Liberalisasi Islam dan Islam
Liberal
Oleh:
Jajang Hidayattullah
Pendahuluan
Deklarasi trang-trangan yang dilakukan jaringan
Islam Liberlal waktu lalu, menjadi babak baru bagi pergulatan pemikiran
Islam—khususnya Indonesia. Ternyata, sejumlah aksinya yang masif telah
‘mengundng’ respon kuat dari berbagai kalangan yang tidak ingin ajaran Islam
;diacak-acak’ (dekonstruksi). Sehingga MUI (Majelis Ulama Indonesia) pun,
dengan otoritasnya unjuk bicara dengan menfatwakan haram bagi umat Islam menganut faham ‘liberal’. Namun sejumlah aktivis liberal
menyayangkan fatwa tersebut. Mereka menganggap dan menuduh MUI tidak faham
makna liberalisme. Tulisan ini mencoba mengupas hal tersebut; dimana
ke’sesat’an ‘liberalisme’ juga bagaimana sepak terjang komunitas yang mengatas
namakan JIL (Jaringan Islam Liberal) di Indonesia?
Sejarah
Singkat Liberalisme
Syamsuddin
Arief menyatakan bahwa Istilah ‘Liberalisme’ berasal dari bahsa latin, Liber, yang artinya ‘bebas’ atau
‘merdeka’. Hingga pengujung abad ke-18 Masehi, istilah ini terkait erat dengan
konsep manusia merdeka, bisa merdeka semenjak lahir ataupun merdeka setelah
dibebaskan, yakni mantan budak (freedman).
Dari sinilah muncul istilah ‘liberal arts’ yang berarti ilmu yang berguna bagi
dan sepatutnya dimiliki setiap manusia merdeka, yaitu aritmetika, geometri,
astronomi dan music (quadrivium)
serta gramatika, logika dan retorika (trivium).
Selanjutnya
beliau menyatakan, pakar sejarah Barat biasanya menunjuk moto revolusi Perancis
1789—kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberte,
egalite, fraternite) sebagai piagam agung (magna charta) liberalisme modern. Sebagaimana diungkapkan oleh H.
Gruber, prinsip liberalisme yang paling mendasar ialah pernyataan bahwa tunduk
pada otoritas—apapun namanya—adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan
dan harga diri manusia—yakni ototiras yang akarnya, aturannya, ukurannya dan
ketepatannya ada diluar dirinya (it is
contrary to the natural, inate, and inalienable right and liberty and dignitiy
of man, to subject himself to an authority, the root, rule, mesure, and
sanction of which is not in himself). Disini kita mencium bau sophisme dan
relativisme ala falsafah Protagoras
yang mengajarkan bahwa “manusia adalah ukuran dari segalanya”—sebuah doktrin yang
kemudian dirayakan oleh para penganut nihilism semacam Nietzche.
Sebagai anak
kandung humanisme dan Reformasi abad ke-15 dan ke-16, liberalisme telah
dikembangkan oleh para pemikir dan cendekiawan di Inggris (Locke dan Hume), di
Perancis (Rousseau dan Diderot) dan di Jerman (Lessing dan Kant). Gagasan ini
banyak diminati oleh elit terpelajar dan bangsawan yang menyukai kebebasan
berfikir tanpa batas. Sebagaimana dinyatakan oleh Germanie de stael dalam
karyanya, Consideral sur les principaux
evenements de la Revolution francaise (1818), kaum liberal menuntut
kebebasan individu yang seluas-seluasnya, menolak klaim pemegang otoritas
tuhan, dan menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja[1].
Syamsuddin
Arief menyimpulkan bahwa faham liberalisme mencakup tiga hal: pertama, kebebasan berfikir tanpa batas alias free thinking. kedua, senantiasa meragukan dan menolak kebenaran alias sophisme. Dan tiga, sikap longgar dan semena-mena dalam beragama (loose adherence to and free exercise of
religion). Yang pertama berarti kebebasan memikirkan apa saja dan siapa
saja. “berfikir kok dilarang”, ujar
golongan ini. Yang kedua lebih dikenal dengan istilah ‘sufasta’iyyah’, yang berarti skeptisisme, agnostisisme dan
relativisme. Sementara yang disebut terakhir tidak lain dan tidak bukan adalah
manifestasi nifaq, dimana seorang
tidak mau dikatakan kafir walaupun dirinya sudah tidak committed lagi pada ajaran agama[2].
Islam
Liberal; Berawal Dari Tradisi Yahudi Dan Kristen
Proses
liberalisasi sebenarnya terjadi pada berbagai bidang kehidupan, baik bidang
politik, ekonomi, social, informasi, moral dan sebagainya, termasuk bidang
agama[3].
Agama yahudi telah lama mengalami liberalisasi, sehingga saat ini, “Liberal Judaism” (Yahudi Liberal) secara
resmi masuk dalam salah satu aliran dalam agama yahudi. Perkembangan
liberalisasi dalam agama Kristen juga sudah sangat jauh. Bahkan agama Kristen
bisa dikatakan sebagai salah satu “korban” liberalisasi dari peradaban Barat.
Agama Kristen mulai bersinar di Eropa ketika pada tahun 313, kaisar Konstantin
mengeluarkan surat perintah (edik)
yang isinya memberi kebebasan warga Romawi untuk memeluk agam Kristen. Bahkan
pada tahun 380, Kristen dijadikan sebagai agama Negara oleh kaisar Teodesius.
Menurut edik Teodesius, semua warga
Romawi diwajibkan menjadi anggota gereja Katolik. Agama-agama kafir dilarang.
Bahkan sekte-sekte Kristen diluar “gereja resmi” pun dilarang[4].
Dalam
sejarah Kristen Eropa, kata secular
dan liberal dimaknai sebagai
pembebasan masyarakat dari cengraman kekuasaan gereja, yang sangat kuat dan
hegemonic di Zaman Pertengahan. Proses berikutnya bukan saja dalam bidang
social-politik, tetapi juga menyangkut metodologi pemahaman keagamaan.
Misalnya—sebagaiman disebutkan diatas—munculnya pemikiran yahudi liberal
(liberal judaism), dengan tokohnya Abraham Geiger, begitu juga merebaknya
pemikiran teologi liberal dalam dunia Kristen. Proses
sekuleriasasi-liberalisasi agama, kemudian diglobalkan dan dipromosikan ke
agama-agama lainnya termasu Islam[5].
Dengan
berbagai keistimewaan yang dinikmatinya, Kristen kemudian menyebar ke berbagai
penjuru dunia, hingga kini jumlah pemeluknya mencapai sekitar 1,9 milyar jiwa,
meskipun terbagi kedalam sejumlah agama (Katolik, Protestan, Orthodoks). Tapi
jika dicermati lebih jauh, perkembangan gereja-gereja di Eropa—asal persebaran
Kristen—cukup menyedihkan. Sebuah buku yang ditulis Herlianto-seorang aktivis
Kristen asal Bandung-berjudul Gereja
Modern, Mau Kemana? (1995) memaparkan dengan jelas kehancuran gereja-gereja
di Eropa. Kristen kelabakan dihantam nilai-nilai sekularisme, modernism, liberalism
dan “klenikisme”[6].
Pak Adian
menggambarkan, misalnya di Amsterdam saja 200 tahun lalu 99% penduduknya
beragama Kristen. Kini, tinggal 10% saja yang dibaptis dan ke gereja.
Kebanyakan mereka sudah tidak terikat lagi dalam agama atau sudah menjadi
sekuler. Di Prancis, yang 95%
penduduknya beragama katolik, hanya 13% saja yang menghadiri kebaktian di
gereja seminggu sekali.
Selanjutnya
di Jerman, menurut laporan Institut for
Public Opinian Research, 46% penduduknya mengatakan bahwa “agama sudah
tidak diperlukan lagi”. Di Finlandia, yang 97% Kristen, hanya 3% saja yang
pergi ke gereja tiap minggu. Di Norwegia, yang 90% Kristen, hanya setengahnya
saja yang percaya pada dasar-dasar kepercayaan Kristen. Juga hanya 3% yang
rutin ke gereja tiap minggu[7].
Masyarakat
Kristen Eropa juga tergila-gila pada paranormal, mengalahkan kepercayaan mereka
pada pendeta atau imam katolik. Di Jerman Barat—sebelum bersatu dengan Jerman
Timur—terdapat 30.000 pendeta. Tetapi jumlah peramal (dukun klenik/witchcraft) mencapai 90.000 orang. Di
Perancis terdapat 26.000 imam katolik, tetapi jumlah peramal bintang (astrolog)
yang terdaftar mencapai 40.000 orang.
Fenomena
Kristen Eropa menunjukan, agama Kristen kelabakan menghadapi serbuan arus
budaya Barat yang didominasi nilai-nilai Liberalisme, sekulerisme dan hedonism.
Serbuan praktik perdukunan juga tidak mampu dibendung. Disejumlah gereja, arus
liberalisasi mulai melanda. Misalnya, gereja mulai menerima praktik-praktik
homoseksualitas. Eric James seorang pejabat gereja dalam bukunya “homosexsuality and a Pastoral Church”
menghimbau agar gereja memberikan toleransi pada kehidupan homoseksual dan
mengijinkan perkawinan homoseksual antara pria dengan pria atau wanita dengan
wanita[8].
Sejumlah
Negara Barat telah melakukan “revolusi jingga”, karena secara resmi telah
mengesahkan perkawinan sejenis. Parlemen Jerman masih terus memperdebatkan
undang-undang serupa. Di berbagai Negara Barat, praktik homoseksual bukanlah
dianggap sebagai kejahatan. Begitu juga praktik-praktik perzinaan, minuman
keras, pornografi, dan sebagainya. Barat tidak mengenal system dan standar
nilai (baik-buruk) yang pasti. Semua serba relative; diserahkan kepada
“kesepakatan” dan “kepantasan” umum yang berlaku[9].
Maka
kemudian, sangat aneh dan tidak nyambung,
dengan alasan “kemajuan” Negara-negara Barat, “aktivis” JIL justru dengan
sangat lantang dan sok berani
mengadopsi nilai-nilai Barat untuk diterapkan dalam Islam—khususnya di
Indoseia. Padahal bagi Negara-negaran ”maju” Barat pun hal itu (baca:
liberalisme) merupakan sesutatu yang sangat menakutkan, merusak dan
membahayakan keberlangsungan beragama. Atau malah, sangat mungkin sekali
kehidupan bernegara pun akan ikut berantakan; karena mau tidak mau liberalisme
akan mengkikis moralitas.
Barat; Mengapa Sekuler-Liberal??
Mengapa
Barat kemudian memilih jalan hidup sekuler-liberal? Menurut analisa Adian
Husaini dalam karyanya yang berjudul Wajah
Peradaban Barat; Dari Hegemoni Kristenke Dominasi Sekuler-Liberal,
menyatakan bahwa setidaknya ada tiga factor penting yang menjadi latar
belakang, mengapa Barat memilih jalan hidup sekuler dan liberal, yaitu:
1.
Problem Sejarah Kristen
Sejarah
kekristenan, kata Bernard Lewis, banyak diwarnai dengan perpecahan (skisma) dan
kekafiran (heresy), dan dengan konflik antar kelompok yang berujung pada
peperangan atau penindasan. Sejarah bermula sejak zaman Konstantin Agung dimana
terjadi konflik antara gereja Konstantinopel dan Roma; antara katolik dan
protestan da antar berbagai sekte dalam Kristen. Setelah banyak konflik-konflik
berdarah banyak terjadi, maka muncul kalangan Kristen yang berfikir, bahw a
kehidupan toleran antar masyarakat hanya mungkin dilakukan jika kekuasaan
gereja untuk mengatur politik dihilangkan begitu juga campur tangan Negara
terhadap gereja.
Dalam
perjalanan sejarahnya, peradaban Barat (Western
Civilazation) telah mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut masa
kegelapan (The Dark Ages). Mereka
menyebutnya juga sebagai zaman pertengahan (The
Medieval ages). Zaman itu dimulai ketika imperium Romawi Barat runtuh pada
476 dan mulai munculnya gereja Kristen sebagai institusi dominan dalam
masyarakat Kristen Barat sampai dengan masuknya zaman renaissance sekitar abad ke-14. Karena itu mereka menyebut zaman
baru dengan istilah “reneissance”
yang artinya “rebirth” (lahir
kembali). Mereka seperti merasa, bahwa hiup dibawah cengkraman kekuasaan
gereja, mereka mengalami kematian. Sebab, ketika itu gereja mengklaim sebagai
institusi resmi wakil tuhan di muka bumi melakukan hegemoni terhadap kehidupan
masyarakat dan melakukan berbagai tindakan brutal yang sangat tidak manusiawi
sejarah dominasi kekkuasaan gereja bisa ditelusuri sejak awal mula tumbuhnya
Kristen sebagai agama Negara di zaman Romawi. Besarnya kekuasaan yang dimiliki
gereja melahirkan berbagai penyimpangan[10].
2.
Problem Teks Bible
Problem ini
berkaitan dengan otentisitas teks Bible dan makna yang terkandung didalamnya.
Ada sebagian kalangan yang dengan gegabah mencoba menyamakan antara Al-Qur’an
dengan Bible, dengan menyatakan bahwa, semuanya adalah kitab suci, dan semuanya
mukjizat. Padahal, kalangan ilmuan Barat yang jeli, bisa membedakan antara
kedua kitab agama itu. Teks Al-Qur’an tidak mengalami problema sebagaiman
problema teks Bible. Norman Daniel dalam bukunya, Islam and the West: the making of an image, menegaskan: “Al-Qur’an
tidak ada bandingannya dengan apa pun di luar Islam” (The Quran has no parallelout side Islam).
Dalam
bukunya yang berjudul “A Textual Commentary on the Greek New
Testament” (terbitan United Bible Societies, Corected editin tahun 1975),
Metzger menulis dipembukaan bukunya ia menjelaskan ada dua kondisi yanh selalu
dihadapi oelh penafsir Bible, yaitu: (1) tidak adanya dokumen Bible yang
original saat ini, dan (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini
bermacam-macam, berbeda satu dengan lainnya[11].
Dan masih banyak lagi data ilmiah yang menyatakan bahwa Bible sangat
problematic.
3.
Problem Teologi Kristen
Dr. C.
Groenen Ofm seorang teolog Belanda, mencatat, “seluruh permasalahan kristologi
didunia Barat berasal dari kenyataan bahwa diduni Barat, tuhan menjadi satu
problem”. Setelah membahas perkembangan pemikiran tentang Yesus Kristus dari
para pemikir dan teolog Kristen yang berpengaruh, ia sampai pada kesimpulan,
bahwa kekacauan para pemikir Kristen didunia Barat hanya mencerminkan
kesimpangsiuran cultural di Barat. “kesimpang siuran itu merupakan akibat
sejarah kebudayaan dunia Barat”. Tulis Groenen.
Menurut
Adian diantara problem teologi Kristen diantaranya beliau menyatakan, sepanjang
sejarag peradaban Barat terjadi banyak persoalan serius dalam perdebatan teologis.
Di zaman pertengahan rasio harus disubordinasikan kepada kepercayaan Kristen.
Akal dan filosofi di zaman pertengahan tidak digunakan untuk mengkritisi atau
menentang doktrin-doktrin kepercayaan Kristen, tetapi digunakan untuk
mengklrafikasi, menjelaskan dan menunjangnya. Sejumlah Ilmuan seperti Saint
Anselm, Abelard, dan Thomas Aquinas mencoba memadukan antara akal (reason) dan
teks Bible (revelation). Sikap para Ilmuan dan pemikir abad pertengahan
digambarkan:
“mereka tidak menolak berbagai keyakina Kristen yang berada diluar
jangkauan akan manusia dan karenanya tidak dapat ditela’ah dengan argument
rasional. Sebaliknya mereka tetap meyakini berbagai keyakinan semcam itu yang
terdapat diayat-ayat yang menerimanya dengan iman. Bagi para pemikir dizaman
pertengahan, akal tidak memiliki keberadaan yang independent tapi pada akhirnya
harus mengakui standar kebenaran yang bersifar suprarasional dan diluar
jangkauan manusia. Mereka ingin agar pemikiran logis diarahkan oleh
batasan-batasan Kristen dan dituntun oleh otoritas scriptural dan keagamaan”.
Problem yang
kemudian muncul adalah ketika para ilmuan dan pemikir diminta mensubordinasikan
dan menundukan semua pemikirannya kepada teks Bible dan otoritas gereja, justru
pada kedua itulah terletak problem itu sendiri. Disamping menghadapi problema
otentisitas, Bible juga memuat hal-hal yang bertentangan dengan akal dan
perkembangan ilmu pengetahuan. Sejumlah ilmuan mengalami benturan dengan gereja
dalam soal ilmu pengetahuan, seperti Galileo Galilei (1546-1543) dan Nicolaus
Copernicus (1473-1543). Bahkan Giordano Bruno (1548-1600), pengagum Nicolaus
Copernicus, dibakar hidup-hidup[12].
Belum lagi
sebuah kenyataan di Barat yang sulit dielakan adalah tuhan menjadi sesuatu yang
problem. Menjelaskan bahwa tuhan itu 1 dalam 3, 3 dalam 1, dan menjelaskan apa
sebenarnya hakikat Yesus, telah membuat seorang cendekiawan seperti Dr. C.
Greonen Ofm “lelah” dan “menyerah”. Ia lalu sampai pada kesimpulan bahwa Yesus
memasng misterius[13].
Dan masih banyak data yang menunjukan bahwa teologi Kristen bermasalah.
Islam
Liberal (?)
Sesungguhnya
Islam liberal adalah istilah yang sangat rancu. Maka jangan aneh kalau segala
bentuk ‘ajaran’ nya pun akan Nampak semakin rancu karena memang berdiri diatas
nama yang rancu. Dalam hal ini Nashruddin Syarief melalui karyanya Menangkal Virus Islam Liberal membuat
catatan dengan menyatakan bahwa menyandingkan Islam dengan Liberal sebenarnya
merupakan sesuatu yang sangat problematic. ‘Islam’ artinya tunduk, patuh,
berserah diri kepada Allah Swt, sementara ‘Liberal’ artinya bebas daris etiap
otoritas. Jadi, jika Islam menuntut adanya kepatuhan kepada aturan ilahi, maka
liberal menghendaki adanya kebebasan dari segala macam aturan ilahi. Itu
artinya tidak mungkin Islam liberal. Islam ya
Islam, tidak dan bukan liberal. Hanya dikarenakan istilah ini sudah
dibakukan oleh segilintir orang untuk menunjuk satu kelompok liberal dalam
komunitas pemikir Islam, maka mau tidak mau dalam kajian ini kita mengikuti
terlebih dahulu penggunaan istilah ‘Islam liberal’ tersebut[14].
Istilah
Islam liberal untuk pertama kalinya diperkenalkan pada tahun 1950-an oleh Asaf
Ali Asghar Fyzee (1899-1981), seorang intelektual muslim-India. Ia menyatakan:
“We Need not Bother about nomenclature,
but if some name has to be given to it, let as call it ‘liberal Islam’”
Pernyataan
Fyzee yang memilih istilah Islam liberal secara pragmatis menunjukan bahwa
istilah tersebut tidaklah dibangun dengan konsep dan teori yang kukuh.
Bagaimanapun, istilah Islam liberal yang ambigu tersebut dipopulerkan oleh
Charles kurzman. Selanjutnya Kurzman member makna liberal sebagai berikut: “pertama,
para penulis dalam bunga rampai ini tidak menganggap diri mereka sebagai
kaum liberal; kedua, para penulis
mungkin tidak mendukung seluruh aspek ideology liberal, sekalipun mereka
menganut beberapa diantaranya; ketiga,
bahwa istilah ‘liberal’ mengandung konotasi negative bagi sebagian dunia Islam,
dimana ia diasosiasikan dengan dominasi asing, kapitalisme tanpa batas,
kemunafikan yang mendewakan kebenaran dan permusuhan kepada Islam; keempat, konsep ‘Islam liberal’ harus
dibuat sebagai alat bantu analisis, bukan kategori yang mutlak; kelima, saya tidak membuat klaim apa pun
mengenai “kebenaran” interpretasi liberal terhadap Islam. Saya tidak punya
kualifikasi untuk terlibat dalam perdebatan-perdebatan yang demikian; saya
ingin mendeskripsikannya saja“.
Menurut
analisa Adian Husaini, makna Islam liberal yang dikemukakan Kurzman
‘sesukahatinya’ tidak memiliki batasan yang jelas. Oleh sebab itu, Kurzman
memasukan nama Yusuf al-Qardawi dan Muhammad Natsir sebagai pemikir Islam
liberal. Padahal, karya-karya Yusuf al-Qardawi dan M. Natsir tidak sesuai untuk
dikawinkan dengan gagasan Islam liberal yang sumber pemikirannya adalah akal
yang skeptic. Yusuf al-Qardawi adalah seorang Ulam yang mengkritik
pemikiran-pemikiran Liberal dalam Islam dan al-marhum
Muhammad Natsir adalah seorang tokoh partai Islam (Masyumi) terkemuka dan
pendiri Dewan Dakwah Islamiah dan juga tokoh Ulama Persis (Persatuan Islam)[15].
Liberalisasi
Agama Islam
Mencermati
berbagai perkembangan faham Islam liberal dikalangan umat Islam, setidaknya ada
tiga aspek penting dalam Islam yang sedang gencar mengalami liberalisasi saat
ini, yaitu:
1.
Dalam aspek Syari’at. Berbagai
hokum-hukum yang tetap (qath’iy)
dibongkar dan diubah untuk disesuaikan dengan zaman, seperti hokum perzinaan,
hokum homoseksual, hokum murtad, hokum perkawinan antar umat beragama, dan
sebagainya. Bagi kaum liberal tidak ada yang tetap dalam agama, sebab mereka
memandang agama adalah bagian dari proses dinamika sejarah, sebagaimana kaum
yahudi dan Kristen liberal dalam memandang agama mereka. Padahal, Islam
bukanlah agama evolutif, yang berkembang mengikuti zaman. Islam adalah agama
yang sudah sempurna sejak awal (QS. 5: 3). Sejak lahirnya Islam sudah dewasa,
bukan lahir bayi, lalu berkembang jadi dewasa, sebagaimana agama-agama sejarah
dan budaya, seperti yahudi Kristen dan sebagainya. Karena itu konsep dasar
aqidah dan ritual (ibadah) dalam Islam bersifat final. Dan tidak berkembang
mengikuti proses dinamika sejarah, sebab Islam bukan agama sejarah.
2.
Dalam Aspek Al-Qur’an. umat Islam
Indonesia khususnya sedang memasuki babak baru, dengan dikembangkannya metode
studi kritik Al-Qur’an, mengikuti metode studi kritik Bible. Kasus penginjakan
lafadz Allah di IAIN Surabaya, oelh dosen setempat, 5 Mei 2006, merupakan kasus
baru sepanjang sejarah umat Islam. Menurut laporan majalah GATRA edisi 7 Juni
2006, dosen yang bernama Sulhawi Ruba, 51 tahun pada 5 Mei 2006 lalu, itu
memang sengaja meninjak-injak lafadz Allah yang ditulisnya pada secarik kertas[16].
Dalam
pandangan Nasr Hamid misalnya, teks ilahi (divine
text) berubah menjadi teks manusiawi (human
text) sejak turunya wahyu yang pertama kali kepada Muhammad. Nasr Hamid
menyatakan: “teks sejak awal
diturunkan—ketika teks diwahyukan dan dibaca oleh Nabi--, ia berubah
dari sebuah teks ilahi (nash ilahi)
menjadi sebuah konsep atau teks manusiawi
(nash insani), karena ia
beruabah dari tanzil menjadi takwil. Pemahaman Muhammad atas teks
mempresentasikan tahap paling awal dalam interaksi teks dengan akal manusia”.
Dalam
pandangan Nasr Hamid, teks Al-Qur’an terbentuk dalam relitas dan budaya, selama
lebih dari 20 tahun. Oleh sebab itu, Al-Qur’an adalah ‘produk budaya’ (muntaj tsaqafi). Ia juga menjadi
‘produsen budaya’ (muntij
li al-tsaqafah) karena menjadi teks yang hegemonic dan menjadi rujukan bagi
teks yang lain. Disebabkan realitas dan budaya tidak bisa dipisah kan dari
bahasa manusia, maka Nasr Hamid juga menganggap Al-Qur’an sebagai teks bahasa (nash lughawi). Relitas, budaya dan
bahasa merupakan fenomena historis dan mempunyai konteks spesifikasinya
sendiri. Oleh sebab itu Al-Qur’an adalah teks historis (a historical text). Historitas teks, realitas dan budaya sekaligus
bahasa, menunjukan bahwa Al-Qur’an adalah teks manusiawi (nash insani)[17].
Atau Muhammad Arkoun pernah
menyatakan, “jika kita terus menerus melihat Al-Qur’an sebagai teks agama yang
transenden, dalam arti mengandung hakikat yang menjadikan kehadiran Allah itu
nyata, maka kita tidak mungkin menghindari problem-problem pemikiran teologis dan
penelitian teologis. Urusan teolog tidaklah terbatas pada peran mufti, imam,
atau syeikh (tokoh agamawan). Teologi lebi focus pada rasionalitas imam serta
lebih berorientasi pada dealektika antara system pengetahuan yang ada pada masa
tertentu dan problem-
problem yang disebabkam mekanisme
kerja teks agama atau tradisi agama. Dus,
dialektika antara tradisi dan sejarah, sekaligus telah melontarkan dilemma
modernitas dan usaha masalah menjawab kekinian dengan metode rasional yang
memperhatikan perkembangan dan perubahan zaman.[18]”
Padahal
sesunguhnya Al-Qur’an bukan produk budaya, karena Al-Qur’an merupakan bukanlah
hasil kesinambungan dari budaya yang ada. Al-Qur’an justru membawa budaya baru
dengan menentang serta mengubah budaya yang ada. Jadi, Al-Qur’an bukanlah
produk budaya Arab jahiliyyah. Namun justru kebudayaan jahiliyyah Arab yang
diubah pada zaman Rasulullah Saw. Jadi, budaya pada zaman Rasulullah Saw adalah
produk dari pada Al-Qur’an, bukan sebaliknya.
Al-Qur’an
juga bukan teks bahasa Arab biasa, sebagaimana teks-teks sastra Arab lainnya.
Menurut al-Attas, bahasa Arab Al-Qur’an adalah bahasa Arab bentuk baru.
Sejumlah kosakata pada saat itu, telah diIslamkan maknanya[19].
Jika Al-Qur’an produk teks bahasa biasa, maka teks tersebut akan dengan mudah
difahami oleh orang Arab pada saat itu. Tetapi kenyataannya justru sebaliknya[20].
3.
Pluralisme Agama. Yang didasarkan
pada asumsi bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju tuhan yang
sama. Jadi, menurut penganut faham ini semua agama adalah jalan yang
berbeda-beda menuju tuhan yang sama. Tuhan—siapapun namaNya—tidak menjadi
masalah[21].
Jaringan Islam
liberal (JIL)
Runtuhnya
orde baru tahun 1998 membuka keran kebebasan social, politik dan intelektual.
Arena pertarungan intelektual arena pertarungan
intelektual tidak lagi dipasung oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu.
Keberpihakan Soeharto selama dua decade awal kepemimpinannya terhadap kelompok
pembaru (baca: Liberal) mulai pudar saat ICMI berdiri. Pada saat yang sama,
kelompok-kelompok dakwah yang dahulu masuk daftar musuh Soeharto dirangkul.
Dengan cara itu tidak terjadi lagi pertarungan ideologis dan intelektual
dikalangan Umat Islam yang selama tahun ’70-an dan ’80-an muncul ke permukaan.
Saat keran kebebasan dibuka oleh gerakan Reformasi masing-masing kelompok yang
disatukan dalam satu kepentingan Soeharto ini akhirnya muncul kembali dengan
perbenturan lama yang memang hanya reda sementara oleh kepentingan politik.
Sejatinya belum ada rekonsiliasi pemikiran antara kelompok dakwah dan
pembaruan.
Kedua
kelompok ini muncul kembali dengan mengusung perbenturan pemikiran lama dengan
wajah dan actor baru. Pertarungan pemikiran kali ini muncul dengan wajah yang
lebih akademis. Sebab, kepentingan politis tidak kagi dominan. Kalau pun ada
usaha-usaha dari kedua kelompok ini untuk berebut pengaruh dari
kekuatan-kekuatan politik tertentu, probabilitasnya menjadi sama. Kalau salah
satunya kenetulan dapat mendorong penguasa yang didukungnya, maka kelompok
itulah yang diuntungkan oleh politik.
Kelompok
yang dahulu dinamakan sebagai “pembaruan Islam” semenjak reformasi 1998 lebih
popular dengan Istilah “Islam Liberal”. Munculnya istilah ini seiring dengan
berdirinya sebuah LSM bernama Jaringan Islam Liberal (JIL) dibawah komando Ulil
Abshar Abdalla. LSM ini mengaku sebagai penerus gagasan-gagasan Nurcholis
Madjid dan kawan-kawan dimasa lalu. Keberpihakannya dan genealoginya dapat
ditarik sampai kepada Nurcholis Madjid. Hal ini diperkuat dengan kolaborasinya
secara penuh dengan Yayasan Paramadina yang didirikan dan dipimpin oleh
Nurcholis Madjid. Bahkan sampai saat ini Universitas Paramadina menjadi semacam
“laboratorium” pemikiran JIL.
Wacana yang
berkembang pada kelompok ini pun terbilang wacana lama yang juga diusung oleh
kelompok “pembaruan”. Wacana tersebut memperlihatkan keterpengaruhan yang
sangat kental oleh wacana kaum orientalis. Wacana tersebut antara lain masalah:
Islam dan Negara, Islam dan Demokrasi, Kebebasan Perempuan, Pluralisme Agama,
Toleransi Agama, Kontekstualisasi Al-Qur’an, Rekonstruksi Hadits, pemisahan
Agama denga politik (sekulerisasi). Realitas ini semakin menegaskan
“kesedarahan” pemikiran mereka pada kelompok pembaru[22].
Munculnya
jaringan Islam Liberal ini seolah-olah menandai deklarasi terang-terangan
munculnya kembali gerakan liberal dalam kancah pertarungan pemikiran Islam di
Indonesia yang pernah menghangat pada tahun ’70-an dan ’80-an. Bahkan, bagi
sebagian kalangan yang tidak memahami perkembangan pemikiran liberal menganggap
bahwa yang dimaksud dengan kelompok liberal hanyalah JIL. Kelompok atau
orang-orang yang tidak masuk dalam JIL dianggap tidak berpikir liberal. Padahal
sebelumnya mereka tidak menyebut diri sebagai kelompok Liberal. Kata-kata
“liberal” sendiri baru poluler saat JIL dideklarasikan. Sebelumnya pemikir-pemikir
yang dianggap liberal diberi istilah oleh para peneliti sebagai kelompok
“pembaru” karena dianggap membawa cara pandang baru terhadap Islam yang berbeda
dengan cara sebelumnya. Bahkan dengan cara pandang kelompok Islam pembaru yang
sering disebut kelompok “modernis” seperti Muhamadiyah, Persis dan Al-Irsyad.
Karena hanya
berganti nama, fenomena kelompok liberal ini sudah bukan lagi hanya berkutat
pada arus wacana, melainkan telah menggelinding ke ranah-ranah lain yang lebih
bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat pada umumnya atau sudah
menjadi semacam gerakan. Salah satu contoh, produk-produk pemikiran kelompok
liberal kini telah masuk ke dalam ranah-ranah kebijakan public dalam bidang
pendidikan (agama) dan kebijakan keagamaan[23].
Islam Liberal versi JIL?
Ulil Abshar
Abdalla sang komando JIL menyatakan bahwa Islam Liberal adalah suatu
bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan:
1.
Membuka pintu ijtihad pada semua
dimensi Islam. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas
teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa
bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau
secara keseluruhan adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian
Islam akan mengalami pembusukan. Islam liberal percaya bahwa ijtihad bisa
diselenggarakan dalam semua segi, baik segi mu’amalat (interaksi sosial),
ubudiyat (ritual), dan ilahiyat (teologi).
2.
Mengutamakan semangat religiio
etik, bukan makna literal teks. Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal
adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur’an dan
Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal
sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan
penafsiran yang berdasarkan religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang
secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.
3.
Mempercayai kebenaran yang
relative, terbuka dan plural. Islam liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang
kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relative, sebab
sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks
tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah,
selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan dalam satu dan
lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir disuatu masa dan
ruang yang terus berubah-ubah.
4.
Memihak pada yang minoritas dan
tertindas. Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak pada kaum
minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur social-politik yang
mengawetkan praktek ketidak adilan atas yang minoritas adalah berlawan dengan
semangat Islam. Minoritas disini difahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas
agama, etnik, ras, gender, budaya, politik dan ekonomi.
5.
Meyakini kebebasan beragama.
Islam Liberal meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak
perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan
penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.
6.
Memisahkan otoritas duniawi dan
ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik. Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan
keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang Negara agama
(teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk Negara yang sehat bagi kehidupan
agama dan politik adalah Negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama
adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan public, tetapi agama
tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan public. Agama
berada diruang privat, dan urusan public harus diselenggarakan melalui proses
consensus[24].
Tujuan
Berdirinya Jaringan Islam Liberal
Merombak
Islam ke akar-akarnya dengan membuang sumber ajaran dan melakukan penafsiran
ulang adalah tujuan yang bisa dibaca dari gerakan mereka. Situs resmi JIL
memaparkan misi JIL:
Pertama, mengembangkan penafsiran Islam
yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang kami anut, serta menyebarkannya
kepada seluas mungkin khalayak.
Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan
konservatisme. Kami yakin, terbukanya ruang dialog akan memekarkan pemikiran
dan gerakan Islam yang sehat.
Ketiga, mengupayakan terciptanya
struktur social dan politik yang adil dan manusiawi[25].
Lutfi Asy-Syaukanie tokoh Islam
Liberal mengatakan, “saya melihat bahwa mayoritas umat Islam yang ada sekarang
adalah Islam ortodoks, baik dalam wajahnya yang fundamentalis (dalam sikap
polotis) maupun konservatif (dalam pemahaman keagamaan). Islam Liberal datang sebagai sebuah bentuk protes dan
perlawanan terhadap dominasi itu. Ketika kita mengatakan ‘bebas dari’ dan
‘bebas untuk’, kita memposisikan diri menjadi seorang ‘protestan’ yang berusaha
mencari hal-hal yang baik dari warisan agama dan membuang hal-hal yang buruk.
Saya membayangkan semangat protestanisme itu adalah semangat yang seluruhnya
bersifat positif, seperti yang dijelaskan dengan sangat bagus oleh Weber. Dalam
bayangan saya, ‘Islam Liberal’ adalah sebuah gerakan reformasi (bukan dalam
pengertian mahasiswa, tapi pengertian semangat protestanisme klasik) yang
berusaha memperbaiki kehidupan umat Islam, baik menyangkut pemahaman
keberagamaan mereka maupun persoalan-persoalan lainnya (ekonomi, politik,
budaya dll)[26]”
Azyumardi
Azra, justru malah memuji ketika
melihat munculnya fenomena liberalisasi pemikiran Islam dikalangan NU—termasuk
Ulil Abshar Abdalla—yang mengalami perkembangan semakin intens dengan
menyatakan bahwa kemampuan mereka (baca: liberalisasi Islam) menampilkan
pemikiran yang adaptif dan responsive terhadap tuntunan zaman. Menurutnya,
realitas ini sekaligus merupakan indicator bahwa penilaian tradisionalisme
terhadap NU semakin tidak releven lagi bagi NU sekarang. Justru realitas yang
sedang terjadi adalah tumbuhnya kecenderungan liberalisasi pemikiran[27].
Harun
Nasution dalam bukunya Islam Rasional,
‘ikut-ikutan’ menyatakan bahwa lulusan IAIN itu harus menjadi Ulama yang
bersikap rasional; yaitu ulama zaman klasik yang melaksanakan ajaran Al-Qur’an
untuk banyak mempergunakan akal, yang dihembuskan Allah kedalam dirinya dengan
ruh, dan ajaran hadits untuk menuntut ilmu, bukan hanya ilmu agama, tetapi juga
ilmu yang ada dinegri cina yang sudah barang tentu bukanlah ilmu agama[28].
Abu Umar
Abdillah memberi catatan atas pernyataan diatas dengan menyatakan bahwa,
“tampak dari pernyataan Lutfi, bahwa JIL berdiri sebagai protestan bagi Islam,
sebagaimana Marthin Luther berdiri sebagai protestan bagi agama Katholik. Kalau
gerakan Marthin Luther adalah reaksi dari penyimpangan para gerejawan yang
mengeruk dunia atas nama agama, sedangkan JIL menuduh para sahabat, tabi’in,
ulama madzhab dan para salaf telah menyimpangkan Islam untuk melanggengkan
status quo mereka. Karena itulah JIL melakukan penafsiran ulang terhadap Islam,
bukan lagi menurut ulama Islam, tetapi mengikuti kafirin Barat[29]”.
Lagi-lagi apa yang dikatakan Azuymardi azra dan Harun Nasution semakin
menegaskan bahwa mereka sangat tidak memahami bahwa sesungguhnya Islam tidak
menghendaki liberalisasi. Padahal kalau sekiranya “tidak ada” teks dalam Islam
yang menjelaskan sebuah persoalan; bukan kah dalam Islam ada konsep Ijtihad!?
Sejatinya ijtihad dengan liberalisasi sangat berbeda. Akan tetapi hal itu tidak
pernah diketahui oleh mereka yang liberal.
Agenda
Kegiatan Pokok JIL
Dari hasil
wawancara Budi Handrianto dengan komando Islam Liberal, Ulil Abshar Abdalla
menyatakan bahwa kegiatan pokok Islam Liberal yang sudah dilakukan,
diantaranya:
Sindikasi penulis Islam liberal, maksudnya adalah mengumpulkan
tulisan sejumlah penulis yang selama ini dikenal (atau belum dikenal) oleh
public luas pembela pluralisme dan
inklusivisme. Sindikasi ini akan menyediakan bahan-bahan tulisan, wawancara dan
artikel yang baik untuk Koran-koran di daerah yang biasanya mengalami kesulitan
untuk mendapatkan penulis yang baik. Dengan adanya “otonomi daerah” maka peran
media local makin penting, dan suara-suara keagamaan yang toleran juga penting
untuk disebarkan melalui media daerah ini. Setiap minggu akan disediakan
artikel dan wawancara untuk Koran-koran daerah.
Talk-Show di Kantor Berita Radio
68H. Talk-Show
ini akan mengundang sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai “pendekar
Pluralisme dan inklusivisme” untuk berbicara tentang berbagai isu
social-keagamaan ditanah air. Acara ini akan diselenggarakan setiap minggu, dan
disiarkan melalui jaringan 68H di 40 Radio, antara lain: Radiao 68H Jakarta,
Radio Smart (Menado), Radio DMS (Maluku), Radio Unisi (Yogyakarta), Radio PTPN
(Solo), Radio Mara (Bandung), Radio Prima FM (Aceh).
Penerbitan Buku, JIL berupaya menerbitkan buku-buku yang
bertemakan pluralism dan inklusivisme agama, baik berupa terjemahan, kumpulan
tulisan, maupun penerbitan ulang buku-buku lama yang masih relevan dengan
tema-tema tersebut. Saat ini JIL sudah menerbitkan buku kumpulan artikel,
wawancara dan diskusi yang diselenggarakan oleh JIL, berjudul Wajah Liberal
Islam di Indonesia.
Penerbitan buku saku. Untuk kebutuhan pembaca umum,
JIL menerbitkan buku saku setebal 50-100 halaman dengan bahasa renyah dan mudah
dicerna. Buku saku ini akan mengulas dan menanggapi sejumlah isu yang menjadi
bahan perdebatan dalam masyarakat. Tentu tanggapan ini dari prespektif Islam
Liberal. Tema-tema itu antara lain: Jihad, penerapan syari’at Islam, jilbab,
penerapan ajaran “memerintahkan yang baik dan mencegah yang jahat” (amr ma’ruf
nahy munkar), dll.
Website Islamlib.com. program ini berawal dari
dibukanya milis Islam Liberal (islamliberal@yahoogroups.com) yang mendapat respon positif.
Ada usulan dari beberapa anggota untuk meluaskan milis ini kedalam bentuk
website yang bisa diakses oleh semua kalangan. Sementara milis akan tetap
dipertahankan untuk kalangan terbatas saja. Semua produk JIL (sindikasi media,
talk show radio, dll.) akan dimuat dalam website ini. Web ini juga akan memuat
setiap perkembangan berita, artikel, atau apa pun yang berkaitan dengan misi
JIL.
Iklan layanan masyarakat, untuk menyebarkan visi Islam Liberal, JIL memproduksi sejumlah
iklan layanan masyarakat (public service advertisement) dengan tema-tema
seputar pluralisme, penghargaan atas perbedaan dan pencegahan konflik social.
Salah satu iklan yang sudah diproduksi adalah iklan berjudul “Islam Warna
Warni”.
Diskusi keislaman, melalui kerja sama dengan pihak
luar (universitas, LSM, kelompok mahasiswa, pesantren dan pihak-pihak lain),
JIL menyelenggarakan sejumlah diskusi dan seminar mengenai tema-tema keislaman
dan keagamaan secara umum. Termasuk dalam kegiatan ini adalah diskusi keliling
yang diadakan melalui kerja sama dengan kelompok-kelompok mahasiswa disejumlah
universitas[30].
Tokoh Islam
Liberal Indonesia
Budi
Handrianto dalam bukunya ’50 Tokoh Islam Liberal Indonesia’ mengungkap dengan
cukup rinci dan objektif lima puluh tokoh-tokoh Islam Liberal. Meskipun menurut
kata pengantar buku tersebut—yang disusun oleh Adian Husaini—masih ada hal-hal yang
perlu didiskusikan, tapi setidaknya buku ini dapat dijadikan deteksi dini
terhadap faham-faham liberal dikalangan umat Islam, melalui deteksi para
pembawa faham ini[31].
Diakhir buku tersenut, Budi membuat pernyataan “Biografi tiada henti”,
maksudnya adalah bisa jadi apa tokoh yang disebutkan dalam buku tersebut
“berkurang” karena bertaubat, atau malah mungkin lebih bertambah. Yang jelas
analisa Budi menyatakan bahwa fenomena kehadiran Islam Liberal 5 tahun
belakangan ini, kelihatannya tumbuh lebih banyak dari pada yang “mati”[32].
Berikut adalah lima pulu tokoh Islam liberal Indonesia yang dimaksud:
A.
Para Pelopor
1)
Abdul Mukti Ali
2)
Abdurrahman Wahid
3)
Ahmad wahib
4)
Djohan Efendi
5)
Harun Nasution
6)
M. Dawaw Rahardjo
7)
Munawir Sjadzali
8)
Nurcholis Madjid
B. Para Senior
1)
Abdul Munir Mulkhan
2)
Ahmad Syafi’I Ma’arif
3)
Alwi Abdurrahman Shihab
4)
Azyumardi Azra
5)
Goenawan Mohammad
6)
Jalaluddin Rahmat
7)
Kautsar Azhari Noer
8)
Komarudin Hidayat
9)
M. Amin Abdullah
10)M. Syafi’I
Anwar d
11)Masdar Farid
Mas’udi
12)Moeslim
Abdurrahman
13)Nasarudin
Umar
14)Said Aqiel
Siraj
15)Zainun Kamal
C. Para Penerus “Perjuangan”
1)
Abd A’la
2)
Abdul Muqsith Ghazali
3)
Ahmad Fuad Fanani
4)
Ahmad Gauss AF
5)
Ahmad Sahal
6)
Bahtiar Efendi
7)
Budhy Munawar Rahman
8)
Denny J.A
9)
Fathimah Usman
10) Hamid
Basyaib
11) Husein
Muhammad
12) Ihsan Ali
Fauzi
13) M. Jadul
Maula
14) M. Luthfi asy-Syaukani
15) Muhammad Ali
16) Mun’im A.
Sirry
17) Nong Darol
Mahmada
18) Rizal
Malarangeng
19) Saiful
Mujani
20) Siti Musdah
Mulia
21) Sukidi
22) Sumanto
Al-Qurthuby
23) Syamsu Rizal
Panggabean
24) Taufi Adnan Amal
25) Ulil Abshar
Abdalla
26) Zuhairi
Misrawi
27) Zuly Qodir
Kesimpulan
Dari
pemaparan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa libralisme agama adalah haram.
Umat Islam haram mengadopsi pemahaman ini karena ‘ajaran’ nya dekonstrutif
terhadap Islam dan ajarannya. Mengutip pernyataan Adian Husaini dkk, dalam
bukunya Membedah Islam Liberal; Memahami
dan Menyikapi Manuver Islam Liberal di Indonesia yang mengatakan bahwa
kritik yang terus harus dilakukan terhadap “aktivis” Islam Liberal adalah soal
sikap dasarnya yang menganggap bahwa pengalaman liberalisasi dan sekularisasi
Kristen perlu juga diadopsi untuk Islam. Fakta, Barat maju denga liberalisasi
dan sekularisasi Kristen. Tetapi Islam memilki konsepsi dan pemahaman yang
berbeda dengan Kristen dan Eropa. Karena itu bai Barat, Kristen liberal
(krislib) memang oke. Barat maju,
karena terbelunggu lagi pemikiran-pemikiran dogmatis dan teokratis gereja abad
pertengahan[33].
Seringkali
kaum liberal berdalih bahwa aksinya merupakan bentuk ijtihad. Terlalu dini
menurut penulis kalau mereka disebut mujtahid, “Belum apa-apa” sudah ingin
menjadi pembaharu, pada
akhirnya yang ada hanya sok pembaharu dan sok kritis. Padahal ijtihad itu
dalam ungkapan yang paling sederhana dituntut dan sangat menghendaki “mengetahui
Islam” terlebih dahulu sebelum memaklumkan dirinya sebagai “pembaharu”. Wallahu’alam bi al-Shawab
____________________________________________________
Daftar
Pustaka
Syamsuddin
Arief, Orientalis dan Diabolisme
Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008).
Nashruddin
Syarief, Menangkal virus Islam Liberal;
Panduan Islamic Worldview untuk para aktivis da’wah, (Bandung: Persis Pers,
2011).
Adian
Husaini, Liberalisasi Pemikiran Islam di
Indonesia (makalah) dalam acara Workshop libralisasi pemikiran Islam,
INSIST-PP Pemuda. April, 2006.
Adian
Husaini, liberalisasi Islam Di Indonesia;
fakta dan data, (Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 2008).
Adian
Husaini, Wajah Peradaban Barat; Dari
Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal (Jakarta: Gema Insani, 2005).
Adnin
Armas, Metodologi Bible dalam Studi
Al-Qur’an; Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005).
Fahmi
Salim, Kritik terhadap Studi Al-Qur’an
Kaum Liberal, (Jakarta: Pers Pektif,
2010).
Tiar
Anwar Bachtiar, Lajur-Lajur Pemikiran
Islam; Kilasan Pergulatan Pemikiran Islam di Indonesia, (Depok: Komunitas
NuuN, 2011).
Budi
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal
Indonesia; pengusung Ide Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme Agama,
(Jakarta: Hujjah Press, 2007).
Abu
Umar Abdillah, Terapi Kerasukan JIL,
(Solo: Wacana Ilmiah, 2006).
Muzamil
Qomar, NU “Liberal”; dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, (Bandung:
Mizan, 2002).
Harun
Nasution, Islam Rasional; Gagasan dan
Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995).
Adian
Husaini, dkk., Membedah Islam Liberal;
Memahami dan Menyikapi Manuver Islam Liberal di Indonesia, (Bandung:
Syamil, 2003).
[1] Syamsuddin Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008),
hlm 76-77. Selanjutnya ditulis Syamsuddin Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran
[2] Ibid, hlm
79.
[3] Dalam ranah politik, liberalisme dimaknai
sebagai system dan kecenderungan yang berlawanan dengan dan menentang
‘mati-matian’ sentralisasi dan absolutism kekuasaan. Munculnya
republic-republik menggantikan kerajaan-kerajaan konon tidak terlepas dari
liberalism ini.
Sementara dibidang ekonomi, liberalism
merujuk pada system pasar bebas diamana intervensi pemerintah dalam
perekonomian dibatasi, jika tidak dibolehkan sama sekali. Dalam hal ini dan
pada batasan tertentu, liberalisme identik dengan kapitalisme.
Diwilayah social, liberalisme berbarti
emansipasi wanita, penyetaraan gender, pupusnya control social terhadap
individu dan runtuhnya nilai-nilai kekeluargaan. Biarkan wanita menentukan
nasibnya sendiri sebab tak seorang pun kini berhak dan boleh memaksa ataupun
melarangnya untuk melakukan sesuatu.
Sedangkan dalam urusan agama, liberalisme
berarti kebebasan menganut, meyakini, dan mengamalkan apa saja sesuai
kecenderungan kehendak dan selera masing-masing. Bahkan lebih jauh dari itu,
liberalisme mereduksi agama menjadi urusan privat. Artinya konsep amar ma’ruf
nahyi munkar bukan saja dinilai tidak relevan, bahakan dianggap dengan
bertentangan dengan semangat liberalisme. Asal tidak merugikan pihak lain,
orang yang berzina tidak boleh dihukum, apa lagi dilakukan atas dasar suka sama
suka, menurut prinsip ini. Karena menggusur peran agama dan otoritas wahyu dari
wilayah politik, ekonomi, maupun social, maka tidak salah jika liberalisme
dipadankan dengan liberalisme. Lihat Syamsuddin Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, hlm 77-78.
[4] Adian Husaini, liberalisasi Islam Di Indonesia; fakta dan data, (Jakarta: Dewan
Da’wah Islamiyah Indonesia, 2008), cet III, hlm 6-7. Selanjutnya ditulis Adian
Husaini, liberalisasi Islam Di Indonesia
[5] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat; Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi
Sekuler-Liberal (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm 29. Selanjutnya ditulis
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat
[6] Adian Husaini, liberalisasi Islam Di Indonesia, hlm 8.
[7] Ibid, hlm
8.
[8] Ibid, hlm
9.
[9] Ibid, hlm
10.
[10] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, hlm 30.
[11] Ibid, hlm
41-43.
[12] Ibid, hlm
46-48.
[13] Nashruddin Syarief, Menangkal virus Islam Liberal, hlm 15.
[14] Nashruddin Syarief, Menangkal virus Islam Liberal; Panduan Islamic Worldview untuk para
aktivis da’wah, (Bandung: Persis Pers, 2011), cet II, hlm 5. Selanjutnya
ditulis Nashruddin Syarief, Menangkal
virus Islam Liberal
[15] Penulis kutip dari makalahnya Adian Husaini
yang berjudul Liberalisasi Pemikiran
Islam di Indonesia dalam acara Workshop libralisasi pemikiran Islam,
INSIST-PP Pemuda. April, 2006.
[16] Adian Husaini, liberalisasi Islam Di Indonesia, hlm 11-44. Lihat juga Budi
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal
Indonesia; pengusung Ide Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme Agama, hlm xxiii-xxiv. Selanjutnya ditulis
Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal
Indonesia
[17] Adnin Armas, Metodologi Bible dalam Studi Al-Qur’an; Kajian Kritis, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2005), hlm 72-73. Selanjutnya ditulis Adnin Armas, Metodologi Bible dalam Studi Al-Qur’an;
Kajian Kritis
[18] Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal, (Jakarta: Pers Pektif, 2010), hlm 398-399.
[19] Adnin Armas, Metodologi Bible dalam Studi Al-Qur’an; Kajian Kritis, hlm 75.
[20] Ibid, hlm
77.
[21] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, hlm xxxi.
[22] Tiar Anwar Bachtiar, Lajur-Lajur Pemikiran Islam; Kilasan Pergulatan Pemikiran Islam di
Indonesia, (Depok: Komunitas Nuun, 2011), hlm 83-85.
[23] Ibid,
hlm 85
[24] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia; pengusung Ide Sekulerisme, Pluralisme
dan Liberalisme Agama, (Jakarta: Hujjah Press, 2007), hlm 263-265.
Selanjutnya ditulis Budi Handrianto, 50
Tokoh Islam Liberal Indonesia; pengusung Ide Sekulerisme, Pluralisme dan
Liberalisme Agama
[25] www.islamlib.com. Penulis kutip dari Abu Umar Abdillah, Terapi Kerasukan JIL, (Solo: Wacana
Ilmiah, 2006), hlm 15. Selanjutnya ditulis Abu Umar Abdillah, Terapi Kerasukan JIL. Lihat juga dalam ibid, hlm 266.
[26] Ibid,
hlm 15-16.
[27] Penulis kutip dari pernyataan Azuymardi Azra
yang berjudul “liberalisasi pemikiran NU” yaitu sebuah kata pengantar bagai
tulisan Muzamil Qomar yang berjudul NU
“Liberal”; dari Tradisionalisme
Ahlussunnah ke Universalisme Islam. Lihat Muzamil Qomar, NU “Liberal”; dari
Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002),
hlm 22-23.
[28] Harun Nasution, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995), hlm
392-393.
[29] Abu Umar Abdillah, Terapi Kerasukan JIL, hlm 16.
[30] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, hlm 266-268.
[31] Ibid, hlm
xxxix.
[32] Ibid, hlm
283-284.
[33] Adian Husaini, dkk., Membedah Islam Liberal; Memahami dan Menyikapi Manuver Islam Liberal di
Indonesia, (Bandung: Syamil, 2003), hlm 74.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar