Jumat, 20 April 2012

Mukhtalif al-Hadits


Mukhtalif al-Hadits
Oleh: Jajang Hidayatullah[1]


Pendahuluan
Segala puji bagi Allah dengan kekuasaan dan keleluasan nikmat-Nya telah dan masih  memberikan pada kita kekuatan untuk terus berjihad dijalan-Nya dan juga shalawat salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi akhir zaman yaitu Muhammad Saw.
Selanjutnya, kali ini penulis diberi tugas oleh ustadz untuk bisa menjelaskan ilmu mukhtaliful hadits. Sebenarnya, menurut hemat penulis mukhtalif al-hadits akan dapat difahami kalau kajiannya digandengkan dengan ilmu al-muhkam al-hadits; yaitu hadits yang selamat atau kosong dari pertentangan[2]. Sedangkan bila hadits dlaif bertentangan dengan yang dengan hadits shahih maka disebut hadits munkar. Adapun hadits Syadz adalah hadits yang shahih sanadnya bertentangan dengan hadits yang lebih shahih[3]. Sedangkan mukhtalif al-hadits diartikan sebaliknya dari al-muhkam al-hadits. Akan tetapi memang dari kitab-kitab terkait yang penulis baca pembahasan mengenai al-muhkam al-hadits, para ulama dalam menerangkannya cederung dengan sangat singkat sekali dan tidak dibahas dengan panjang lebar. Karena kebanyakan hadits yang sering kita jumpai dalam beberapa kitab hadits kebanyakan tergolong dalam al-muhkam al-hadits[4].
Penulis akui makalah ini sangat sederhana sekali, bahkan bisa jadi dari teman-teman sekalian ada yang lebih tahu dari penyaji. Akan tetapi bagi penulis kira tidak masalah karena posisi saya hanya sekedar pengantar, untuk kemudian kita kembangkan saja dalam diskusi; apalagi dihadapan kita ada al-Ust yang akan membingbing kita secara langsung dikala menemukan kejanggalan ketika berlangsungnya diskusi.

Definisi
Secara bahasa mukhtalif adalah isim fa’il dari kalimat ‘al-Ikhtilaf’ kebalikan dari kalimat al-ittifaq. yang artinya berselisih atau bertentangan. Maka arti mukhtaliful hadits adalah hadits-hadits yang sampai pada kita dalam keadaan bertentangan antara satu dan yang lainnya[5].
Adapun Pengertian hadits mukhtalif secara istilah menurut an-Nawawi sebagaimana dikutip oleh as-Suyuthi adalah sebagai berikut:

(hadits mukhtalif) adalah dua buah hadits yang saling bertentangan pada makna lahiriahnya (namun makna sebenarnya bukan bertentangan). Untuk mengetahui makna sebenarnya keduanya di kompromikan atau ditarjih (untuk mengetahui mana yang kuat diantara keduanya)[6].

Definisi diatas terlalu umum rumusannya, sehingga mencakup hadits baik maqbul atau mardud yang secara lahiriah tampak saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu,  sebagian ulama menambahkan rumusan definisinya dengan batasan kategori hadits maqbul saja, sebagaimana rumusan yang jelas dikemukakan oleh al-Thahawiy sebagai berikut:

(hadits mukhtalif) adalah dua buah hadits yang sama-sama berkategori maqbul yang saling bertentangan secara lahiriah dan memungkinkan penyelesaiannya dengan mengkompromikan antara keduanya secara wajar[7].

Dengan batasan “hadits maqbul” maka hadits mukhtalif adalah hadits yang berkualitas shahih atau hasan yang tampak saling bertentangan satu dengan yang lainnya[8]. Dr. Moh Isom Yusqi menganalisa, Meskipun demikian, definisi al-Thahawiy diatas juga masih kurang lengkap, karena tidak semua hadits mukhtalif dapat diselesaikan dalam bentuk kompromi, adakalanya harus diselesaikan dalam bentuk naskh atau tarjih. Dengan demikian definisi hadits mukhtalif yang lengkap adalah:

Hadits shahih atau hasan (maqbul) yang secara lahiriah tampak saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Namun makna yang sebenarnya tidaklah bertentangan karena satu dengan yang lainnya dapat diselesaikan dengan metode kompromi (jama’), naskh ataupun tarjih[9].

Metode Penyelesaian Hadits Mukhtalif
Secara global, metode (manhaj) penyelesaian hadits-hadits mukhtalif dirumuskan oleh para ulama hadits ke dalam empat metode, yaitu: pertama, metode al-jam’u (mengkompromikan dua dalil yang tampak bertentangan untuk diamalkan keduanya). Kedua, metode al-tarjih (mengunggulkan salah satu dari dua dalil yang tampak bertentangan). Ketiga, metode al-nasakh (menghapus salah satu dari dua dalil yang tampak bertentangan). Keempat, al-tasaqut (menggurkan atau tidak mengamalkan kedua dalil tersebut dan menyerahkan persoalannya pada hukum asal), atau dalam istilah Ibnu Hajar, metode at-tawaqquf (tidak mengamalkan kedua dalil tersebut [menangguhkan] sambil menunggu petunjuk Allah Swt dalam menyelesaikan pertentangan tersebut). Adapun penjelasan rinciannya sebagai berikut:

-          al-jam’u
pada metode al-jam’u cara yang digunakan ulama dalam mengkompromikan dua dalil yang tampak berbeda tersebut adalah dengan cara mentakwil (memahami lafadz dalil dengan pengertian lain) pada salah satu atau keduanya sehingga pada keduanya terjadi kompromi yang sempurna dalam pemahamannya. Sebelum mentakwil ada beberapa persyaratan metode al-jam’u yang harus dipenuhi, yaitu:
pertama, kedua hadits tersebut harus sama-sama shahih (maqbul). Kedua, berbandingnya dua dalil, bukan kontradiktif yang mustahil dikompromikan. Ketiga, dalam menjama’ (mengkompromikan) tidak boleh menggurkan salah satu dari keduanya. Keempat, kompromisasi dua dalil tidak boleh bertentangan dengan al-maqasid al-syari’ah dan kaidah-kaidah logika dan kebahasaan.
Contoh: hadits memegang kemaluan membatalkan wudlu atau tidak?

-          al-tarjih
Dalam metode kedua ini, objeknya adalah dua dalil yang memang tidak mungkin lagi dilakukan jama’ padanya. Pentarjihan ini tidak berlaku pada dalil/hadits yang sama-sama qath’iy, atau antara dalil yang qath’iy dan dalil yang dzanni. Selanjutnya dalam melakukan pentarjihan hadits-hadits Nabi Saw, para ulama mempunyai tujuh dasar tarjih yang harus dipertimbangan, yaitu:
  1. Tarjih berdasarkan keadaan rawi hadits
  2. Tarjih berdasarkan usia rawi
  3. Tarjih berdasarkan tatacara periwayatan
  4. Tarjih berdasarkan redaksi hadits
  5. Tarjih berdasarkan redaksi hadits
  6. Tarjih berdasarkan hadits kandungan hukum hadits
  7. Tarjih berdasarkan unsur-unsur eksternal teks hadits 
Contoh: hadits tentang daging sembelihan (qurban)

-          al-nasakh
metode al-nasakh (menghapus hukum syara’ dengan hukum syara’ yang datiang kemudian) ini, harus terlebih dahulu mengkaji secara mendalam waktu turunnya (asbab al-wurud dan asbab al-nuzul) dari kedua dalil yang tampak bertentangan tersebut. Apabila diketahui mana dari kedua yang pertama dan yang terakhir, otomatis dalil yang datang terakhir menasakh dalil yang datang pertama. Dengan catatan bahwa, bahwa dalil yang terakhir memang pantas dan memenuhi syarat untuk menasakh dalil yang pertama.
Contoh: Hadits tentang Rasul menikahi Maemunah ketika ihram

-          at-tawaqquf
Penjelasan metode ini dianggap cukup dengan penelasan sebelumnya[10].
“Karena sangat jarang sekali, maka penulis tidak cantumkan contoh”[11].

Menolak Riwayat Karena Bertentangan Dengan Hadits
Al-Adabi menyatakan bahwa jika kita hendak menolak sebuah riwayat yang marfu’ kepada Nabi Saw karena bertentangan dengan hadits lain, maka harus terpenuhi dua syarat berikut:
Pertama, tidak ada kemungkinan memadukan (al-jam’u). Jika dimungkinkan pemaduan diantara keduanya dengan tanpa memaksa diri, maka tidak perlu menolak salah satunya. Jika diantara keduanya terjadi pertentangan yang tidak mungkin dipadukan, maka harus ditarjih.
Sebagian ulama terkadang lebih memilih menolak hadits karena sedikit pertentangan dengan hadits yang lain, padahal sebetulnya tidak ada pertentangan diantara keduanya jika direnungkan masak-masak[12].
Kedua, hadits yang dijadikan sebagai dasar untuk menolak hadits lain yang bertentangan haruslah bersetatus mutawatir. Syarat ini ditegaskan oleh Ibnu Hajar di dalam al-Ifshah Ala Nukat Ibnu Shalah. Beliau mengkritik sikap al-jauzuqani di dalam bukunya al-Abathil yang menilai maudlu’ sejumlah besar riwayat hanya karena bertentangan dengan hadits yang tidak mutawatir.
Landasan syarat ini adalah penilaian derajat keshahihan berkenaan dengan yang ditolak dan yang dijadikan alasan menolak. Sebab telah maklum bahwa yang mutawatir adalah qath’i al-wurud, sedangkan yang tidak mutawatir adalah dzanni al-wurud. Jadi logis sekali jika dzanni ditolak karena bertentangan dengan yang qath’i. Konsekwensinya adalah penolakan hadits-hadits ahad karena bertentangan dengan hadits yang mutawatir. Adapun jika hadits ahad ditolak karena bertetangan dengan hadits ahad lainnya, maka tidak logis. Inilah kesimpulan alasan yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar.
Adapun menurut analisa al-Adlabi argumen ini lebih bersifat teoritis dari pada praktis. Karena penilaian maudlu’ terhadap suatu riwayat tidak semata karena bertentangan dengan hadits yang lain. Penilaian itu pada umumnya dikarenakan adanya sejumlah indikator dan yang paling menonjol adalah pertentangan  dengan riwayat lain. Karena pembatasan riwayat lain  dengan status mutawatir dalam syarat itu jelas menyempitkan pembahasan tentang adanya pertentangan diantara hadits-hadits. Akibatnya sudah jelas, yaitu penolakan terhadap hasil ijtihad yang menolak suatu hadits.
Dipertegas lagi dengan pernyataan bahwa Ibnu Hajar dan ulama hadits lainnya menyebut hadits yang dlaif sanadnya jika bertentagan dengan yang shahih sebagai hadits munkar dan menyebut hadits yang shahih sanadnya jika bertentangan dengan yang lebih shahih sebagai hadits syadz. Mereka menghindari penilaian maudlu’ yang disebabkan karena semata-mata bertentangan dengan hadits shahih. Untuk penilaian maudlu’ mereka menyatakan adanya pertentangan dengan hadits mutawatir. Ini jelas merupakan pembagian yang jeli. Tetapi keabsahan pembagian ini hanya terletak pada ketepatan jenis pertentangan yang memungkinkan seorang peneliti menghindari peniaian riwayat apapun sebagai maudlu’ kecuali jika bertentangan dengan hadits mutawatir. Akan tetapi jika tanda-tanda kepalsuan jelas mengitari sebuah riwayat dilihat dari spirit syari’ah, apa yang sudah dikenal berdasarkan al-sunnah dan al-sirah dan ditambah dengan pertentangan hadits itu dengan hadits ahad yang lain, maka penolakan hadits tersebut merupakan kepastian, jika ukan karena kemaudlu’annya, minimal karena mendekati kemaudlu’annya[13].

Kitab-Kitab Mukhtalif Al-Hadits
Diantara kitab-kitab mukhtalif al-Hadits yang termashur adalah:
-          Ikhtilaf al-hadits karya imam al-Syafi’I; kitab ini adalah karya paling awal yang membicarakan mukhtalif al-hadits
-          Ta’wil al-mukhtalif al-hadits karya Ibnu Qutaibah Abdullah bin Muslim.
-          Musykil al-Atsar karya al-Thahawiy Abu Ja’far Ahmad bin Salamah[14].

__________________________________________

Daftar Pustaka
-          muhammad Ajaz al-khatib, ushul al-Hadits Ulumihi wa musthalahihi, (Beirut: Dar el-Fikr, 2009).
-          Shalahudin Ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn Ind Ulama’ al-Hadits al-Nabawi, terj. H.M Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Kritik Metodologi Matan Hadits, (Tangerang: Gaya Media Pratama, 2004).
-           Moh. Isom Yusqi, Metodologi Penyelesaian Hadits Kontradiktif, (Jakarta: CV. Sukses Bersama, 2006).
-          Abdul Karim bin Abdullah bin Abdu al-Rahman al-Khudir, Tahqiq al-Rughbah Fi Taudlih al-Nuhbah, (Riyadl: Maktabah Dar al-Minhaj, 1426 H).
-          A. Zakaria, Mabad al-Awaliyyah, fi ilmil Musthalah, (Garut: Ibnu Azka, 1413 H).



[1] Mahasiswa Tafsir-Hadits STAI Persis Garut
[2] Mahmud al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadits, (Beirut: Dar el-Fikr, __), hlm 46, selanjutnya ditulis Mahmud al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadits
[3] Abdul Karim bin Abdullah bin Abdu al-Rahman al-Khudir, Tahqiq al-Rughbah Fi Taudlih al-Nuhbah, (Riyadl: Maktabah Dar al-Minhaj, 1426 H), 74-75.
[4] Mahmud al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadits, hlm 46.
[5] Ibid
[6] Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi dalam Moh. Isom Yusqi, Metodologi Penyelesaian Hadits Kontradiktif, (Jakarta: CV. Sukses Bersama, 2006), hlm 135-139. Selanjutnya ditulis Moh. Isom Yusqi, Metodologi Penyelesaian Hadits Kontradiktif
[7] Al-Thahawiy, Musykil al-Atsar, dalam ibid
[8] Mahmud al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadits, hlm 46.
[9] Moh. Isom Yusqi, Metodologi Penyelesaian Hadits Kontradiktif, hlm 137.
[10] Moh. Isom Yusqi, Metodologi Penyelesaian Hadits Kontradiktif, hlm 139
[11] Contoh-contoh yang penulis kutip adalah dari karyanya ust Aceng Zakaria. Lihat A. Zakaria, Mabad al-Awaliyyah, fi ilmil Musthalah, (Garut: Ibnu Azka, 1413 H), hlm 34-35.
[12] Shalahudin Ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn Ind Ulama’ al-Hadits al-Nabawi, terj. H.M Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Kritik Metodologi Matan Hadits, (Tangerang: Gaya Media Pratama, 2004), hlm 234
[13] ibid, hlm 235-236
[14] Mahmud al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadits, hlm 48. Lihat juga muhammad Ajaz al-khatib, ushul al-Hadits Ulumihi wa musthalahihi, (Beirut: Dar el-Fikr, 2009), hlm 184-185. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar