(sekali lagi) Pendidikan adalah Solusi
Oleh: Jajang Hidayattullah[1]
Memperhatikan
fenomena penyimpangan-penyimpangan sosial yang terjadi di negri ini sungguh
sangat mengkhawatirkan, tak urung selalu membuat kita menggelengkan kepala.
Bagaimana tidak, bayangkan saja dari mulai korupsi yang semakin subur sampai
menjamurnya pornografi seolah tidak ada selesainya mewarnai wajah negri ini.
Belum lagi kasus nyontek masal yang dilakukan sejumlah siswa, menandakan bahwa
kejujuran sudah tidak ada ruang lagi di Negri ini. Mirisnya, pemandangan
mengerikan ini nyaris kita saksikan setiap hari.
Sebenarnya
seluruh persoalan bangsa ini semuanya bermuara pada bobrok dan lemahnya
pendidikan. Diperparah lagi dengan semakin suburnya kapitalisasi pendidikan
membuat pendidikan tidak begitu merata dirasakan oleh semua kalangan
masyarakat. Yang paling memilukan sistem atau pola mayoritas pendidikan yang
ada cenderung sekuler. Sehingga pendidikan di negri ini sulit menelorkan
generasi-generasi yang paripurna (Insan Kamil), yang muncul justru generasi yang semakin pintar mendesaign
kejahatan.
Ironis
memang, penyimpangan-penyimpangan itu justru muncul dari kalangan terdidik.
Pendidikan yang seharusnya menjadi solusi, malah jadi ‘polusi’ bagi negri ini.
Nampaknya persoalan semakin mewabahnya kasus yang mencerminkan dekadensi moral
ini sangat jelas mengisyaratkan bahwa pendidikan di negri ini sedang mengidap
‘penyakit’ yang cukup akut.
Ada apa dengan pendidikan kita?.
Para
pakar—seperti al-Attas—mensinyalir bahwa penyakit yang sedang menjangkiti
pendidikan saat ini adalah ‘sekulerisme’. Disadari ataupun tidak pendidikan
maupun ilmu pengetahuan yang berkembang selama ini telah disekulerkan oleh
peradaban Barat; sebuah peradaban yang tidak dibangun diatas dasar wahyu dan
kepercayaan pada agama.
Dr
Hamid Fahmi Zarkasyi menyatakan identitas
peradaban Barat dapat dilihat dari periode penting, yaitu modernisme dan postmodernisme. Modernisme
adalah aliran pemikiran Barat modern yang timbul dari pengalaman sejarah mereka
sejak empat abad terakhir. Ringkasnya, modernisme adalah faham yang muncul
menjelang kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan kepada abad
pencerahan, abad industri, dan abad ilmu pengetahuan. Ciri-ciri zaman modern
adalah bekembangnya pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh faham
sekulerisme, rasionalisme, empirisme, cara berfikir dikotomis, desakralisasi,
pragmatisme, dan penafian kebenaran metafisis. Selain itu modernisme yang
terkadang disebut westernisme membawa faham nasionalisme, humanisme
liberalisme, sekulerisme dan sebagainya. Sedangkan postmodernisme adalah
gerakan pemikiran yang lahir sebagai protes terhadap modernisme ataupun sebagai
kelanjutannya. Postmodernisme berbeda dari modernisme karena ia telah bergeser
pada faham yang baru, seperti nihilisme, relativisme—doktrin tentang nilai yang
digunakan para pemikir postmodernisme untuk menggugat agama. Programnya adalah
penghapusan nilai dan menggusur tendensi yang menagungkan otoritas—pluralisme,
dan persamaan gender (gender equality) (Hamid Fahmi Zarkasyi,
2010:168-170). Itulah sekurang-kurangnya elemen penting peradaban Barat yang
kini sedang menguasai dunia dan ilmu pengetahuan.
Secera
sederhana, konsep sekuler ini dapat difahami hampir sama denga konsep kehidupan
dunia (hayat al-Dunya) dalam Islam sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an
dan al-Hadits (Naquib al-Attas, 2010: 52 ) kata ‘dunia’ sendiri memiliki wazan fu’la
dan berasal dari kata الدنو yang
artinya dekat. Disebut dunia karena ia lebih dahulu sebelum akhirat. Ada juga yang menyatakan
bahwa dunia lebih dekat kepada kebinasaan (lihat Fath al-Bari, jilid I: 22).
Artinya pendidikan yang sekuler adalah pendidikan yang tidak memperhatikan
adab, pendidikan tersebut hanya diarahkan pada pencapaian masalah keduniaan
saja. Tujuan Pendidikan seperti ini seringkali hanya sekedar untuk mencapai
kompetensi akademik sebagai syarat mendapatkan ijazah saja. Inilah sebenarnya
problem besar yang sedang dialami pendidikan kita dewasa ini.
Islam—tepatnya
imam Ghazali dalam Ihya ‘ulumu al-Din—mengklasifikasikan ilmu kepada fardhu
‘ain dan fardu kifayah. Ilmu fardhu ‘ain adalah ilmu-ilmu
dasar yang hukumnya wajib dalam diri seseorang; mencakup hal-hal yang prinsip
seperti aqidah, tafsir, hadits, syari’ah dan lain-lain. Sedangkan ilmu fardu
kifayah adalah ilmu yang semua orang tidak mesti menguasainya cukup hanya
diwakilkan; seperti ilmu alam, ilmu hitung, sastra, ilmu terapan dan lain-lain.
Hal yang sama pun sebenarnya sudah diisyaratkan Allah dalam Al-Qur’an,
klasifikasi ini Nampak jelas ketika hamba yang shaleh Luqmanul haqim memberi nasihat
kepada putranya (lihat QS. Luqman : 13-19).
Pengklasifikasian
ilmu ala imam Ghazali yang memperhatikan skala prioritas ini tentunya
tidak kemudian difahami secara dikotomis, dualisme dan parsial; melainkan harus secara integral. Apa
yang dicanangkan al-Ghazali diatas seyogyanya mampu dikonseptualisasikan secara
matang dalam sebuah sistem atau kurikulum yang ada dilembaga-lembaga
pendidikan. Dengan demikian pendidikan yang ada di negri ini tidak tuna makna,
karena ilmu pengetahuan yang diberikan pada peserta didik selalu dipandu oleh
wahyu. Selain itu pendidikan yang ditawarkan pun akan selalu berbasis integral,
tidak kemudian berhenti pada aspek kognitif saja.
Singkatnya,
kasus-kasus kejahatan yang dipertontonkan negri ini; dari mulai korupsi hingga pornografi dan juga
yang lainnya, sesungguhnya tidak muncul dengan ujug-ujug melainkan jauh
hari sebelumnya mental kotor tersebut—disadari ataupun tidak— sudah lama
dibangun semenjak mereka singgah dilembaga-lembaga pendidikan ‘yang tidak
sehat’ di negri ini. Meskipun demikian diharapkan kedepan lembaga-lembaga
pendidikan yang ada; dari mulai TK sampai perguruan tinggi tidak hanya sekedar
‘menjajakan pepesan kosong; apalagi beracun, akan tetapi promosi dan iklan yang
digembar-gemborkan lembaga pendidikan dibarengi dengan sistem dan kurikulum berkualitas
yang tidak mencedrai wahyu dan ilmu pengetahuan, juga lebih menawarkan pendidikan
yang mampu menciptakan Akhlaqul Karimah dari generasi ke generasi.
Diakui
memang membangun sistem pendidikan itu by desaign tidak semudah
membalikan telapak tangan; akan tetapi setidaknya selalu ada ikhtiar kearah sana . Semoga…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar