Jumat, 20 April 2012

Liberalisasi Islam dan Islam Liberal

Liberalisasi Islam dan Islam Liberal
Oleh: Jajang Hidayattullah


Pendahuluan
Deklarasi trang-trangan yang dilakukan jaringan Islam Liberlal waktu lalu, menjadi babak baru bagi pergulatan pemikiran Islam—khususnya Indonesia. Ternyata, sejumlah aksinya yang masif telah ‘mengundng’ respon kuat dari berbagai kalangan yang tidak ingin ajaran Islam ;diacak-acak’ (dekonstruksi). Sehingga MUI (Majelis Ulama Indonesia) pun, dengan otoritasnya unjuk bicara dengan menfatwakan haram bagi umat Islam menganut faham ‘liberal’. Namun sejumlah aktivis liberal menyayangkan fatwa tersebut. Mereka menganggap dan menuduh MUI tidak faham makna liberalisme. Tulisan ini mencoba mengupas hal tersebut; dimana ke’sesat’an ‘liberalisme’ juga bagaimana sepak terjang komunitas yang mengatas namakan JIL (Jaringan Islam Liberal) di Indonesia?

Sejarah Singkat Liberalisme
Syamsuddin Arief menyatakan bahwa Istilah ‘Liberalisme’ berasal dari bahsa latin, Liber, yang artinya ‘bebas’ atau ‘merdeka’. Hingga pengujung abad ke-18 Masehi, istilah ini terkait erat dengan konsep manusia merdeka, bisa merdeka semenjak lahir ataupun merdeka setelah dibebaskan, yakni mantan budak (freedman). Dari sinilah muncul istilah ‘liberal arts’ yang berarti ilmu yang berguna bagi dan sepatutnya dimiliki setiap manusia merdeka, yaitu aritmetika, geometri, astronomi dan music (quadrivium) serta gramatika, logika dan retorika (trivium).
Selanjutnya beliau menyatakan, pakar sejarah Barat biasanya menunjuk moto revolusi Perancis 1789—kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberte, egalite, fraternite) sebagai piagam agung (magna charta) liberalisme modern. Sebagaimana diungkapkan oleh H. Gruber, prinsip liberalisme yang paling mendasar ialah pernyataan bahwa tunduk pada otoritas—apapun namanya—adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia—yakni ototiras yang akarnya, aturannya, ukurannya dan ketepatannya ada diluar dirinya (it is contrary to the natural, inate, and inalienable right and liberty and dignitiy of man, to subject himself to an authority, the root, rule, mesure, and sanction of which is not in himself). Disini kita mencium bau sophisme dan relativisme ala falsafah Protagoras yang mengajarkan bahwa “manusia adalah ukuran dari segalanya”—sebuah doktrin yang kemudian dirayakan oleh para penganut nihilism semacam Nietzche.
Sebagai anak kandung humanisme dan Reformasi abad ke-15 dan ke-16, liberalisme telah dikembangkan oleh para pemikir dan cendekiawan di Inggris (Locke dan Hume), di Perancis (Rousseau dan Diderot) dan di Jerman (Lessing dan Kant). Gagasan ini banyak diminati oleh elit terpelajar dan bangsawan yang menyukai kebebasan berfikir tanpa batas. Sebagaimana dinyatakan oleh Germanie de stael dalam karyanya, Consideral sur les principaux evenements de la Revolution francaise (1818), kaum liberal menuntut kebebasan individu yang seluas-seluasnya, menolak klaim pemegang otoritas tuhan, dan menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja[1].
Syamsuddin Arief menyimpulkan bahwa faham liberalisme mencakup tiga hal: pertama, kebebasan berfikir tanpa batas alias free thinking. kedua, senantiasa meragukan dan menolak kebenaran alias sophisme. Dan tiga, sikap longgar dan semena-mena dalam beragama (loose adherence to and free exercise of religion). Yang pertama berarti kebebasan memikirkan apa saja dan siapa saja. “berfikir kok dilarang”, ujar golongan ini. Yang kedua lebih dikenal dengan istilah ‘sufasta’iyyah’, yang berarti skeptisisme, agnostisisme dan relativisme. Sementara yang disebut terakhir tidak lain dan tidak bukan adalah manifestasi nifaq, dimana seorang tidak mau dikatakan kafir walaupun dirinya sudah tidak committed lagi pada ajaran agama[2].

Islam Liberal; Berawal Dari Tradisi Yahudi Dan Kristen
Proses liberalisasi sebenarnya terjadi pada berbagai bidang kehidupan, baik bidang politik, ekonomi, social, informasi, moral dan sebagainya, termasuk bidang agama[3]. Agama yahudi telah lama mengalami liberalisasi, sehingga saat ini, “Liberal Judaism” (Yahudi Liberal) secara resmi masuk dalam salah satu aliran dalam agama yahudi. Perkembangan liberalisasi dalam agama Kristen juga sudah sangat jauh. Bahkan agama Kristen bisa dikatakan sebagai salah satu “korban” liberalisasi dari peradaban Barat. Agama Kristen mulai bersinar di Eropa ketika pada tahun 313, kaisar Konstantin mengeluarkan surat perintah (edik) yang isinya memberi kebebasan warga Romawi untuk memeluk agam Kristen. Bahkan pada tahun 380, Kristen dijadikan sebagai agama Negara oleh kaisar Teodesius. Menurut edik Teodesius, semua warga Romawi diwajibkan menjadi anggota gereja Katolik. Agama-agama kafir dilarang. Bahkan sekte-sekte Kristen diluar “gereja resmi” pun dilarang[4].
Dalam sejarah Kristen Eropa, kata secular dan liberal dimaknai sebagai pembebasan masyarakat dari cengraman kekuasaan gereja, yang sangat kuat dan hegemonic di Zaman Pertengahan. Proses berikutnya bukan saja dalam bidang social-politik, tetapi juga menyangkut metodologi pemahaman keagamaan. Misalnya—sebagaiman disebutkan diatas—munculnya pemikiran yahudi liberal (liberal judaism), dengan tokohnya Abraham Geiger, begitu juga merebaknya pemikiran teologi liberal dalam dunia Kristen. Proses sekuleriasasi-liberalisasi agama, kemudian diglobalkan dan dipromosikan ke agama-agama lainnya termasu Islam[5].
Dengan berbagai keistimewaan yang dinikmatinya, Kristen kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia, hingga kini jumlah pemeluknya mencapai sekitar 1,9 milyar jiwa, meskipun terbagi kedalam sejumlah agama (Katolik, Protestan, Orthodoks). Tapi jika dicermati lebih jauh, perkembangan gereja-gereja di Eropa—asal persebaran Kristen—cukup menyedihkan. Sebuah buku yang ditulis Herlianto-seorang aktivis Kristen asal Bandung-berjudul Gereja Modern, Mau Kemana? (1995) memaparkan dengan jelas kehancuran gereja-gereja di Eropa. Kristen kelabakan dihantam nilai-nilai sekularisme, modernism, liberalism dan “klenikisme”[6].
Pak Adian menggambarkan, misalnya di Amsterdam saja 200 tahun lalu 99% penduduknya beragama Kristen. Kini, tinggal 10% saja yang dibaptis dan ke gereja. Kebanyakan mereka sudah tidak terikat lagi dalam agama atau sudah menjadi sekuler. Di Prancis, yang  95% penduduknya beragama katolik, hanya 13% saja yang menghadiri kebaktian di gereja seminggu sekali.
Selanjutnya di Jerman, menurut laporan Institut for Public Opinian Research, 46% penduduknya mengatakan bahwa “agama sudah tidak diperlukan lagi”. Di Finlandia, yang 97% Kristen, hanya 3% saja yang pergi ke gereja tiap minggu. Di Norwegia, yang 90% Kristen, hanya setengahnya saja yang percaya pada dasar-dasar kepercayaan Kristen. Juga hanya 3% yang rutin ke gereja tiap minggu[7].
Masyarakat Kristen Eropa juga tergila-gila pada paranormal, mengalahkan kepercayaan mereka pada pendeta atau imam katolik. Di Jerman Barat—sebelum bersatu dengan Jerman Timur—terdapat 30.000 pendeta. Tetapi jumlah peramal (dukun klenik/witchcraft) mencapai 90.000 orang. Di Perancis terdapat 26.000 imam katolik, tetapi jumlah peramal bintang (astrolog) yang terdaftar mencapai 40.000 orang.
Fenomena Kristen Eropa menunjukan, agama Kristen kelabakan menghadapi serbuan arus budaya Barat yang didominasi nilai-nilai Liberalisme, sekulerisme dan hedonism. Serbuan praktik perdukunan juga tidak mampu dibendung. Disejumlah gereja, arus liberalisasi mulai melanda. Misalnya, gereja mulai menerima praktik-praktik homoseksualitas. Eric James seorang pejabat gereja dalam bukunya “homosexsuality and a Pastoral Church” menghimbau agar gereja memberikan toleransi pada kehidupan homoseksual dan mengijinkan perkawinan homoseksual antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita[8].
Sejumlah Negara Barat telah melakukan “revolusi jingga”, karena secara resmi telah mengesahkan perkawinan sejenis. Parlemen Jerman masih terus memperdebatkan undang-undang serupa. Di berbagai Negara Barat, praktik homoseksual bukanlah dianggap sebagai kejahatan. Begitu juga praktik-praktik perzinaan, minuman keras, pornografi, dan sebagainya. Barat tidak mengenal system dan standar nilai (baik-buruk) yang pasti. Semua serba relative; diserahkan kepada “kesepakatan” dan “kepantasan” umum yang berlaku[9].
Maka kemudian, sangat aneh dan tidak nyambung, dengan alasan “kemajuan” Negara-negara Barat, “aktivis” JIL justru dengan sangat lantang dan sok berani mengadopsi nilai-nilai Barat untuk diterapkan dalam Islam—khususnya di Indoseia. Padahal bagi Negara-negaran ”maju” Barat pun hal itu (baca: liberalisme) merupakan sesutatu yang sangat menakutkan, merusak dan membahayakan keberlangsungan beragama. Atau malah, sangat mungkin sekali kehidupan bernegara pun akan ikut berantakan; karena mau tidak mau liberalisme akan mengkikis moralitas.

Barat; Mengapa Sekuler-Liberal??
Mengapa Barat kemudian memilih jalan hidup sekuler-liberal? Menurut analisa Adian Husaini dalam karyanya yang berjudul Wajah Peradaban Barat; Dari Hegemoni Kristenke Dominasi Sekuler-Liberal, menyatakan bahwa setidaknya ada tiga factor penting yang menjadi latar belakang, mengapa Barat memilih jalan hidup sekuler dan liberal, yaitu:
1.      Problem Sejarah Kristen
Sejarah kekristenan, kata Bernard Lewis, banyak diwarnai dengan perpecahan (skisma) dan kekafiran (heresy), dan dengan konflik antar kelompok yang berujung pada peperangan atau penindasan. Sejarah bermula sejak zaman Konstantin Agung dimana terjadi konflik antara gereja Konstantinopel dan Roma; antara katolik dan protestan da antar berbagai sekte dalam Kristen. Setelah banyak konflik-konflik berdarah banyak terjadi, maka muncul kalangan Kristen yang berfikir, bahw a kehidupan toleran antar masyarakat hanya mungkin dilakukan jika kekuasaan gereja untuk mengatur politik dihilangkan begitu juga campur tangan Negara terhadap gereja.
Dalam perjalanan sejarahnya, peradaban Barat (Western Civilazation) telah mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut masa kegelapan (The Dark Ages). Mereka menyebutnya juga sebagai zaman pertengahan (The Medieval ages). Zaman itu dimulai ketika imperium Romawi Barat runtuh pada 476 dan mulai munculnya gereja Kristen sebagai institusi dominan dalam masyarakat Kristen Barat sampai dengan masuknya zaman renaissance sekitar abad ke-14. Karena itu mereka menyebut zaman baru dengan istilah “reneissance” yang artinya “rebirth” (lahir kembali). Mereka seperti merasa, bahwa hiup dibawah cengkraman kekuasaan gereja, mereka mengalami kematian. Sebab, ketika itu gereja mengklaim sebagai institusi resmi wakil tuhan di muka bumi melakukan hegemoni terhadap kehidupan masyarakat dan melakukan berbagai tindakan brutal yang sangat tidak manusiawi sejarah dominasi kekkuasaan gereja bisa ditelusuri sejak awal mula tumbuhnya Kristen sebagai agama Negara di zaman Romawi. Besarnya kekuasaan yang dimiliki gereja melahirkan berbagai penyimpangan[10].
2.      Problem Teks Bible
Problem ini berkaitan dengan otentisitas teks Bible dan makna yang terkandung didalamnya. Ada sebagian kalangan yang dengan gegabah mencoba menyamakan antara Al-Qur’an dengan Bible, dengan menyatakan bahwa, semuanya adalah kitab suci, dan semuanya mukjizat. Padahal, kalangan ilmuan Barat yang jeli, bisa membedakan antara kedua kitab agama itu. Teks Al-Qur’an tidak mengalami problema sebagaiman problema teks Bible. Norman Daniel dalam bukunya, Islam and the West: the making of an image, menegaskan: “Al-Qur’an tidak ada bandingannya dengan apa pun di luar Islam” (The Quran has no parallelout side Islam).
Dalam bukunya yang berjudul  “A Textual Commentary on the Greek New Testament” (terbitan United Bible Societies, Corected editin tahun 1975), Metzger menulis dipembukaan bukunya ia menjelaskan ada dua kondisi yanh selalu dihadapi oelh penafsir Bible, yaitu: (1) tidak adanya dokumen Bible yang original saat ini, dan (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini bermacam-macam, berbeda satu dengan lainnya[11]. Dan masih banyak lagi data ilmiah yang menyatakan bahwa Bible sangat problematic.
3.      Problem Teologi Kristen
Dr. C. Groenen Ofm seorang teolog Belanda, mencatat, “seluruh permasalahan kristologi didunia Barat berasal dari kenyataan bahwa diduni Barat, tuhan menjadi satu problem”. Setelah membahas perkembangan pemikiran tentang Yesus Kristus dari para pemikir dan teolog Kristen yang berpengaruh, ia sampai pada kesimpulan, bahwa kekacauan para pemikir Kristen didunia Barat hanya mencerminkan kesimpangsiuran cultural di Barat. “kesimpang siuran itu merupakan akibat sejarah kebudayaan dunia Barat”. Tulis Groenen.
Menurut Adian diantara problem teologi Kristen diantaranya beliau menyatakan, sepanjang sejarag peradaban Barat terjadi banyak persoalan serius dalam perdebatan teologis. Di zaman pertengahan rasio harus disubordinasikan kepada kepercayaan Kristen. Akal dan filosofi di zaman pertengahan tidak digunakan untuk mengkritisi atau menentang doktrin-doktrin kepercayaan Kristen, tetapi digunakan untuk mengklrafikasi, menjelaskan dan menunjangnya. Sejumlah Ilmuan seperti Saint Anselm, Abelard, dan Thomas Aquinas mencoba memadukan antara akal (reason) dan teks Bible (revelation). Sikap para Ilmuan dan pemikir abad pertengahan digambarkan:
“mereka tidak menolak berbagai keyakina Kristen yang berada diluar jangkauan akan manusia dan karenanya tidak dapat ditela’ah dengan argument rasional. Sebaliknya mereka tetap meyakini berbagai keyakinan semcam itu yang terdapat diayat-ayat yang menerimanya dengan iman. Bagi para pemikir dizaman pertengahan, akal tidak memiliki keberadaan yang independent tapi pada akhirnya harus mengakui standar kebenaran yang bersifar suprarasional dan diluar jangkauan manusia. Mereka ingin agar pemikiran logis diarahkan oleh batasan-batasan Kristen dan dituntun oleh otoritas scriptural dan keagamaan”.
Problem yang kemudian muncul adalah ketika para ilmuan dan pemikir diminta mensubordinasikan dan menundukan semua pemikirannya kepada teks Bible dan otoritas gereja, justru pada kedua itulah terletak problem itu sendiri. Disamping menghadapi problema otentisitas, Bible juga memuat hal-hal yang bertentangan dengan akal dan perkembangan ilmu pengetahuan. Sejumlah ilmuan mengalami benturan dengan gereja dalam soal ilmu pengetahuan, seperti Galileo Galilei (1546-1543) dan Nicolaus Copernicus (1473-1543). Bahkan Giordano Bruno (1548-1600), pengagum Nicolaus Copernicus, dibakar hidup-hidup[12].
Belum lagi sebuah kenyataan di Barat yang sulit dielakan adalah tuhan menjadi sesuatu yang problem. Menjelaskan bahwa tuhan itu 1 dalam 3, 3 dalam 1, dan menjelaskan apa sebenarnya hakikat Yesus, telah membuat seorang cendekiawan seperti Dr. C. Greonen Ofm “lelah” dan “menyerah”. Ia lalu sampai pada kesimpulan bahwa Yesus memasng misterius[13]. Dan masih banyak data yang menunjukan bahwa teologi Kristen bermasalah.           

Islam Liberal (?)
Sesungguhnya Islam liberal adalah istilah yang sangat rancu. Maka jangan aneh kalau segala bentuk ‘ajaran’ nya pun akan Nampak semakin rancu karena memang berdiri diatas nama yang rancu. Dalam hal ini Nashruddin Syarief melalui karyanya Menangkal Virus Islam Liberal membuat catatan dengan menyatakan bahwa menyandingkan Islam dengan Liberal sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat problematic. ‘Islam’ artinya tunduk, patuh, berserah diri kepada Allah Swt, sementara ‘Liberal’ artinya bebas daris etiap otoritas. Jadi, jika Islam menuntut adanya kepatuhan kepada aturan ilahi, maka liberal menghendaki adanya kebebasan dari segala macam aturan ilahi. Itu artinya tidak mungkin Islam liberal. Islam ya Islam, tidak dan bukan liberal. Hanya dikarenakan istilah ini sudah dibakukan oleh segilintir orang untuk menunjuk satu kelompok liberal dalam komunitas pemikir Islam, maka mau tidak mau dalam kajian ini kita mengikuti terlebih dahulu penggunaan istilah ‘Islam liberal’ tersebut[14].
Istilah Islam liberal untuk pertama kalinya diperkenalkan pada tahun 1950-an oleh Asaf Ali Asghar Fyzee (1899-1981), seorang intelektual muslim-India. Ia menyatakan: “We Need not Bother about nomenclature, but if some name has to be given to it, let as call it ‘liberal Islam’
Pernyataan Fyzee yang memilih istilah Islam liberal secara pragmatis menunjukan bahwa istilah tersebut tidaklah dibangun dengan konsep dan teori yang kukuh. Bagaimanapun, istilah Islam liberal yang ambigu tersebut dipopulerkan oleh Charles kurzman. Selanjutnya Kurzman member makna liberal sebagai berikut:  “pertama, para penulis dalam bunga rampai ini tidak menganggap diri mereka sebagai kaum liberal; kedua, para penulis mungkin tidak mendukung seluruh aspek ideology liberal, sekalipun mereka menganut beberapa diantaranya; ketiga, bahwa istilah ‘liberal’ mengandung konotasi negative bagi sebagian dunia Islam, dimana ia diasosiasikan dengan dominasi asing, kapitalisme tanpa batas, kemunafikan yang mendewakan kebenaran dan permusuhan kepada Islam; keempat, konsep ‘Islam liberal’ harus dibuat sebagai alat bantu analisis, bukan kategori yang mutlak; kelima, saya tidak membuat klaim apa pun mengenai “kebenaran” interpretasi liberal terhadap Islam. Saya tidak punya kualifikasi untuk terlibat dalam perdebatan-perdebatan yang demikian; saya ingin mendeskripsikannya saja“.
Menurut analisa Adian Husaini, makna Islam liberal yang dikemukakan Kurzman ‘sesukahatinya’ tidak memiliki batasan yang jelas. Oleh sebab itu, Kurzman memasukan nama Yusuf al-Qardawi dan Muhammad Natsir sebagai pemikir Islam liberal. Padahal, karya-karya Yusuf al-Qardawi dan M. Natsir tidak sesuai untuk dikawinkan dengan gagasan Islam liberal yang sumber pemikirannya adalah akal yang skeptic. Yusuf al-Qardawi adalah seorang Ulam yang mengkritik pemikiran-pemikiran Liberal dalam Islam dan al-marhum Muhammad Natsir adalah seorang tokoh partai Islam (Masyumi) terkemuka dan pendiri Dewan Dakwah Islamiah dan juga tokoh Ulama Persis (Persatuan Islam)[15].
Liberalisasi Agama Islam
Mencermati berbagai perkembangan faham Islam liberal dikalangan umat Islam, setidaknya ada tiga aspek penting dalam Islam yang sedang gencar mengalami liberalisasi saat ini, yaitu:
1.    Dalam aspek Syari’at. Berbagai hokum-hukum yang tetap (qath’iy) dibongkar dan diubah untuk disesuaikan dengan zaman, seperti hokum perzinaan, hokum homoseksual, hokum murtad, hokum perkawinan antar umat beragama, dan sebagainya. Bagi kaum liberal tidak ada yang tetap dalam agama, sebab mereka memandang agama adalah bagian dari proses dinamika sejarah, sebagaimana kaum yahudi dan Kristen liberal dalam memandang agama mereka. Padahal, Islam bukanlah agama evolutif, yang berkembang mengikuti zaman. Islam adalah agama yang sudah sempurna sejak awal (QS. 5: 3). Sejak lahirnya Islam sudah dewasa, bukan lahir bayi, lalu berkembang jadi dewasa, sebagaimana agama-agama sejarah dan budaya, seperti yahudi Kristen dan sebagainya. Karena itu konsep dasar aqidah dan ritual (ibadah) dalam Islam bersifat final. Dan tidak berkembang mengikuti proses dinamika sejarah, sebab Islam bukan agama sejarah.
2.   Dalam Aspek Al-Qur’an. umat Islam Indonesia khususnya sedang memasuki babak baru, dengan dikembangkannya metode studi kritik Al-Qur’an, mengikuti metode studi kritik Bible. Kasus penginjakan lafadz Allah di IAIN Surabaya, oelh dosen setempat, 5 Mei 2006, merupakan kasus baru sepanjang sejarah umat Islam. Menurut laporan majalah GATRA edisi 7 Juni 2006, dosen yang bernama Sulhawi Ruba, 51 tahun pada 5 Mei 2006 lalu, itu memang sengaja meninjak-injak lafadz Allah yang ditulisnya pada secarik kertas[16].
Dalam pandangan Nasr Hamid misalnya, teks ilahi (divine text) berubah menjadi teks manusiawi (human text) sejak turunya wahyu yang pertama kali kepada Muhammad. Nasr Hamid menyatakan: “teks sejak awal  diturunkan—ketika teks diwahyukan dan dibaca oleh Nabi--, ia berubah dari sebuah teks ilahi (nash ilahi) menjadi sebuah konsep atau teks manusiawi  (nash insani), karena ia beruabah dari tanzil menjadi takwil. Pemahaman Muhammad atas teks mempresentasikan tahap paling awal dalam interaksi teks dengan akal manusia”.
Dalam pandangan Nasr Hamid, teks Al-Qur’an terbentuk dalam relitas dan budaya, selama lebih dari 20 tahun. Oleh sebab itu, Al-Qur’an adalah ‘produk budaya’ (muntaj tsaqafi). Ia juga menjadi ‘produsen budaya’  (muntij li al-tsaqafah) karena menjadi teks yang hegemonic dan menjadi rujukan bagi teks yang lain. Disebabkan realitas dan budaya tidak bisa dipisah kan dari bahasa manusia, maka Nasr Hamid juga menganggap Al-Qur’an sebagai teks bahasa (nash lughawi). Relitas, budaya dan bahasa merupakan fenomena historis dan mempunyai konteks spesifikasinya sendiri. Oleh sebab itu Al-Qur’an adalah teks historis (a historical text). Historitas teks, realitas dan budaya sekaligus bahasa, menunjukan bahwa Al-Qur’an adalah teks manusiawi (nash insani)[17].
Atau Muhammad Arkoun pernah menyatakan, “jika kita terus menerus melihat Al-Qur’an sebagai teks agama yang transenden, dalam arti mengandung hakikat yang menjadikan kehadiran Allah itu nyata, maka kita tidak mungkin menghindari problem-problem pemikiran teologis dan penelitian teologis. Urusan teolog tidaklah terbatas pada peran mufti, imam, atau syeikh (tokoh agamawan). Teologi lebi focus pada rasionalitas imam serta lebih berorientasi pada dealektika antara system pengetahuan yang ada pada masa tertentu dan problem-
problem yang disebabkam mekanisme kerja teks agama atau tradisi agama. Dus, dialektika antara tradisi dan sejarah, sekaligus telah melontarkan dilemma modernitas dan usaha masalah menjawab kekinian dengan metode rasional yang memperhatikan perkembangan dan perubahan zaman.[18]
Padahal sesunguhnya Al-Qur’an bukan produk budaya, karena Al-Qur’an merupakan bukanlah hasil kesinambungan dari budaya yang ada. Al-Qur’an justru membawa budaya baru dengan menentang serta mengubah budaya yang ada. Jadi, Al-Qur’an bukanlah produk budaya Arab jahiliyyah. Namun justru kebudayaan jahiliyyah Arab yang diubah pada zaman Rasulullah Saw. Jadi, budaya pada zaman Rasulullah Saw adalah produk dari pada Al-Qur’an, bukan sebaliknya.
Al-Qur’an juga bukan teks bahasa Arab biasa, sebagaimana teks-teks sastra Arab lainnya. Menurut al-Attas, bahasa Arab Al-Qur’an adalah bahasa Arab bentuk baru. Sejumlah kosakata pada saat itu, telah diIslamkan maknanya[19]. Jika Al-Qur’an produk teks bahasa biasa, maka teks tersebut akan dengan mudah difahami oleh orang Arab pada saat itu. Tetapi kenyataannya justru sebaliknya[20].
3.      Pluralisme Agama. Yang didasarkan pada asumsi bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut faham ini semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju tuhan yang sama. Tuhan—siapapun namaNya—tidak menjadi masalah[21].
Jaringan Islam liberal (JIL)
Runtuhnya orde baru tahun 1998 membuka keran kebebasan social, politik dan intelektual. Arena pertarungan intelektual  arena pertarungan intelektual tidak lagi dipasung oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu. Keberpihakan Soeharto selama dua decade awal kepemimpinannya terhadap kelompok pembaru (baca: Liberal) mulai pudar saat ICMI berdiri. Pada saat yang sama, kelompok-kelompok dakwah yang dahulu masuk daftar musuh Soeharto dirangkul. Dengan cara itu tidak terjadi lagi pertarungan ideologis dan intelektual dikalangan Umat Islam yang selama tahun ’70-an dan ’80-an muncul ke permukaan. Saat keran kebebasan dibuka oleh gerakan Reformasi masing-masing kelompok yang disatukan dalam satu kepentingan Soeharto ini akhirnya muncul kembali dengan perbenturan lama yang memang hanya reda sementara oleh kepentingan politik. Sejatinya belum ada rekonsiliasi pemikiran antara kelompok dakwah dan pembaruan.
Kedua kelompok ini muncul kembali dengan mengusung perbenturan pemikiran lama dengan wajah dan actor baru. Pertarungan pemikiran kali ini muncul dengan wajah yang lebih akademis. Sebab, kepentingan politis tidak kagi dominan. Kalau pun ada usaha-usaha dari kedua kelompok ini untuk berebut pengaruh dari kekuatan-kekuatan politik tertentu, probabilitasnya menjadi sama. Kalau salah satunya kenetulan dapat mendorong penguasa yang didukungnya, maka kelompok itulah yang diuntungkan oleh politik.
Kelompok yang dahulu dinamakan sebagai “pembaruan Islam” semenjak reformasi 1998 lebih popular dengan Istilah “Islam Liberal”. Munculnya istilah ini seiring dengan berdirinya sebuah LSM bernama Jaringan Islam Liberal (JIL) dibawah komando Ulil Abshar Abdalla. LSM ini mengaku sebagai penerus gagasan-gagasan Nurcholis Madjid dan kawan-kawan dimasa lalu. Keberpihakannya dan genealoginya dapat ditarik sampai kepada Nurcholis Madjid. Hal ini diperkuat dengan kolaborasinya secara penuh dengan Yayasan Paramadina yang didirikan dan dipimpin oleh Nurcholis Madjid. Bahkan sampai saat ini Universitas Paramadina menjadi semacam “laboratorium” pemikiran JIL.
Wacana yang berkembang pada kelompok ini pun terbilang wacana lama yang juga diusung oleh kelompok “pembaruan”. Wacana tersebut memperlihatkan keterpengaruhan yang sangat kental oleh wacana kaum orientalis. Wacana tersebut antara lain masalah: Islam dan Negara, Islam dan Demokrasi, Kebebasan Perempuan, Pluralisme Agama, Toleransi Agama, Kontekstualisasi Al-Qur’an, Rekonstruksi Hadits, pemisahan Agama denga politik (sekulerisasi). Realitas ini semakin menegaskan “kesedarahan” pemikiran mereka pada kelompok pembaru[22].
Munculnya jaringan Islam Liberal ini seolah-olah menandai deklarasi terang-terangan munculnya kembali gerakan liberal dalam kancah pertarungan pemikiran Islam di Indonesia yang pernah menghangat pada tahun ’70-an dan ’80-an. Bahkan, bagi sebagian kalangan yang tidak memahami perkembangan pemikiran liberal menganggap bahwa yang dimaksud dengan kelompok liberal hanyalah JIL. Kelompok atau orang-orang yang tidak masuk dalam JIL dianggap tidak berpikir liberal. Padahal sebelumnya mereka tidak menyebut diri sebagai kelompok Liberal. Kata-kata “liberal” sendiri baru poluler saat JIL dideklarasikan. Sebelumnya pemikir-pemikir yang dianggap liberal diberi istilah oleh para peneliti sebagai kelompok “pembaru” karena dianggap membawa cara pandang baru terhadap Islam yang berbeda dengan cara sebelumnya. Bahkan dengan cara pandang kelompok Islam pembaru yang sering disebut kelompok “modernis” seperti Muhamadiyah, Persis dan Al-Irsyad.
Karena hanya berganti nama, fenomena kelompok liberal ini sudah bukan lagi hanya berkutat pada arus wacana, melainkan telah menggelinding ke ranah-ranah lain yang lebih bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat pada umumnya atau sudah menjadi semacam gerakan. Salah satu contoh, produk-produk pemikiran kelompok liberal kini telah masuk ke dalam ranah-ranah kebijakan public dalam bidang pendidikan (agama) dan kebijakan keagamaan[23].

Islam Liberal versi JIL?
Ulil Abshar Abdalla sang komando JIL menyatakan bahwa Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan:
1.      Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi mu’amalat (interaksi sosial), ubudiyat (ritual), dan ilahiyat (teologi).
2.      Mengutamakan semangat religiio etik, bukan makna literal teks. Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.
3.      Mempercayai kebenaran yang relative, terbuka dan plural. Islam liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relative, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir disuatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.
4.      Memihak pada yang minoritas dan tertindas. Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak pada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur social-politik yang mengawetkan praktek ketidak adilan atas yang minoritas adalah berlawan dengan semangat Islam. Minoritas disini difahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, gender, budaya, politik dan ekonomi.
5.      Meyakini kebebasan beragama. Islam Liberal meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.
6.      Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik. Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang Negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk Negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah Negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan public, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan public. Agama berada diruang privat, dan urusan public harus diselenggarakan melalui proses consensus[24].
Tujuan Berdirinya Jaringan Islam Liberal
Merombak Islam ke akar-akarnya dengan membuang sumber ajaran dan melakukan penafsiran ulang adalah tujuan yang bisa dibaca dari gerakan mereka. Situs resmi JIL memaparkan misi JIL:
Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang kami anut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak.
Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme. Kami yakin, terbukanya ruang dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat.
Ketiga, mengupayakan terciptanya struktur social dan politik yang adil dan manusiawi[25].
Lutfi Asy-Syaukanie tokoh Islam Liberal mengatakan, “saya melihat bahwa mayoritas umat Islam yang ada sekarang adalah Islam ortodoks, baik dalam wajahnya yang fundamentalis (dalam sikap polotis) maupun konservatif (dalam pemahaman keagamaan). Islam Liberal  datang sebagai sebuah bentuk protes dan perlawanan terhadap dominasi itu. Ketika kita mengatakan ‘bebas dari’ dan ‘bebas untuk’, kita memposisikan diri menjadi seorang ‘protestan’ yang berusaha mencari hal-hal yang baik dari warisan agama dan membuang hal-hal yang buruk. Saya membayangkan semangat protestanisme itu adalah semangat yang seluruhnya bersifat positif, seperti yang dijelaskan dengan sangat bagus oleh Weber. Dalam bayangan saya, ‘Islam Liberal’ adalah sebuah gerakan reformasi (bukan dalam pengertian mahasiswa, tapi pengertian semangat protestanisme klasik) yang berusaha memperbaiki kehidupan umat Islam, baik menyangkut pemahaman keberagamaan mereka maupun persoalan-persoalan lainnya (ekonomi, politik, budaya dll)[26]
Azyumardi Azra, justru malah memuji ketika melihat munculnya fenomena liberalisasi pemikiran Islam dikalangan NU—termasuk Ulil Abshar Abdalla—yang mengalami perkembangan semakin intens dengan menyatakan bahwa kemampuan mereka (baca: liberalisasi Islam) menampilkan pemikiran yang adaptif dan responsive terhadap tuntunan zaman. Menurutnya, realitas ini sekaligus merupakan indicator bahwa penilaian tradisionalisme terhadap NU semakin tidak releven lagi bagi NU sekarang. Justru realitas yang sedang terjadi adalah tumbuhnya kecenderungan liberalisasi pemikiran[27].
Harun Nasution dalam bukunya Islam Rasional, ‘ikut-ikutan’ menyatakan bahwa lulusan IAIN itu harus menjadi Ulama yang bersikap rasional; yaitu ulama zaman klasik yang melaksanakan ajaran Al-Qur’an untuk banyak mempergunakan akal, yang dihembuskan Allah kedalam dirinya dengan ruh, dan ajaran hadits untuk menuntut ilmu, bukan hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu yang ada dinegri cina yang sudah barang tentu bukanlah ilmu agama[28].  
Abu Umar Abdillah memberi catatan atas pernyataan diatas dengan menyatakan bahwa, “tampak dari pernyataan Lutfi, bahwa JIL berdiri sebagai protestan bagi Islam, sebagaimana Marthin Luther berdiri sebagai protestan bagi agama Katholik. Kalau gerakan Marthin Luther adalah reaksi dari penyimpangan para gerejawan yang mengeruk dunia atas nama agama, sedangkan JIL menuduh para sahabat, tabi’in, ulama madzhab dan para salaf telah menyimpangkan Islam untuk melanggengkan status quo mereka. Karena itulah JIL melakukan penafsiran ulang terhadap Islam, bukan lagi menurut ulama Islam, tetapi mengikuti kafirin Barat[29]”. Lagi-lagi apa yang dikatakan Azuymardi azra dan Harun Nasution semakin menegaskan bahwa mereka sangat tidak memahami bahwa sesungguhnya Islam tidak menghendaki liberalisasi. Padahal kalau sekiranya “tidak ada” teks dalam Islam yang menjelaskan sebuah persoalan; bukan kah dalam Islam ada konsep Ijtihad!? Sejatinya ijtihad dengan liberalisasi sangat berbeda. Akan tetapi hal itu tidak pernah diketahui oleh mereka yang liberal.

Agenda Kegiatan Pokok JIL
Dari hasil wawancara Budi Handrianto dengan komando Islam Liberal, Ulil Abshar Abdalla menyatakan bahwa kegiatan pokok Islam Liberal yang sudah dilakukan, diantaranya:
Sindikasi penulis Islam liberal, maksudnya adalah mengumpulkan tulisan sejumlah penulis yang selama ini dikenal (atau belum dikenal) oleh public luas  pembela pluralisme dan inklusivisme. Sindikasi ini akan menyediakan bahan-bahan tulisan, wawancara dan artikel yang baik untuk Koran-koran di daerah yang biasanya mengalami kesulitan untuk mendapatkan penulis yang baik. Dengan adanya “otonomi daerah” maka peran media local makin penting, dan suara-suara keagamaan yang toleran juga penting untuk disebarkan melalui media daerah ini. Setiap minggu akan disediakan artikel dan wawancara untuk Koran-koran daerah.
Talk-Show di Kantor Berita Radio 68H. Talk-Show ini akan mengundang sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai “pendekar Pluralisme dan inklusivisme” untuk berbicara tentang berbagai isu social-keagamaan ditanah air. Acara ini akan diselenggarakan setiap minggu, dan disiarkan melalui jaringan 68H di 40 Radio, antara lain: Radiao 68H Jakarta, Radio Smart (Menado), Radio DMS (Maluku), Radio Unisi (Yogyakarta), Radio PTPN (Solo), Radio Mara (Bandung), Radio Prima FM (Aceh).
Penerbitan Buku, JIL  berupaya menerbitkan buku-buku yang bertemakan pluralism dan inklusivisme agama, baik berupa terjemahan, kumpulan tulisan, maupun penerbitan ulang buku-buku lama yang masih relevan dengan tema-tema tersebut. Saat ini JIL sudah menerbitkan buku kumpulan artikel, wawancara dan diskusi yang diselenggarakan oleh JIL, berjudul Wajah Liberal Islam di Indonesia.
Penerbitan buku saku. Untuk kebutuhan pembaca umum, JIL menerbitkan buku saku setebal 50-100 halaman dengan bahasa renyah dan mudah dicerna. Buku saku ini akan mengulas dan menanggapi sejumlah isu yang menjadi bahan perdebatan dalam masyarakat. Tentu tanggapan ini dari prespektif Islam Liberal. Tema-tema itu antara lain: Jihad, penerapan syari’at Islam, jilbab, penerapan ajaran “memerintahkan yang baik dan mencegah yang jahat” (amr ma’ruf nahy munkar), dll.
Website Islamlib.com. program ini berawal dari dibukanya milis Islam Liberal (islamliberal@yahoogroups.com) yang mendapat respon positif. Ada usulan dari beberapa anggota untuk meluaskan milis ini kedalam bentuk website yang bisa diakses oleh semua kalangan. Sementara milis akan tetap dipertahankan untuk kalangan terbatas saja. Semua produk JIL (sindikasi media, talk show radio, dll.) akan dimuat dalam website ini. Web ini juga akan memuat setiap perkembangan berita, artikel, atau apa pun yang berkaitan dengan misi JIL.
Iklan layanan masyarakat,  untuk menyebarkan  visi Islam Liberal, JIL memproduksi sejumlah iklan layanan masyarakat (public service advertisement) dengan tema-tema seputar pluralisme, penghargaan atas perbedaan dan pencegahan konflik social. Salah satu iklan yang sudah diproduksi adalah iklan berjudul “Islam Warna Warni”.
Diskusi keislaman, melalui kerja sama dengan pihak luar (universitas, LSM, kelompok mahasiswa, pesantren dan pihak-pihak lain), JIL menyelenggarakan sejumlah diskusi dan seminar mengenai tema-tema keislaman dan keagamaan secara umum. Termasuk dalam kegiatan ini adalah diskusi keliling yang diadakan melalui kerja sama dengan kelompok-kelompok mahasiswa disejumlah universitas[30].

Tokoh Islam Liberal Indonesia
Budi Handrianto dalam bukunya ’50 Tokoh Islam Liberal Indonesia’ mengungkap dengan cukup rinci dan objektif lima puluh tokoh-tokoh Islam Liberal. Meskipun menurut kata pengantar buku tersebut—yang disusun oleh Adian Husaini—masih ada hal-hal yang perlu didiskusikan, tapi setidaknya buku ini dapat dijadikan deteksi dini terhadap faham-faham liberal dikalangan umat Islam, melalui deteksi para pembawa faham ini[31]. Diakhir buku tersenut, Budi membuat pernyataan “Biografi tiada henti”, maksudnya adalah bisa jadi apa tokoh yang disebutkan dalam buku tersebut “berkurang” karena bertaubat, atau malah mungkin lebih bertambah. Yang jelas analisa Budi menyatakan bahwa fenomena kehadiran Islam Liberal 5 tahun belakangan ini, kelihatannya tumbuh lebih banyak dari pada yang “mati”[32]. Berikut adalah lima pulu tokoh Islam liberal Indonesia yang dimaksud:
A.     Para Pelopor
1)     Abdul Mukti Ali
2)     Abdurrahman Wahid
3)     Ahmad wahib
4)     Djohan Efendi
5)     Harun Nasution
6)     M. Dawaw Rahardjo
7)     Munawir Sjadzali
8)     Nurcholis Madjid

B.     Para Senior
1)     Abdul Munir Mulkhan
2)     Ahmad Syafi’I Ma’arif
3)     Alwi Abdurrahman Shihab
4)     Azyumardi Azra
5)     Goenawan Mohammad
6)     Jalaluddin Rahmat
7)     Kautsar Azhari Noer
8)     Komarudin Hidayat
9)     M. Amin Abdullah
10)M. Syafi’I Anwar d
11)Masdar Farid Mas’udi
12)Moeslim Abdurrahman
13)Nasarudin Umar
14)Said Aqiel Siraj
15)Zainun Kamal

C.      Para Penerus “Perjuangan”
1)     Abd A’la
2)     Abdul Muqsith Ghazali
3)     Ahmad Fuad Fanani
4)     Ahmad Gauss AF
5)     Ahmad Sahal
6)     Bahtiar Efendi
7)     Budhy Munawar Rahman
8)     Denny J.A
9)     Fathimah Usman
10) Hamid Basyaib
11) Husein Muhammad
12) Ihsan Ali Fauzi
13) M. Jadul Maula
14) M. Luthfi  asy-Syaukani
15) Muhammad Ali
16) Mun’im A. Sirry
17) Nong Darol Mahmada
18) Rizal Malarangeng
19) Saiful Mujani
20) Siti Musdah Mulia
21) Sukidi
22) Sumanto Al-Qurthuby
23) Syamsu Rizal Panggabean
24) Taufi  Adnan Amal
25) Ulil Abshar Abdalla
26) Zuhairi Misrawi
27) Zuly Qodir
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa libralisme agama adalah haram. Umat Islam haram mengadopsi pemahaman ini karena ‘ajaran’ nya dekonstrutif terhadap Islam dan ajarannya. Mengutip pernyataan Adian Husaini dkk, dalam bukunya Membedah Islam Liberal; Memahami dan Menyikapi Manuver Islam Liberal di Indonesia yang mengatakan bahwa kritik yang terus harus dilakukan terhadap “aktivis” Islam Liberal adalah soal sikap dasarnya yang menganggap bahwa pengalaman liberalisasi dan sekularisasi Kristen perlu juga diadopsi untuk Islam. Fakta, Barat maju denga liberalisasi dan sekularisasi Kristen. Tetapi Islam memilki konsepsi dan pemahaman yang berbeda dengan Kristen dan Eropa. Karena itu bai Barat, Kristen liberal (krislib) memang oke. Barat maju, karena terbelunggu lagi pemikiran-pemikiran dogmatis dan teokratis gereja abad pertengahan[33].
Seringkali kaum liberal berdalih bahwa aksinya merupakan bentuk ijtihad. Terlalu dini menurut penulis kalau mereka disebut mujtahid, “Belum apa-apa” sudah ingin menjadi pembaharu, pada akhirnya yang ada hanya sok pembaharu dan sok kritis. Padahal ijtihad itu dalam ungkapan yang paling sederhana dituntut dan sangat menghendaki “mengetahui Islam” terlebih dahulu sebelum memaklumkan dirinya sebagai “pembaharu”. Wallahu’alam bi al-Shawab


____________________________________________________



Daftar Pustaka
Syamsuddin Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008).

Nashruddin Syarief, Menangkal virus Islam Liberal; Panduan Islamic Worldview untuk para aktivis da’wah, (Bandung: Persis Pers, 2011).
Adian Husaini, Liberalisasi Pemikiran Islam di Indonesia (makalah) dalam acara Workshop libralisasi pemikiran Islam, INSIST-PP Pemuda. April, 2006.

Adian Husaini, liberalisasi Islam Di Indonesia; fakta dan data, (Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 2008).

Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat; Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal (Jakarta: Gema Insani, 2005).

Adnin Armas, Metodologi Bible dalam Studi Al-Qur’an; Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005).

Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal, (Jakarta: Pers Pektif, 2010).

Tiar Anwar Bachtiar, Lajur-Lajur Pemikiran Islam; Kilasan Pergulatan Pemikiran Islam di Indonesia, (Depok: Komunitas NuuN, 2011).

Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia; pengusung Ide Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme Agama, (Jakarta: Hujjah Press, 2007).

Abu Umar Abdillah, Terapi Kerasukan JIL, (Solo: Wacana Ilmiah, 2006).

Muzamil Qomar, NU “Liberal”; dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002).

Harun Nasution, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995).

Adian Husaini, dkk., Membedah Islam Liberal; Memahami dan Menyikapi Manuver Islam Liberal di Indonesia, (Bandung: Syamil, 2003).
               


[1] Syamsuddin Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008), hlm 76-77. Selanjutnya ditulis Syamsuddin Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran
[2] Ibid, hlm 79.
[3] Dalam ranah politik, liberalisme dimaknai sebagai system dan kecenderungan yang berlawanan dengan dan menentang ‘mati-matian’ sentralisasi dan absolutism kekuasaan. Munculnya republic-republik menggantikan kerajaan-kerajaan konon tidak terlepas dari liberalism ini.
Sementara dibidang ekonomi, liberalism merujuk pada system pasar bebas diamana intervensi pemerintah dalam perekonomian dibatasi, jika tidak dibolehkan sama sekali. Dalam hal ini dan pada batasan tertentu, liberalisme identik dengan kapitalisme.
Diwilayah social, liberalisme berbarti emansipasi wanita, penyetaraan gender, pupusnya control social terhadap individu dan runtuhnya nilai-nilai kekeluargaan. Biarkan wanita menentukan nasibnya sendiri sebab tak seorang pun kini berhak dan boleh memaksa ataupun melarangnya untuk melakukan sesuatu.
Sedangkan dalam urusan agama, liberalisme berarti kebebasan menganut, meyakini, dan mengamalkan apa saja sesuai kecenderungan kehendak dan selera masing-masing. Bahkan lebih jauh dari itu, liberalisme mereduksi agama menjadi urusan privat. Artinya konsep amar ma’ruf nahyi munkar bukan saja dinilai tidak relevan, bahakan dianggap dengan bertentangan dengan semangat liberalisme. Asal tidak merugikan pihak lain, orang yang berzina tidak boleh dihukum, apa lagi dilakukan atas dasar suka sama suka, menurut prinsip ini. Karena menggusur peran agama dan otoritas wahyu dari wilayah politik, ekonomi, maupun social, maka tidak salah jika liberalisme dipadankan dengan liberalisme. Lihat Syamsuddin Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, hlm 77-78. 
[4] Adian Husaini, liberalisasi Islam Di Indonesia; fakta dan data, (Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 2008), cet III, hlm 6-7. Selanjutnya ditulis Adian Husaini, liberalisasi Islam Di Indonesia
[5] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat; Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm 29. Selanjutnya ditulis Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat
[6] Adian Husaini, liberalisasi Islam Di Indonesia, hlm 8.
[7] Ibid, hlm 8.
[8] Ibid, hlm 9.
[9] Ibid, hlm 10.
[10] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, hlm 30.
[11] Ibid, hlm 41-43.
[12] Ibid, hlm 46-48.
[13] Nashruddin Syarief, Menangkal virus Islam Liberal, hlm 15.
[14] Nashruddin Syarief, Menangkal virus Islam Liberal; Panduan Islamic Worldview untuk para aktivis da’wah, (Bandung: Persis Pers, 2011), cet II, hlm 5. Selanjutnya ditulis Nashruddin Syarief, Menangkal virus Islam Liberal
[15] Penulis kutip dari makalahnya Adian Husaini yang berjudul Liberalisasi Pemikiran Islam di Indonesia dalam acara Workshop libralisasi pemikiran Islam, INSIST-PP Pemuda. April, 2006.
[16] Adian Husaini, liberalisasi Islam Di Indonesia, hlm 11-44. Lihat juga Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia; pengusung Ide Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme Agama, hlm xxiii-xxiv. Selanjutnya ditulis Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia
[17] Adnin Armas, Metodologi Bible dalam Studi Al-Qur’an; Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm 72-73. Selanjutnya ditulis Adnin Armas, Metodologi Bible dalam Studi Al-Qur’an; Kajian Kritis
[18] Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal, (Jakarta: Pers Pektif, 2010), hlm 398-399.
[19] Adnin Armas, Metodologi Bible dalam Studi Al-Qur’an; Kajian Kritis, hlm 75.
[20] Ibid, hlm 77.
[21] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, hlm xxxi.
[22] Tiar Anwar Bachtiar, Lajur-Lajur Pemikiran Islam; Kilasan Pergulatan Pemikiran Islam di Indonesia, (Depok: Komunitas Nuun, 2011), hlm 83-85.
[23] Ibid, hlm 85
[24] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia; pengusung Ide Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme Agama, (Jakarta: Hujjah Press, 2007), hlm 263-265. Selanjutnya ditulis Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia; pengusung Ide Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme Agama
[25] www.islamlib.com. Penulis kutip dari Abu Umar Abdillah, Terapi Kerasukan JIL, (Solo: Wacana Ilmiah, 2006), hlm 15. Selanjutnya ditulis Abu Umar Abdillah, Terapi Kerasukan JIL. Lihat juga dalam ibid, hlm 266.
[26] Ibid, hlm 15-16.
[27] Penulis kutip dari pernyataan Azuymardi Azra yang berjudul “liberalisasi pemikiran NU” yaitu sebuah kata pengantar bagai tulisan Muzamil Qomar yang berjudul NU “Liberal”; dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam.  Lihat Muzamil Qomar, NU “Liberal”; dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hlm 22-23.
[28] Harun Nasution, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995), hlm 392-393.
[29] Abu Umar Abdillah, Terapi Kerasukan JIL, hlm 16.
[30] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, hlm 266-268.
[31] Ibid, hlm xxxix.
[32] Ibid, hlm 283-284.
[33] Adian Husaini, dkk., Membedah Islam Liberal; Memahami dan Menyikapi Manuver Islam Liberal di Indonesia, (Bandung: Syamil, 2003), hlm 74.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar