UN Bukan Segalanya
Oleh: Jajang Hidayatullah[1]
Ujian nasional (UN) bagi sebagian siswa bisa jadi
merupakan sesuatu yang ditunggu-tunggu, karena kehadirannya akan membuktikan
bahwa dirinya akan segera lulus dan mendapatkan ijazah. Kelulusan pun menjadi pertaruhan
reputasi siswa sekaligus lembaga pendidikannya. Tapi disisi lain, justru UN ini
dirasakan begitu ‘menyeramkan’, bagaimana tidak, bisa dibayangkan pejuangan
belajar bertahun-tahun bisa saja kandas gara-gara UN yeng beberapa hari mata
pelajaran saja. Meskipun katanya UN kali ini tidak demikian.
Ditambah lagi pengawasan UN ini akan di jaga sangat
ketat. Tengok saja dari mulai pendistribusian soal UN saja, polisi dengan senjata lengkap ikut dilibatkan
untuk melakukan pengawalan ekstra ketat layaknya sedang memburu teroris.
Katanya, hal ini dilakukan untuk mengantisipasi ‘kebocoran’ soal. Sekaligus—menurut
hemat saya—tindakan ini merupakan bukti bahwa pemerintah sepertinya agak
tidak percaya kalau penyelengaraan UN kali ini akan bersih dari penyelewengan.
Terlepas dari itu semua, sesungguhnya UN bukan segalanya.
Bobroknya pendidikan di Negri ini, tidak akan bisa terjawab hanya dengan ‘pagelaraan’
UN saja. Apalagi kalau berkaca pada sebelumnya, banyak siswa yang kandas karena
gagal UN. Belum lagi sebagian kalangan menyatakan bahwa UN ini sebenarnya merupakan
bukti gagalnya pendidikan Indonesia. Indikasinya, lihat saja materi yang di-UN
kan hanya fokus memperhatikan aspek kognitif saja, sedangkan aspek afektif dan
psikomotorik yang sering dogembar-gemborkan pakar pendidikan cenderung
diabaikan. Tidak salah memang kalau ada orang yang mengatakan bahwa orang-orang
yang gemar korupsi merupakan jebolan-jebolan lembaga pendidikan Negri ini yang
mengenyampingkan nilai-nilai moralitas.
Lucunya, fakta ini tidak di jadikan cambuk; baik bagi
pemerintah maupun lembaga pendidikan. Bagi sebagian lembaga pendidikan,
sebagian aktivitas belajar mengajar siswa malah fokus diarahkan untuk
mempersiapkan dan menyambut pagelaran yang tidak memperhatikan tunjukan
pendidikan secara komprehensif itu (baca: UN). Persiapan otak dan mental pun
digelar jauh-jauh hari sebelumnya, pada akhirnya Sistem pendidikan pun
‘terjebak’. karena memposisikan UN seperti itu. Bahkan yang lepih parah, orang
tua pun ikut-ikutan menyangsikan dan mempertanyakan lembaga pendidikan yang
tidak ada UN nya. Karena takut anak nya tidak punya ijazah negri.
Tentunya kita berharap efektivitas UN di evaluasi
kembali, karena pada faktanya UN ini tidak mencerminkan pendidikan berkarakter
yang sempat diharapkan Mendiknas waktu lalu. Sampai saat ini lembaga pendidikan
yang ada—apalagi pesantren—tidak perlu berharap banyak terhadap UN ini. Yang
harus segera dan mendesak dilakukan justru upaya konseptualisasi lembaga
pendidkan terhadap konsep ilmu menurut Islam—tentunya yang tidak sekuler—ke
dalam sebuah sistem dan kurikulum pendidikan. Semoga...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar