,
2007 hlm 10-11.
[56] Ibid, hlm 11.
[57] Ibid, hlm 12.
[58] Hartono Ahmad Jaiz, Aliran
dan Faham Sesat di Indinesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), hlm 114.
Selanjutnya ditulis Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Faham Sesat di Indinesia
[59] Mengapa Kita menolak Syi’ah, hlm
62.
[60] Hartono Ahmad Jaiz, Aliran
dan Faham Sesat di Indinesia, hlm 115-116.
[61] Ibid, hlm 115.
[62] Mengapa Kita menolak Syi’ah;
Kumpulan Makalah Seminar Nasional tentang Syi’ah, hlm 68-69.
[63] Ibnu taimiyyah dalam minhaju
as-Sunnah, tetapi penulis kutip dalam makalahnya Ust Deni Shalahuddin
dengan judul “Diabolisme Pemikiran Syi’ah” dalam acara seminar sehari kajian
Syi’ah, PD Pemuda Persis Kab. Garut pada tangga 20 Februari 2011.
Allahuakbar, saya minta kopy.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSelama ini saya memuja Quraish Shihab dan saya baru tahu kalau ternyata di mendukung Syi'ah Lanatullah 'Alaiyh
BalasHapusketerengan itu saya dapatkan dari bukunya hartono ahmad jaiz..kang helmi. katanya Quraish shihab itu punya upaya ingin mndekatkan (taqrib) sunni ke syi'ah agar bergandengan tangan. padahal itu sesuatu yang mustahil. adapun Quraish shihab terindikasi mendukung syi'ah..saya dapatkan sendiri dari tafsirnya al-Misbah, sering kali Quraish shihab itu mengakomodir pendapat Ulama syi'ah dan kadang-kadang membenarkan..coba di cek saja ditafsir al-Misbah,,wallohu'alam bisowab...
BalasHapus