Jumat, 20 April 2012

UN Bukan Segalanya


UN Bukan Segalanya
Oleh: Jajang Hidayatullah[1]

Ujian nasional (UN) bagi sebagian siswa bisa jadi merupakan sesuatu yang ditunggu-tunggu, karena kehadirannya akan membuktikan bahwa dirinya akan segera lulus dan mendapatkan ijazah. Kelulusan pun menjadi pertaruhan reputasi siswa sekaligus lembaga pendidikannya. Tapi disisi lain, justru UN ini dirasakan begitu ‘menyeramkan’, bagaimana tidak, bisa dibayangkan pejuangan belajar bertahun-tahun bisa saja kandas gara-gara UN yeng beberapa hari mata pelajaran saja. Meskipun katanya UN kali ini tidak demikian.
Ditambah lagi pengawasan UN ini akan di jaga sangat ketat. Tengok saja dari mulai pendistribusian soal UN saja,  polisi dengan senjata lengkap ikut dilibatkan untuk melakukan pengawalan ekstra ketat layaknya sedang memburu teroris. Katanya, hal ini dilakukan untuk mengantisipasi ‘kebocoran’ soal. Sekaligus—menurut hemat saya—tindakan ini merupakan bukti bahwa pemerintah sepertinya agak tidak percaya kalau penyelengaraan UN kali ini akan bersih dari penyelewengan.
Terlepas dari itu semua, sesungguhnya UN bukan segalanya. Bobroknya pendidikan di Negri ini, tidak akan bisa terjawab hanya dengan ‘pagelaraan’ UN saja. Apalagi kalau berkaca pada sebelumnya, banyak siswa yang kandas karena gagal UN. Belum lagi sebagian kalangan menyatakan bahwa UN ini sebenarnya merupakan bukti gagalnya pendidikan Indonesia. Indikasinya, lihat saja materi yang di-UN kan hanya fokus memperhatikan aspek kognitif saja, sedangkan aspek afektif dan psikomotorik yang sering dogembar-gemborkan pakar pendidikan cenderung diabaikan. Tidak salah memang kalau ada orang yang mengatakan bahwa orang-orang yang gemar korupsi merupakan jebolan-jebolan lembaga pendidikan Negri ini yang mengenyampingkan nilai-nilai moralitas.
Lucunya, fakta ini tidak di jadikan cambuk; baik bagi pemerintah maupun lembaga pendidikan. Bagi sebagian lembaga pendidikan, sebagian aktivitas belajar mengajar siswa malah fokus diarahkan untuk mempersiapkan dan menyambut pagelaran yang tidak memperhatikan tunjukan pendidikan secara komprehensif itu (baca: UN). Persiapan otak dan mental pun digelar jauh-jauh hari sebelumnya, pada akhirnya Sistem pendidikan pun ‘terjebak’. karena memposisikan UN seperti itu. Bahkan yang lepih parah, orang tua pun ikut-ikutan menyangsikan dan mempertanyakan lembaga pendidikan yang tidak ada UN nya. Karena takut anak nya tidak punya ijazah negri.
Tentunya kita berharap efektivitas UN di evaluasi kembali, karena pada faktanya UN ini tidak mencerminkan pendidikan berkarakter yang sempat diharapkan Mendiknas waktu lalu. Sampai saat ini lembaga pendidikan yang ada—apalagi pesantren—tidak perlu berharap banyak terhadap UN ini. Yang harus segera dan mendesak dilakukan justru upaya konseptualisasi lembaga pendidkan terhadap konsep ilmu menurut Islam—tentunya yang tidak sekuler—ke dalam sebuah sistem dan kurikulum pendidikan. Semoga...



[1] Mahasiswa Tafsir-Hadits STAI Persis Garut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar