Mukhtalif
al-Hadits
Oleh:
Jajang Hidayatullah[1]
Pendahuluan
Segala puji bagi Allah dengan
kekuasaan dan keleluasan nikmat-Nya telah dan masih memberikan pada kita kekuatan untuk terus
berjihad dijalan-Nya dan juga shalawat salam semoga senantiasa tercurahkan
kepada Nabi akhir zaman yaitu Muhammad Saw.
Selanjutnya,
kali ini penulis diberi tugas oleh ustadz untuk bisa menjelaskan ilmu
mukhtaliful hadits. Sebenarnya, menurut hemat penulis mukhtalif al-hadits akan
dapat difahami kalau kajiannya digandengkan dengan ilmu al-muhkam al-hadits;
yaitu hadits yang selamat atau kosong dari pertentangan[2]. Sedangkan bila hadits dlaif bertentangan dengan yang
dengan hadits shahih maka disebut hadits munkar. Adapun hadits Syadz adalah
hadits yang shahih sanadnya bertentangan dengan hadits yang lebih shahih[3].
Sedangkan mukhtalif al-hadits diartikan sebaliknya dari al-muhkam al-hadits. Akan
tetapi memang dari kitab-kitab terkait yang penulis baca pembahasan mengenai
al-muhkam al-hadits, para ulama dalam menerangkannya cederung dengan sangat
singkat sekali dan tidak dibahas dengan panjang lebar. Karena kebanyakan hadits
yang sering kita jumpai dalam beberapa kitab hadits kebanyakan tergolong dalam
al-muhkam al-hadits[4].
Penulis
akui makalah ini sangat sederhana sekali, bahkan bisa jadi dari teman-teman
sekalian ada yang lebih tahu dari penyaji. Akan tetapi bagi penulis kira tidak masalah karena posisi
saya hanya sekedar pengantar, untuk kemudian kita kembangkan saja dalam
diskusi; apalagi dihadapan kita ada al-Ust yang akan membingbing kita secara
langsung dikala menemukan kejanggalan ketika berlangsungnya diskusi.
Definisi
Secara
bahasa mukhtalif adalah isim fa’il dari kalimat ‘al-Ikhtilaf’
kebalikan dari kalimat al-ittifaq. yang artinya berselisih atau
bertentangan. Maka arti mukhtaliful hadits adalah hadits-hadits yang sampai
pada kita dalam keadaan bertentangan antara satu dan yang lainnya[5].
Adapun
Pengertian hadits mukhtalif secara istilah menurut an-Nawawi sebagaimana
dikutip oleh as-Suyuthi adalah sebagai berikut:
(hadits
mukhtalif) adalah dua buah hadits yang saling bertentangan pada makna
lahiriahnya (namun makna sebenarnya bukan bertentangan). Untuk mengetahui makna
sebenarnya keduanya di kompromikan atau ditarjih (untuk mengetahui mana yang
kuat diantara keduanya)[6].
Definisi
diatas terlalu umum rumusannya, sehingga mencakup hadits baik maqbul
atau mardud yang secara lahiriah tampak saling bertentangan antara satu
dengan yang lainnya. Oleh karena itu,
sebagian ulama menambahkan rumusan definisinya dengan batasan kategori
hadits maqbul saja, sebagaimana rumusan yang jelas dikemukakan oleh
al-Thahawiy sebagai berikut:
(hadits
mukhtalif) adalah dua buah hadits yang sama-sama berkategori maqbul yang saling
bertentangan secara lahiriah dan memungkinkan penyelesaiannya dengan
mengkompromikan antara keduanya secara wajar[7].
Dengan
batasan “hadits maqbul” maka hadits mukhtalif adalah hadits yang
berkualitas shahih atau hasan yang tampak saling bertentangan
satu dengan yang lainnya[8]. Dr. Moh Isom Yusqi
menganalisa, Meskipun demikian, definisi al-Thahawiy diatas juga masih kurang
lengkap, karena tidak semua hadits mukhtalif dapat diselesaikan dalam bentuk
kompromi, adakalanya harus diselesaikan dalam bentuk naskh atau tarjih.
Dengan demikian definisi hadits mukhtalif yang lengkap adalah:
Hadits
shahih atau hasan (maqbul) yang secara lahiriah tampak saling bertentangan satu
dengan yang lainnya. Namun makna yang sebenarnya tidaklah bertentangan karena
satu dengan yang lainnya dapat diselesaikan dengan metode kompromi (jama’),
naskh ataupun tarjih[9].
Metode Penyelesaian Hadits
Mukhtalif
Secara
global, metode (manhaj) penyelesaian hadits-hadits mukhtalif dirumuskan
oleh para ulama hadits ke dalam empat metode, yaitu: pertama, metode al-jam’u
(mengkompromikan dua dalil yang tampak bertentangan untuk diamalkan keduanya). Kedua,
metode al-tarjih (mengunggulkan salah satu dari dua dalil yang
tampak bertentangan). Ketiga, metode al-nasakh (menghapus salah
satu dari dua dalil yang tampak bertentangan). Keempat, al-tasaqut
(menggurkan atau tidak mengamalkan kedua dalil tersebut dan menyerahkan
persoalannya pada hukum asal), atau dalam istilah Ibnu Hajar, metode at-tawaqquf
(tidak mengamalkan kedua dalil tersebut [menangguhkan] sambil menunggu petunjuk
Allah Swt dalam menyelesaikan pertentangan tersebut). Adapun penjelasan
rinciannya sebagai berikut:
-
al-jam’u
pada
metode al-jam’u cara yang digunakan ulama dalam mengkompromikan dua
dalil yang tampak berbeda tersebut adalah dengan cara mentakwil
(memahami lafadz dalil dengan pengertian lain) pada salah satu atau keduanya
sehingga pada keduanya terjadi kompromi yang sempurna dalam pemahamannya.
Sebelum mentakwil ada beberapa persyaratan metode al-jam’u yang
harus dipenuhi, yaitu:
pertama,
kedua hadits tersebut harus sama-sama shahih (maqbul). Kedua,
berbandingnya dua dalil, bukan kontradiktif yang mustahil dikompromikan.
Ketiga, dalam menjama’ (mengkompromikan) tidak boleh menggurkan salah
satu dari keduanya. Keempat, kompromisasi dua dalil tidak boleh bertentangan
dengan al-maqasid al-syari’ah dan kaidah-kaidah logika dan kebahasaan.
Contoh:
hadits memegang kemaluan membatalkan wudlu atau tidak?
-
al-tarjih
Dalam
metode kedua ini, objeknya adalah dua dalil yang memang tidak mungkin lagi
dilakukan jama’ padanya. Pentarjihan ini tidak berlaku pada dalil/hadits
yang sama-sama qath’iy, atau antara dalil yang qath’iy dan dalil
yang dzanni. Selanjutnya dalam melakukan pentarjihan
hadits-hadits Nabi Saw, para ulama mempunyai tujuh dasar tarjih yang
harus dipertimbangan, yaitu:
- Tarjih
berdasarkan keadaan rawi hadits
- Tarjih
berdasarkan usia rawi
- Tarjih
berdasarkan tatacara periwayatan
- Tarjih
berdasarkan redaksi hadits
- Tarjih
berdasarkan redaksi hadits
- Tarjih
berdasarkan hadits kandungan hukum hadits
- Tarjih
berdasarkan unsur-unsur eksternal teks hadits
Contoh: hadits tentang daging sembelihan (qurban)
-
al-nasakh
metode
al-nasakh (menghapus hukum syara’ dengan hukum syara’ yang datiang
kemudian) ini, harus terlebih dahulu mengkaji secara mendalam waktu turunnya (asbab
al-wurud dan asbab al-nuzul) dari kedua dalil yang tampak
bertentangan tersebut. Apabila diketahui mana dari kedua yang pertama dan yang
terakhir, otomatis dalil yang datang terakhir menasakh dalil yang datang
pertama. Dengan catatan bahwa, bahwa dalil yang terakhir memang pantas dan
memenuhi syarat untuk menasakh dalil yang pertama.
Contoh: Hadits tentang Rasul menikahi Maemunah ketika ihram
-
at-tawaqquf
Penjelasan
metode ini dianggap cukup dengan penelasan sebelumnya[10].
“Karena
sangat jarang sekali, maka penulis tidak cantumkan contoh”[11].
Menolak Riwayat Karena
Bertentangan Dengan Hadits
Al-Adabi menyatakan bahwa jika kita hendak menolak sebuah
riwayat yang marfu’ kepada Nabi Saw karena bertentangan dengan hadits
lain, maka harus terpenuhi dua syarat berikut:
Pertama, tidak
ada kemungkinan memadukan (al-jam’u). Jika dimungkinkan pemaduan
diantara keduanya dengan tanpa memaksa diri, maka tidak perlu menolak salah
satunya. Jika diantara keduanya terjadi pertentangan yang tidak mungkin
dipadukan, maka harus ditarjih.
Sebagian ulama terkadang lebih memilih menolak hadits
karena sedikit pertentangan dengan hadits yang lain, padahal sebetulnya tidak
ada pertentangan diantara keduanya jika direnungkan masak-masak[12].
Kedua, hadits yang
dijadikan sebagai dasar untuk menolak hadits lain yang bertentangan haruslah
bersetatus mutawatir. Syarat ini ditegaskan oleh Ibnu Hajar di dalam al-Ifshah
Ala Nukat Ibnu Shalah. Beliau mengkritik sikap al-jauzuqani di dalam
bukunya al-Abathil yang menilai maudlu’ sejumlah besar riwayat
hanya karena bertentangan dengan hadits yang tidak mutawatir.
Landasan syarat ini adalah penilaian derajat keshahihan
berkenaan dengan yang ditolak dan yang dijadikan alasan menolak. Sebab telah
maklum bahwa yang mutawatir adalah qath’i al-wurud, sedangkan yang tidak
mutawatir adalah dzanni al-wurud. Jadi logis sekali jika dzanni
ditolak karena bertentangan dengan yang qath’i. Konsekwensinya adalah
penolakan hadits-hadits ahad karena bertentangan dengan hadits yang mutawatir.
Adapun jika hadits ahad ditolak karena bertetangan dengan hadits ahad
lainnya, maka tidak logis. Inilah kesimpulan alasan yang dikemukakan oleh Ibnu
Hajar.
Adapun menurut analisa al-Adlabi argumen ini lebih
bersifat teoritis dari pada praktis. Karena penilaian maudlu’ terhadap
suatu riwayat tidak semata karena bertentangan dengan hadits yang lain.
Penilaian itu pada umumnya dikarenakan adanya sejumlah indikator dan yang
paling menonjol adalah pertentangan
dengan riwayat lain. Karena pembatasan riwayat lain dengan status mutawatir dalam syarat
itu jelas menyempitkan pembahasan tentang adanya pertentangan diantara
hadits-hadits. Akibatnya sudah jelas, yaitu penolakan terhadap hasil ijtihad
yang menolak suatu hadits.
Dipertegas lagi dengan pernyataan bahwa Ibnu Hajar dan
ulama hadits lainnya menyebut hadits yang dlaif sanadnya jika bertentagan
dengan yang shahih sebagai hadits munkar dan menyebut hadits yang shahih
sanadnya jika bertentangan dengan yang lebih shahih sebagai hadits syadz.
Mereka menghindari penilaian maudlu’ yang disebabkan karena semata-mata
bertentangan dengan hadits shahih. Untuk penilaian maudlu’ mereka
menyatakan adanya pertentangan dengan hadits mutawatir. Ini jelas
merupakan pembagian yang jeli. Tetapi keabsahan pembagian ini hanya terletak
pada ketepatan jenis pertentangan yang memungkinkan seorang peneliti
menghindari peniaian riwayat apapun sebagai maudlu’ kecuali jika bertentangan
dengan hadits mutawatir. Akan tetapi jika tanda-tanda kepalsuan jelas mengitari
sebuah riwayat dilihat dari spirit syari’ah, apa yang sudah dikenal berdasarkan
al-sunnah dan al-sirah dan ditambah dengan pertentangan hadits itu dengan
hadits ahad yang lain, maka penolakan hadits tersebut merupakan kepastian, jika
ukan karena kemaudlu’annya, minimal karena mendekati kemaudlu’annya[13].
Kitab-Kitab Mukhtalif Al-Hadits
Diantara
kitab-kitab mukhtalif al-Hadits yang termashur adalah:
-
Ikhtilaf
al-hadits karya imam al-Syafi’I; kitab ini adalah karya paling awal yang
membicarakan mukhtalif al-hadits
-
Ta’wil
al-mukhtalif al-hadits karya Ibnu Qutaibah Abdullah bin Muslim.
__________________________________________
Daftar Pustaka
-
muhammad Ajaz al-khatib, ushul al-Hadits
Ulumihi wa musthalahihi, (Beirut: Dar el-Fikr, 2009).
-
Shalahudin Ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd
al-Matn Ind Ulama’ al-Hadits al-Nabawi, terj. H.M Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafiq, Kritik Metodologi Matan Hadits, (Tangerang: Gaya Media
Pratama, 2004).
-
Moh. Isom
Yusqi, Metodologi Penyelesaian Hadits Kontradiktif, (Jakarta: CV. Sukses
Bersama, 2006).
-
Abdul Karim bin Abdullah bin Abdu al-Rahman al-Khudir,
Tahqiq al-Rughbah Fi Taudlih al-Nuhbah, (Riyadl: Maktabah Dar al-Minhaj,
1426 H).
-
A.
Zakaria, Mabad al-Awaliyyah, fi ilmil Musthalah, (Garut: Ibnu Azka, 1413
H).
[2] Mahmud al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadits, (Beirut: Dar
el-Fikr, __), hlm 46, selanjutnya ditulis Mahmud al-Thahan, Taisir Musthalah
al-Hadits
[3] Abdul Karim bin Abdullah
bin Abdu al-Rahman al-Khudir, Tahqiq al-Rughbah Fi Taudlih al-Nuhbah, (Riyadl:
Maktabah Dar al-Minhaj, 1426 H), 74-75.
[5] Ibid
[6] Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi dalam Moh. Isom Yusqi, Metodologi
Penyelesaian Hadits Kontradiktif, (Jakarta: CV. Sukses Bersama, 2006), hlm
135-139. Selanjutnya ditulis Moh. Isom Yusqi, Metodologi Penyelesaian Hadits
Kontradiktif
[7] Al-Thahawiy, Musykil al-Atsar, dalam ibid
[8] Mahmud al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadits, hlm 46.
[9] Moh. Isom Yusqi, Metodologi Penyelesaian Hadits Kontradiktif,
hlm 137.
[10] Moh. Isom Yusqi, Metodologi Penyelesaian Hadits Kontradiktif,
hlm 139
[11] Contoh-contoh yang
penulis kutip adalah dari karyanya ust Aceng Zakaria. Lihat A. Zakaria, Mabad
al-Awaliyyah, fi ilmil Musthalah, (Garut: Ibnu Azka, 1413 H), hlm 34-35.
[12] Shalahudin Ibn Ahmad
al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn Ind Ulama’ al-Hadits al-Nabawi, terj. H.M
Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Kritik Metodologi Matan Hadits,
(Tangerang: Gaya Media Pratama, 2004), hlm 234
[14] Mahmud al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadits, hlm 48. Lihat juga muhammad Ajaz al-khatib, ushul
al-Hadits Ulumihi wa musthalahihi, (Beirut: Dar el-Fikr, 2009), hlm
184-185.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar